Shiza, murid pindahan yang langsung mencuri perhatian warga sekolah baru. Selain cantik, ia juga cerdas. Karena itu Shiza menjadi objek taruhan beberapa cowok most wanted di sekolah. Selain ketampanan di atas rata-rata para cowok itu juga terlahir kaya. Identitas Shiza yang tidak mereka ketahui dengan benar menjadikan mereka menganggapnya remeh. Tapi bagaimana jika Shiza sengaja terlibat dalam permainan itu dan pada akhirnya memberikan efek sesal yang begitu hebat untuk salah satu cowok most wanted itu. Akankah mereka bertemu lagi setelah perpisahan SMA. Lalu bagaimana perjuangan di masa depan untuk mendapatkan Shiza kembali ?
“Sorry, aku nggak punya perasaan apapun sama kamu. Kita nggak cocok dari segi apapun.” Ryuga Kai Malverick.
“Bermain di atas permainan orang lain itu ternyata menyenangkan.” Shiza Hafla Elshanum
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ririn rira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jahitan di kepala
Karen dan Gita berdiri di pagar pembatas lantai tiga sekolah. Berita pagi tadi yang masuk fanbase sekolah membuat keduanya meradang. Sejak kedatang Shiza, nama Karen dan Gita tenggelam begitu saja. Dimana setiap hari di puji-puji dan dikagumi kini tidak terdengar lagi. Dada mereka terasa panas karena emosi. Karen sudah melakukan banyak hal untuk bisa mendapatkan perhatian Ryuga, sayangnya tidak mendapatkan balasan. Karena Ryuga bersikap seadanya.
“Siapa yang mengelola fanbase sekolah ?” Gita menggenggam erat pagar besi di hadapannya. “Suruh takedown aja, ngeselin tahu nggak.”
“Jangan dulu, biarin aja cewek gatel itu di atas angin.” Karen menyipitkan mata saat pandangannya tertuju pada seorang gadis cantik melangkah ke arah kantin yang bertepatan di bawah lantai kelasnya. Seketika emosinya naik begitu saja melihat senyum tertarik dari bibir Shiza.
“Kenapa, Ren ?”
“Biar saja dia tersenyum dulu nanti juga menangis.”
Gita mendapati yang menjadi pusat perhatian sahabatnya. Entah dorongan dari mana tangannya tiba-tiba mengangkat pot dekat kakinya lalu menjatuhkannya. Karen tersentak lalu menarik tangan Gita untuk bersembunyi. Jantungnya berdebar kencang bercampur rasa panik.
Sementara dibawah sana, Shiza membeku masuk ke dalam pelukan seseorang. Seluruh tubuhnya bergetar hebat dan bibirnya seputih kapas. Belum lagi merasakan tetesan hangat jatuh di pipinya. Waktu seolah terhenti hanya deru nafas tidak teratur mengisi ruang rungu. Seluruh aliran darah seakan terhenti beriringan jantung berdegup hebat.
“Ryuga.”
Waktu berputar kembali, Shiza merasakan pundaknya berat. Tetesan hangat terasa lagi mengalir di pipi Shiza. Dariel mendekat setelah terhenti melangkah. Pusat perhatian jatuh pada Ryuga dan Shiza. Mereka masih di posisi yang sama, Ryuga memeluk Shiza dari belakang.
“Kenapa ini ?” Guru laki-laki datang menghampiri.
“Ryu…” Chio melihat pecahan pot berserakan bercampur tanah. “Kamu berdarah.”
Shiza refleks memutar tubuh, kini posisinya saling berhadapan. Ia bisa melihat bibir Ryuga pucat pasi iris matanya sayu dan kosong. Shiza menyentuh tetesan darah yang mengalir dari ujung kening Ryuga. Jari-jari lentiknya bergetar bersamaan kristal rapuh pecah meleleh di sudut matanya.
“Shiza.” Aysela mendekat baru bangun dari rasa terkejutnya. “Ada yang luka?”
“Ryu… dia luka,”
“Ayo ke UKS.” Dariel mengambil alih memapah tubuh Ryuga.
Sementara Chio membereskan kekacauan itu. Guru mereka juga mengikuti langkah Dariel dari belakang. Chio melirik ke atas tidak ada siapa-siapa disana. Seingatnya pot bunga ada di lantai tiga, tidak mungkin ‘kan pot itu terbang sendiri kalau tidak ada yang mengangkatnya dan sengaja menjatuhkannya.
“Seragam kamu kotor Za.” Adel membersihkan debu-debu tanah dari pundak sahabatnya.
“Kita ke UKS.” Ujar Aysela langsung menggandeng lengan Shiza.
Shiza mengayunkan langkahnya, dengan pandangan kosong. Dibenaknya masih memikirkan kejadian beberapa detik lalu. Kalau bukan Ryuga bisa saja ia yang tertimpa pot itu. Shiza tersadar dari lamunannya, langkah dipercepat untuk sampai di UKS. Di ambang pintu Shiza tertegun melihat Ryuga dibersihkan kepalanya. Darah kepala memang banyak meski lukanya kecil. Tidak hanya dibersihkan, rambut Ryuga juga dipotong pendek, kulit kepalanya harus di jahit karena sobek.
Ryuga membuka kelopak mata yang terpejam saat mengenali aroma parfum yang di kenalinya. Manik mata pemuda itu terpaku pada wajah cantik Shiza. Di pipi gadis itu masih ada tetesan darahnya belum diseka. Tangan Ryuga terangkat lalu menyeka darah itu dengan ibu jarinya. Shiza masih menatap lekat membiarkan jari-jari panjang itu menyentuh pipinya.
“Sekarang kita jahit ya.” Petugas UKS bersiap menyuntik.
Shiza dapat merasakan raut tegang di wajah Ryuga. Ia meraih tangan pemuda itu lalu menggenggamnya. Sambil mengangguk tipis menyalurkan keberanian. Ryuga memejamkan mata merasakan ujung jarum menyentuh kulit kepalanya. Menunggu beberapa menit, penjahitan kulit dilakukan. Meski tidak merasakan apa-apa, tetap saja Ryuga merasa takut karena ini pertama kalinya. Shiza memahami itu semakin mengeratkan genggaman. Seolah berkata ‘aku disini’. Tidak memakan waktu lama, luka di kepala Ryuga sudah dijahit dan di tutup perban.
“Jangan basah dulu ya sampai menyatu, setelah makan minum obat pereda nyeri kalau gatal jangan digaruk nanti jahitannya lepas.” Petugas UKS meletak satu pil ke dalam wadah. “Ini rekomendasi ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut dan kontrol.”
“Terimakasih.” Sahut Shiza. “Kamu makan ya, aku ke kantin dulu beli makanannya.”
“Aku sudah beli makanan, ini teh manis.” Dariel datang membawa kantong plastik penuh. Buat kalian juga tadi mau ke kantin ‘kan?”
“Terimakasih, Riel.” Adel tanpa malu meraih satu untuknya.
Shiza mengambil teh manis lalu menyerahkannya pada Ryuga. Gadis itu cukup tahu diri. Ryuga mendapatkan luka itu karena melindunginya. “Minum teh manisnya biar nggak lemes “
“Kamu cuci wajah dulu, noda darahnya masih ada.”
“Ah, maaf.” Shiza gegas membersihkan wajahnya. Benar saja, di cermin bisa terlihat darah Ryuga sudah mengering di pipi dan seragamnya.
Sementara di luar Dariel duduk di tepi brankar membuka makanan untuk Ryuga. “Apa aku kabarin Om dan Tante.”
“Nggak usah, mereka nggak bakalan datang.” Ryuga menghabiskan teh manisnya. Ia meraih makanan yang sudah terbuka menyuap perlahan sambil mengunyah manik matanya tertuju pada pintu ruang yang terbuka, netranya terpaku pada Shiza yang sudah segar setelah mencuci muka. Sungguh, gadis itu sangat cantik.
“Ada yang sakit?” Shiza melangkah mendekat.
“Nggak ada, kamu ada yang sakit nggak?”
Shiza menggeleng. “Makasih untuk tadi, lain waktu jangan kaya gitu lagi kamu cukup teriak atau dorong aku. Aku nggak bisa tenang orang lain terluka karena aku.”
“Refleks kepepet juga jadi nggak bisa mikir.” Ryuga berucap dengan kedua pipi menggembung di isi nasi.
🌷🌷🌷🌷🌷
Iris mata Karen memerah, tubuhnya gemetar setelah melayangkan tamparan ke wajah Gita. Ia tidak menyangka jika sahabatnya itu bisa melakukan kejahatan dengan nyata. Kini mereka berada di gudang sekolah. Setelah kejadian tadi Karen menyeret Gita ke tempat itu.
“M—maaf Ren, aku terbawa emosi.” Gita gagap merasakan pedas dan panas di pipinya.
“Kamu bisa menyeretku ke dalam masalah, Git !”
“Aku cuma bantu kamu ! Apa salah?!” Intonasi Gita meninggi tidak terima disalahkan. “Kamu yang menanggung sakitnya tapi nggak melakukan apa-apa.”
“Aku punya cara sendiri tanpa melukai fisik orang lain !” Bentak Karen disertai nafas memburu hebat. Tidak ingin lebih lama disana ia membawa langkah keluar. “Jangan menemuiku lagi, kamu membawa masalah untuk ku seperti kemarin.”
Gita tertegun bersamaan sesak menyerang dada. Ya, ia akui sedikit impulsif tapi itu semata karena Karen selalu curhat padanya tentang Ryuga yang tidak pernah melihat ke arahnya. Sementara itu Karen terus memacu langkah berusaha tenang menuju kelasnya.
“Kasian Ryu, kepalanya sampai di jahit.”
Langkah Karen terhenti mendengar kalimat itu datang dari siswi yang berpapasan. Jantungnya berdebar cepat sambil menguping ia melanjutkan langkah, di ambang pintu kelas lagi-lagi Karen mendengar nama Ryuga.
“Darahnya banyak banget sampai netes di wajah Shiza.”
Karen semakin gugup dan gemetar, ia memaksa langkahnya masuk. Duduk perlahan di kursi sambil mendengarkan orang-orang bicara.
“Ryu kebetulan mau ke kantin saat itu juga dia lihat pot jatuh dari atas tepat di kepala Shiza. Jadi dia langsung meluk cewek itu jadi pot nya jatuh di atas kepala Ryuga. Dia pucat banget tadi Shiza pasti shock belum lagi liat Ryu luka di depan mata nya.”
Kedua tungkai Karen terasa lemas bahunya luruh dengan perasaan sakit. Ryuga jadi korban kebodohan Gita. Karen mungkin tidak menyukai Shiza tapi tidak berniat melukai fisiknya. Sesal yang sempat menggelayuti hati setelah melayangkan tamparan apda sahabatnya lenyap seketika. Karen pikir Gita pantas mendapatkannya.
“Jadi dimana Ryu sekarang?”
Percakapan itu kembali terdengar dan Karen memasang pendengaran dengan baik. Ia menggenggam tangannya di atas paha. Wajah gadis itu terlihat pucat berkeringat dingin.
“Di UKS sebentar lagi pulang, katanya dikasih izin hari ini.”
“Karen, kenapa kok pucat. Kamu sakit.” salah seorang siswi sadar kehadiran Karen disana.
Pemilik nama itu tersentak. “Nggak.” Seulas senyum terbit di bibirnya.
“Kamu udah tahu Ryu kejatuhan pot. Kepalanya luka dapat jahitan.”
“Iya aku sudah tahu.” Karen menjawab seadanya. Padahal baru tahu setelah keluar dari gudang.
“Kamu nggak nyamperin kesana ?” Semua orang tahu kalau Karen selalu mencari Ryuga bila ada kesempatan.
“Nanti aja.” Karen memilih menelungkupkan wajahnya di meja.
“Chio lagi cari tahu kenapa pot itu bisa jatuh dari lantai tiga. Padahal pot itu ada di lantai nggak di atas tembok pagar kok bisa jatuh.” Perbincangan berlanjut seputar kejadian tadi.
“Bener juga kecuali ada yang sengaja jatuhin. Nggak mungkin ‘kan pot itu bisa jatuh sendiri.”
“Jahat sekali orang itu.”
“Menurut kamu targetnya Shiza, bukan sih ? Atau Aysela sama Adel.”
Pembahasan semakin memanas dan itu sukses membuat Karen semakin menegang. Ia berharap orang-orang menyudahi pembicaraan tentang Ryuga.
“Menurut aku Shiza, sejak masuk dia sudah pusat perhatian sampai masuk base tadi pagi.”
“Jadi cantik susah juga ya.”
“Nggak juga, kalau nggak centil !”
“Tapi Shiza biasa aja kalau ketemu di kantin.”
“Ada yang iri mungkin.”
Karen menutup kedua kupingnya mendengar obrolan itu. Takut meraja dalam hati Karen. Ia tidak tahu akhirnya menjadi serius seperti ini.