Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bara di Malam Gelap
Malam terasa sunyi di mansion milik Dominic, namun ada ketegangan yang sulit dijelaskan olehnya. Dominic duduk di ruang kerjanya, menatap segelas bourbon di tangannya tanpa minat. Wajahnya keras, seperti biasa, tetapi pikirannya bergejolak. Informasi yang baru saja dia terima dari salah satu mata-matanya membuat darahnya mendidih.
"Bryan," gumam Dominic, menyebut nama kakak kandungnya dengan nada rendah namun penuh ancaman.
Mata birunya menyipit, penuh perhitungan. Dia tidak terkejut mendengar bahwa Bryan, dengan ambisi buta dan rasa iri yang menggerogoti, sedang merencanakan sesuatu yang jahat terhadap dirinya. Namun, Dominic tidak pernah membiarkan siapapun mengancam posisinya, apalagi saudara kandung yang selalu ingin menyingkirkannya.
Ruby mengetuk pintu ruang kerja dengan ragu. "Dominic," panggilnya pelan, setengah berharap suaminya tidak terlalu sibuk untuk mengabaikannya.
"Masuklah, Ruby." Suara Dominic tenang, tetapi dingin seperti biasa.
Ruby melangkah masuk, gaun tidurnya berdesir lembut. "Kau belum tidur?" tanyanya. Kekhawatiran terlukis di wajahnya, meski ia mencoba menyembunyikannya.
Dominic mendongak, menatap istrinya. Ada sesuatu dalam cara mata biru Ruby memandangnya yang selalu membuat hatinya terasa lebih berat—mungkin karena dia tahu, di balik sikap berani wanita itu, ada rasa sakit yang dia sembunyikan. Tapi Dominic tidak bisa memikirkan itu sekarang. Bahaya sedang mengintai.
"Ada sesuatu yang harus kuselesaikan," jawabnya, lalu meneguk bourbonnya.
Ruby hendak bertanya lebih jauh, tetapi tatapan Dominic memotongnya. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak ingin Dominic bagikan.
"Aku akan menemanimu saja di sini," kata Ruby, berjalan mendekati Dominic.
Dominic mengangguk, dia menepuk pahanya sebagai isyarat supaya istrinya itu duduk di sana.
Ruby tersenyum tipis dan segera duduk di paha pria itu. Dia memeluk Dominic, sehingga pria itu merasakan kehangatan yang begitu dia rindukan.
***
Beberapa hari kemudian, Dominic akhirnya bertindak. Dalam sebuah pertemuan rahasia, dia mengatur rencana untuk menghabisi Bryan lebih dulu sebelum kakak kandungnya itu berhasil menjalankan niatnya.
Bryan tiba di lokasi pertemuan rahasia di sebuah gudang tua yang terletak di pinggiran kota. Malam itu, angin dingin membawa bau logam dan debu. Gudang itu tampak terlantar, hanya diterangi beberapa lampu redup yang berkelap-kelip. Tapi Bryan tidak bodoh. Ia tahu tempat ini bukan sembarang lokasi untuk berbicara bisnis.
"Kenapa Ayah tiba-tiba memintaku datang ke sini?" gumam Bryan pada dirinya sendiri, mencoba membaca situasi. Dia ditemani dua anak buahnya, yang berjalan setengah langkah di belakangnya, tangan mereka siaga di gagang pistol.
"Tenang saja," ujar Bryan dengan percaya diri, meskipun ada sedikit keraguan di dalam hatinya.
Dia menatap pintu gudang besar yang sudah terbuka lebar. Di dalamnya, hanya ada satu meja kayu panjang dengan beberapa kursi usang di sekelilingnya. Seorang pria bertopeng sudah duduk di sana, seorang diri, mengenakan jas hitam rapi seperti biasa.
"Bryan," suaranya terdengar dalam dan tegas. Dia tidak bangkit dari kursinya. Dia hanya menatap Bryan dengan tatapan dingin yang membuat pria itu sedikit waspada.
Bryan sangat terkejut mendengar suara pria itu. "Dominic?" balas Bryan, berusaha terdengar santai supaya Dominic tidak tahu bahwa dia sedang terkejut saat ini.
Namun, Bryan menahan napas saat melangkah mendekat. Anak buahnya berdiri siaga di dekat pintu, sementara Bryan mengambil kursi di seberang Dominic.
"Jadi, ini semua untuk apa?" tanya Bryan, mencoba terlihat santai. Namun, gerakan kecil Dominic yang mengetuk-ngetukkan jarinya di meja membuatnya gugup.
"Untuk memastikan sesuatu," jawab Dominic singkat. Tatapannya tetap menusuk, seolah-olah membaca semua rahasia Bryan dalam sekali pandang. "Kau tahu kenapa aku memanggilmu ke sini, kan?"
Bryan terdiam, tetapi senyum tipis terukir di wajahnya. "Kau salah paham, Dominic. Kalau kau mendengar sesuatu, itu pasti omong kosong. Aku tidak berniat—"
"Jangan berbohong," potong Dominic dingin. Dia bersandar ke belakang, ekspresinya tetap tenang, tetapi auranya mengintimidasi. "Aku tahu rencanamu. Kau ingin menggulingkanku. Membunuhku, lalu mengambil semua yang kumiliki, termasuk Ruby."
Bryan tertegun, meskipun ia mencoba menyembunyikannya. "Aku tidak tahu dari mana kau mendengar itu, tapi kau sudah salah paham, aku tidak pernah—"
Dominic tiba-tiba berdiri, membuat kursinya bergeser keras ke belakang. "Aku tidak punya waktu untuk permainanmu, Bryan," katanya sambil berjalan perlahan mengelilingi meja. "Aku memberimu kesempatan untuk diam, tapi kau memutuskan untuk bermain api."
Bryan refleks berdiri, tangannya bergerak ke dalam jaketnya untuk meraih pistol. Tetapi sebelum ia sempat menariknya, Dominic sudah lebih dulu mengarahkan pistol yang disembunyikan di balik jasnya ke kepala Bryan.
"Dominic, tunggu! Kita bisa bicara!" Bryan memohon, keringat dingin membasahi dahinya.
Dominic mendekat, menempatkan ujung pistolnya tepat di antara alis Bryan. Wajahnya tanpa ekspresi, matanya tajam seperti bilah pisau. "Kau sudah membuat pilihan, Bryan. Dan aku juga."
Anak buah Bryan mencoba bergerak, tetapi tembakan lain meledak sebelum mereka sempat bertindak.
Dominic memutar tubuhnya dengan gerakan cepat dan presisi, menembak dua orang itu tanpa ragu. Keduanya jatuh ke lantai dengan suara tubuh yang berdebum, darah mulai merembes ke lantai beton.
Bryan terguncang, tidak mampu berkata-kata. Tangannya gemetar, mencoba meraih sesuatu, tetapi Dominic kembali memusatkan pistolnya ke kepala Bryan.
"Kau tahu, aku sebenarnya membencimu sejak dulu," kata Dominic pelan, suaranya seperti bisikan maut. "Tapi aku menahan diri. Karena kau adalah kakakku." Ia menunduk sedikit, membuat wajah mereka hampir sejajar. "Tapi kau lupa, Bryan. Aku tidak pernah memberi kesempatan kedua."
"Tunggu! Dominic, aku—"
Tembakan terakhir menggema, memutuskan semua kata yang hendak Bryan ucapkan. Tubuhnya terhuyung ke belakang sebelum jatuh ke lantai, matanya terbuka kosong, dan darah merembes dari dahinya. Dominic menatap tubuh tak bernyawa kakaknya dengan dingin.
Dominic berdiri di sana selama beberapa detik, membiarkan keheningan menyelimuti gudang. Ia menarik napas dalam, menyelipkan pistolnya kembali ke dalam jas, lalu melangkah pergi dengan tenang.
Di ambang pintu, ia berbalik sekali lagi, menatap ketiga tubuh yang kini tergeletak di lantai. "Kau yang memilih ini, Bryan," gumamnya sebelum menghilang ke dalam kegelapan malam.
...----------------...
Berita kematian Bryan sudah diketahui oleh keluarganya, sehingga seluruh keluarga Larsen terpukul, kecuali Dominic.
Mereka percaya ini adalah kutukan yang akhirnya menghantui keluarga mereka, kutukan yang pernah dikatakan oleh seseorang saat Dominic lahir, bahwa pria itu akan menjadi pembunuh untuk keluarganya sendiri. Sebagai kepala keluarga, Paul Larsen tidak tinggal diam. Dendamnya terhadap Dominic berkobar.
"Seharusnya kita memang membunuhnya bukan!?" Suara Angelic meninggi, namun anggota keluarga yang lain hanya diam saja.
"Aku harus membunuhnya!! Aku tidak akan diam saja! Tunggu saja balasan dariku!" ucap Paul, penuh janji. Kali ini dia tidak akan membiarkan Dominic begitu saja.
...----------------...
Keesokan malamnya.
Udara dingin menyeruak di sekitar mansion Dominic yang megah. Ruby terbangun dari tidurnya oleh suara gaduh di luar. Dia mengerutkan dahi dan berjalan menuju jendela. Lampu-lampu taman berkedip-kedip sebelum akhirnya padam.
"Dominic," bisiknya, mengguncang bahu suaminya yang masih tidur. "Ada sesuatu di luar."
Dominic langsung terbangun. Instingnya selalu tajam. Ia mengenakan kaos hitamnya dengan cepat dan mengambil pistol dari laci nakas. "Tetap di sini," perintahnya tegas.
"Tidak! Aku ikut!" Ruby bersikeras, meskipun tubuhnya gemetar.
Dominic menghela napas, tetapi tidak ada waktu untuk berdebat. Ia menarik tangan Ruby, menggiringnya keluar kamar dengan hati-hati. Begitu mereka membuka pintu, aroma asap menyengat memenuhi hidung mereka.
"Mereka membakar mansion ini." Dominic mulai menyadari. Wajahnya langsung berubah tegang.
Ruby menutup mulutnya, terkejut. "Siapa mereka?"
Dominic tidak menjawab. Ia hanya menarik Ruby lebih erat dan mulai menuruni tangga. Namun, api sudah menyebar dengan cepat. Jalan keluar utama sudah dikepung api.
"Ke garasi," perintah Dominic, mengarahkan mereka ke lorong samping. Namun, sebelum mereka sampai, suara tembakan menggema di udara. Dominic langsung menunduk, menarik Ruby ke balik tembok.
"Dominic!" Ruby memekik, tetapi Dominic hanya memberi isyarat agar dia diam.
Mereka bersembunyi di balik tembok, sementara suara langkah kaki terdengar mendekat. Dominic mengintip dari sudut, melihat beberapa pria bersenjata mendobrak pintu. Salah satu dari mereka tampak mengenakan jas hitam khas Paul Larsen.
"Damn it," desis Dominic. Ia tahu ayahnya tidak akan berhenti sampai salah satu dari mereka mati.
Dominic menyalakan ponselnya, memeriksa jalur keluar melalui kamera keamanan yang tersisa. "Kita harus melewati lorong bawah tanah," bisiknya pada Ruby.
"Tapi itu jauh dari sini, dan apinya—"
"Kau percaya padaku, Ruby?" Dominic memotong, tatapannya tajam.
Ruby menelan ludah, tetapi mengangguk. Ia memegang tangan Dominic lebih erat. "Aku percaya."
Dominic memimpin Ruby melewati lorong-lorong yang mulai dipenuhi asap. Nafas mereka berat, tetapi Dominic tidak melepaskan Ruby sedetik pun. Begitu mereka sampai di pintu menuju lorong bawah tanah, Dominic mendobraknya dengan kekuatan penuh.
"Ayo cepat!" desak Dominic, mendorong Ruby masuk terlebih dahulu. Namun, sebelum ia bisa mengikuti, sebuah tembakan lain menggema.
"Dominic!" Ruby berbalik dengan panik, tetapi Dominic hanya mendesaknya untuk terus berlari.
"Aku di belakangmu," katanya, meskipun bahunya sedikit berdarah.
Lorong itu panjang dan sempit, tetapi akhirnya membawa mereka ke luar mansion. Udara malam yang dingin terasa seperti anugerah setelah berjam-jam terjebak dalam panas dan asap. Ruby terisak, tetapi Dominic langsung menariknya ke dalam pelukannya, menghalangi pandangannya dari mansion yang sekarang dilahap api.
"Kita selamat," bisik Dominic, meskipun matanya dipenuhi kemarahan. "Tapi ini belum selesai."
Ruby tidak mengatakan apapun. Dalam pelukan Dominic, ia tahu bahaya masih mengintai mereka. Namun, untuk saat ini, mereka masih bersama. Itu sudah cukup.
...****************...
baru kali ni aku julid di lapak Cici /Grin//Grin/ maafkan aku yaa author kesayangan 😘