Dijodohkan dengan cowok jalanan yang ternyata ketua geng motor membuat Keisya ingin menolak. Akan tetapi ia menerimanya karena semakin lama dirinya pun mulai suka.
Tanpa disadari, Keisya tak mengetahui kehidupan laki-laki itu sebelum dikenalnya.
Apakah perjodohan sejak SMA itu akan berjalan mulus? atau putus karena rahasia yang dipendam bertahun-tahun.
Kisah selengkapnya ada di sini. Selamat membaca kisah Ravendra Untuk Keisya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Extra Part 6
Seminggu kemudian Arsha mulai jarang bertemu Raden, apalagi semenjak mereka ribut perihal pindah rumah. Setelah membantu pekerjaan rumah, Arsha meminta izin pada Keisya untuk keluar rumah di saat malam hampir larut.
"Bun, aku ke rumah Nayya dulu yaa. Mau ini balikin buku dia yang ketinggalan di laci, kasihan kalo dibiarin soalnya ada tugas nyatet juga buat besoknya." ucap Arsha.
Keisya yang sedang duduk menonton televisi menoleh. "Sama siapa? Sendiri?"
Gadis cantik berbaju lengan panjang dengan celana jeans-nya mengangguk. Mendapati tanggapan anaknya membuat Keisya beranjak dari sofa.
"Kenapa gak minta anterin Ayah?"
"Rumah Nayya kan gak jauh-jauh banget, Bun. Lagian Ayah juga kayaknya lagi sibuk di ruang kerja, ada pembicaraan penting sama Om Gibran kayaknya tuh." jawab Arsha.
Perempuan muda yang sudah memiliki anak satu itu menghela napas lelah.
"Tumben banget, biasanya Bunda diajak kalo ada kepentingan."
Arsha seketika menaikkan kedua bahunya.
"Ya udahlah yaa, Bun. Aku berangkat dulu, assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan, jangan pulang melewati jam 10 malam."
"Siap, Bunda!"
...ΩΩΩΩ...
Baru keluar dari rumah menuju garasi mobil tiba-tiba Nayya menelpon. Arsha berdecak kesal karena hari sudah mulai larut.
"Aduh, kunci mobil pake ketinggalan di kamar lagi, ya udah pake motor aja dah." katanya tak mau ambil pusing.
Begitu mengeluarkan motor matic nya dari garasi, ia pun mengangkat telepon dari Nayya si teman sekelasnya.
"Halo, Nay. Ada apa?"
"Arsha! Lo buruan deh ke jalan Cempaka 02, ini gawat darurat!"
"Hah? Ada apa sih? Gak jelas lo ngomong apaan, gawat kenapa?"
"Pokoknya gue gak bisa cerita sekarang, lo sini lah buruan."
"Oke, ah ilah!"
Dengan terburu-buru Arsha ikut panik, karena tidak seperti biasanya Nayya berbicara seolah memang ada hal sangat penting.
Ctek.
Brummm...
"Firasat gue gak enak nih, kayak ada sesuatu gak beres."
Beberapa menit di perjalanan kedua tangan Arsha mendadak tremor. Hal tersebut mengakibatkan Arsha melajukan motornya agar cepat sampai.
Setelah tiba di lokasi yang Nayya tentukan, Arsha malah tidak menemukan temannya. Gadis itu turun dari motor dengan dengusan kesal.
Ting!
Maap, Sha. Gue langsung balik, soalnya gue takut. Gue tau lo mau balikin buku gue kan, gak papa kasih besok pagi aja gue ke rumah lo. Di lokasi itu lo harus bisa berbuat yang bijak, jangan sampai lo nyesel setelahnya.
Arsha membaca pesan dari Nayya dalam hati. Tatapannya kini mengarah ke mana-mana usai mematikan ponselnya lalu memasukkan ke dalam tas selempangnya.
Sambil berjalan pelan menuju sebuah taman Cempaka yang tak jauh dari jalanan sepi itu, tanpa diduga matanya melihat sesuatu mengejutkan.
"Astaghfirullah, Raden!?"
Putri Dion itu berlari cepat menghampiri seseorang yang tengah dipukuli oleh beberapa orang asing. Pandangannya tak salah melihat jika seseorang tersebut adalah Raden.
Pukulan demi pukulan masih terjadi bertubi-tubi dari komplotan orang asing berjaket hitam terhadap Raden.
Arsha hanya mampu berdiri mematung, menatap lelaki itu dengan perasaan sakit.
"Anak lo lagi di mana sekarang?" tanya Gibran melalui sambungan telepon.
Dion dengan santainya duduk di kursi ruang kerjanya hanya berpikir beberapa detik.
"Kayaknya ada sih,"
"Yang bener lo, cek dulu sana."
"Emang ada apa sih sama Arsha?"
"Si Dafa katanya dapet kabar dari orang kenalannya, katanya liat Raden lagi dikroyok terus dihampiri sama satu gadis pakai baju lengan panjang gitu. Itu anak lo apa bukan, kalo iya bahaya banget. Karena keributan dibalik itu semua adalah bokapnya Raden."
Dion seketika beranjak dari duduknya. Laki-laki itu terkejut bukan main, lantas ia memanggil istrinya.
"Bentar. Sayang, Arsha mana?"
"Ohh, si Arsha lagi pergi ke rumah Nayya, Mas!"
...ΩΩΩΩ...
"Raden, plis! Kamu bertahan ya? Aku gak mau kamu kayak gini, kamu harus kuat lawan rasa sakit kamu." Tangis pecah Arsha saat dirinya masih memangku kepala Raden di lokasi kejadian.
Para pelaku yang mengeroyok Raden kabur begitu saja. Bersamaan dengan Arsha sempat melihat dalang dibalik kejadian itu semuanya.
"Enggak, Sha. Gue aman kok, gue cuma lemes aja karena dikeroyok abis-abisan. Ini semua gue lakuin biar bokap gue gak berbuat gila ke lo, Sha." ungkap Raden dengan sisa tenaganya mengucap lemah.
Arsha menggeleng dalam kondisi wajahnya sudah basah karena sejak kejadian tadi menangis.
"Berbuat apa, Rad?"
"Dia, dia mau culik lo, Sha. Gue gak mau itu terjadi, dia udah jahat banget."
Mendengar penuturan itu, Arsha tak habis pikir pada ayahnya Raden terhadapnya. Selang mereka berbicara, tiba-tiba orang yang baru saja mereka bahas muncul di depan mata.
Prok prok prok
"Bagus, ternyata kalian ada di sini ya? Oh, atau Arsha sudah bersedia untuk pergi sama Om? Sebaiknya kamu pergi bersama saya, karena akan dijamin hidup kamu jauh lebih bahagia daripada dekat dengan Raden." Pelan, tapi menusuk.
Tak lagi tatapan biasa, Arsha bahkan sangat membenci Rangga, ayahnya Raden.
"Om gak usah deh ajak-ajak aku! Om pikir aku segampang itu kalah sama orang sialan kayak Om hah!?" celetuk Arsha, sangat diluar dugaan Raden.
Gadis yang biasa dikenal menyebalkan dan tidak bisa apa-apa, kini berubah total. Arsha beranjak hingga memaksa Raden jadi tak memiliki pilihan untuk duduk sementara di rerumputan.
"Ohh ... Berani kamu dengan saya ya? Bagus, ini yang saya suka." Rangga tersenyum licik pada dua remaja di hadapannya.
Sementara Raden justru khawatir kepada Arsha. Meskipun yang dikhawatirkan malah ternyata jauh lebih berani.
"Duh, tapi sayangnya aku gak suka sama Om-om licik kayak Om Ranggaswara."
Pria itu mendelik saat mendengar ucapan Arsha. Sungguh keberanian anaknya Dion tersebut terjadi secara tiba-tiba.
"Kamu berani lawan saya? Heuh, dasar gadis bodoh yang mau aja dipermainkan sama Raden!"
Arsha tak peduli. Ia masih berdiri sambil melipat kedua tangannya. Matanya seolah menjelaskan dirinya yang sudah bodoamat dengan ancaman dari seorang Ranggaswara.
Disisi lain, Dion sudah keluar dari rumah dan bertemu dengan Gibran, Jean serta Dafa. Ketiga temannya datang untuk memberikan informasi padanya.
"Anak gue gimana?" Meski terlihat tenang karena Dion tahu anaknya juga cukup pintar bela diri ataupun mengerjai orang lain. Namun, tetap saja ia khawatir.
Dafa mendekat sambil menepuk pundak mantan leader Ragalaxy tersebut. "Sabar dulu, Bro. Si Ranggas emang udah di lokasi itu dan anak lo juga masih di sana sama Raden. Tapi, lo tenang aja." katanya.
Dion berkacak pinggang. "Tenang kata lo? Kalo anak gue diapa-apain gimana? Lo mau tanggung jawab?" Kali ini nada Dion terdengar sedikit tegas.
Gibran hanya menyimak dengan wajah datarnya. Sementara Jean malah merangkul Dion untuk masuk ke dalam rumah.
"Eh, ngapain lo rangkul gue masuk rumah?" ketus Dion.
Jean dan Dafa terkekeh.
"Santai aja napa sih, anak lo gak papa. Gak perlu lo sensi sampai segininya." ujar Jean.
Mantan leader itu menepis tangan Bian. "Ini soal anak, mana bisa gue tenang. Apalagi dia cewek."
"Yaelah, tinggal masuk aja bikinin kita kopi. Urusan anak lo mah pikirin nanti aja, dia cewek bukan sembarang cewek kok, tenaganya aja sebelas dua belas sama bini lo." Bukan Dafa maupun Jean, justru itu ucapan keluar dari mulut Gibran.
Dion semakin tak mengerti. Ia hanya menurut saja pada temannya meskipun hatinya ingin sekali menjemput Arsha pulang.
Cklek.
"Lah, lo berdua ngapain kesini? Mana rangkul-rangkul suami gue lagi." tanya Keisya heran.
Dafa dan Jean menanggapi dengan senyuman.
"Bikinin kita kopi dong, Sya. Haus nih tenggorokan kita." ucap si Dafa.
Keisya mendelik kesal. "Yeuuh, datang gak diundang mintanya kayak ke emak lo pada aja. Lo kira gue gak sibuk?"
Dion menghela napas lelah.
"Udah, buatin aja Sayang. Mereka emang aku suruh kesini, meskipun gak nyuruh mereka buat ngopi sih."