Amara adalah seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil dan bertemu dengan Adrian, seorang pria sukses yang sudah menikah. Meski Adrian memiliki pernikahan yang tampak bahagia, ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Amara. Sementara itu, Bima, teman dekat Adrian, selalu ada untuk mendukung Adrian, namun tidak tahu mengenai perasaan yang berkembang antara Adrian dan Amara.
Di tengah dilema cinta dan tanggung jawab, Amara dan Adrian terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah hidup mereka selamanya, dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka dengan Bima. Dalam kisah ini, ketiganya harus menghadapi perasaan yang saling bertautan dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cocopa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Dalam Kegelapan *2
Namun, jauh di lubuk hatinya, Amara merasa bahwa perubahan besar akan datang. Ia hanya belum tahu apakah perubahan itu akan membawa kebahagiaan atau malah sebaliknya. Pikiran itu semakin mengganggu, seperti bayang-bayang yang tak mau lepas darinya.
Malam itu, Amara berbaring di tempat tidur, berusaha untuk memejamkan mata. Tetapi pikirannya terlalu penuh; suara ketidakpastian bergema dalam pikirannya, memenuhi setiap celah hingga ia sulit bernapas. Bayangan tentang Bima terus muncul dalam ingatannya, seakan-akan ia berada di sana, berdiri di ambang pintu kamar, namun dengan tatapan yang berbeda, tatapan yang terasa asing dan jauh. Apakah semua ini hanya khayalannya saja? Atau perasaannya mulai menangkap sesuatu yang nyata?
Ketika ia menutup mata, ia bisa membayangkan senyum samar di wajah Bima—senyum yang biasanya begitu hangat, tapi kali ini terasa dingin dan kosong. Ia ingin menepis bayangan itu, mencoba mengingat Bima seperti yang selalu ia kenal: suami yang penuh perhatian, yang selalu mengutamakan keluarga. Tetapi semakin keras ia berusaha, semakin kuat pula rasa ragu itu menghantamnya.
Keesokan harinya, Amara bangun dengan lingkaran gelap di bawah matanya. Kurang tidur, pikirnya sambil menghela napas berat. Ia memaksakan diri untuk beranjak dari tempat tidur dan bersiap-siap untuk menjalani hari. Namun, saat ia melihat bayangan dirinya di cermin, ia melihat sosok yang tampak letih, hampir kehilangan semangat. Di balik senyum yang ia paksa hadirkan, ada ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan.
Dalam hati kecilnya, ia bertanya-tanya, "Apakah aku sudah kehilangan Bima?"
Ia mencoba untuk mengabaikan pikiran itu, berusaha fokus pada rutinitas hariannya. Namun, perasaan tidak tenang itu tak pernah benar-benar pergi. Setiap kali ia melihat ponsel Bima tergeletak di meja, ada dorongan untuk memeriksa, mencari petunjuk yang bisa menjawab pertanyaannya. Tapi ia tahu, itu bukan caranya. Amara selalu percaya pada privasi, selalu ingin hubungan mereka didasari kepercayaan. Namun, di saat seperti ini, kepercayaan itu seolah rapuh, seperti dinding tipis yang mudah retak.
Saat siang menjelang, Amara memutuskan untuk mengunjungi sebuah kafe yang biasa ia datangi bersama Bima di masa-masa awal pernikahan mereka. Tempat itu masih sama, penuh dengan kenangan, tetapi kini terasa ada yang berbeda. Ia duduk sendirian, memesan kopi kesukaannya, sambil mengamati sekeliling. Setiap sudut kafe mengingatkannya pada kenangan-kenangan yang dulu ia pikir akan bertahan selamanya.
Saat ia tenggelam dalam lamunan, seorang pelayan menghampirinya, membawa secangkir kopi yang hangat dan tersenyum ramah. Pelayan itu adalah gadis muda yang tampak ceria, wajahnya penuh semangat hidup yang begitu polos dan murni.
"Apa Anda menunggu seseorang, Bu?" tanya pelayan itu sambil tersenyum ramah.
Amara menggeleng pelan, tersenyum kecut. "Tidak, hanya sedang menikmati kopi saja. Sudah lama tidak ke sini."
Gadis itu mengangguk, lalu berlalu meninggalkan Amara dalam keheningan. Amara menatap secangkir kopi di depannya, memandangi uap yang perlahan-lahan menghilang. Dalam keheningan itu, kenangan-kenangan berputar seperti adegan film dalam pikirannya—saat-saat sederhana bersama Bima, tawa mereka, dan semua janji yang pernah diucapkan.
Ia tidak sadar sudah berapa lama ia duduk di sana, tenggelam dalam nostalgia. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak bisa lagi menutupi kegelisahannya. Ia perlu mencari jawaban, meskipun ia tidak tahu harus mulai dari mana.
Amara masih duduk terpaku di sana, menatap kosong ke luar jendela kafe yang kini mulai ramai oleh pengunjung lain. Ada rasa rindu yang pekat dalam dirinya, bukan hanya rindu pada Bima, tapi juga pada versi dirinya yang dulu—Amara yang penuh keyakinan dan percaya diri, Amara yang tidak pernah mempertanyakan cintanya atau cinta suaminya. Tetapi saat ini, bayangan Bima yang tampak semakin jauh terus menghantui, seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka.
Di tengah lamunannya, suara notifikasi di ponselnya berbunyi. Ia melihat layar, ternyata pesan dari Laila. Temannya itu mengirimkan pesan singkat yang berbunyi, "Mara, kamu di mana? Aku bisa temani kalau kamu mau ngobrol lagi."
Amara tersenyum kecil. Dukungan Laila memang berarti banyak baginya, apalagi di saat-saat seperti ini. Tanpa ragu, ia mengetik balasan, "Aku di kafe biasa, Lay. Kalau kamu nggak sibuk, aku akan sangat senang ditemani."
Tidak lama kemudian, Laila muncul dengan senyumnya yang khas, wajahnya memancarkan semangat seperti biasanya. Begitu melihat Amara, ia langsung duduk di depannya dan menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.
"Kamu kelihatan nggak seperti Amara yang aku kenal, Mara. Apa yang sebenarnya kamu rasakan?" Laila bertanya, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.
Amara terdiam sejenak, menunduk, dan menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku sendiri nggak tahu, Lay. Aku merasa kehilangan, tapi aku juga nggak yakin apa yang sebenarnya aku kehilangan. Aku merasa... takut. Takut kalau semua yang sudah aku bangun bersama Bima akan hancur begitu saja."
Laila menatapnya dengan penuh simpati. "Aku ngerti perasaanmu. Kadang, kita hanya perlu memberikan sedikit waktu pada diri sendiri. Mungkin dengan begitu, kamu akan bisa melihat semuanya lebih jelas."
Amara mengangguk pelan, mencoba mencerna nasihat Laila. Namun, di dalam hatinya, ia merasa seolah-olah waktu justru semakin memperburuk keadaannya. Seolah-olah setiap hari yang berlalu hanya membuat jarak di antara mereka semakin jauh, dan Amara takut ia akan kehilangan Bima selamanya.
"Mungkin aku terlalu banyak berharap," ujar Amara akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan. "Aku berharap dia masih seperti dulu, tapi entah kenapa sekarang aku merasa asing di hadapannya."
Laila meraih tangan Amara, menggenggamnya dengan lembut. "Kamu tahu, Mara, kadang orang berubah bukan karena mereka ingin meninggalkan kita, tapi karena mereka juga sedang berjuang dengan diri mereka sendiri. Mungkin Bima juga sedang menghadapi sesuatu yang sulit, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk ia ungkapkan."
Amara terdiam, mencoba memahami kata-kata Laila. Memang, selama ini ia terlalu sibuk mencemaskan perasaannya sendiri hingga lupa bahwa mungkin Bima juga mengalami perubahan yang sama beratnya. Tapi, meskipun ia mencoba berpikir positif, bayangan tentang Sekar terus menghantui pikirannya. Apa benar Bima hanya sedang menghadapi kesulitan atau... ada perasaan lain yang tak ia pahami?
Setelah berbicara cukup lama, Amara merasa sedikit lebih tenang. Namun, rasa penasaran yang terus menggerogoti hatinya tetap ada. Saat Laila berpamitan, Amara tahu ia tidak bisa hanya menunggu jawaban muncul dengan sendirinya. Jika ingin mengetahui kebenaran, mungkin ia harus lebih berani menghadapi Bima secara langsung.
Setelah beberapa saat, Amara tiba di rumah. Suasana rumah terasa sunyi, hanya terdengar suara detakan jam dinding yang mengisi kekosongan. Tidak ada riuh tawa anak-anak, tidak ada suara Bima yang biasanya menyapa dengan hangat. Rumah yang dulu terasa penuh dengan kehangatan kini seakan-akan membeku dalam kesunyian yang mencekam.