Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan yang terus Agnia lakukan justru membuat Langit mengalami gangguan mental parah. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Demi menghindari pernikahan dengan Langit, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Sejak itu juga, cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan luka mental suaminya dengan tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Talak yang Terucap
“Langit, kendalikan emosimu!” teriak ibu Azzura lantaran sang putra masih berusaha untuk m e n g a m u k Dita.
“Dia menipuku! Dia menipu kita semua! Dia bukan Agnia!” ucap Langit tak kalah berteriak.
Setelah Langit diam, suasana di sana kembali jadi hening. Sebab Dita yang diamuk dan harusnya kesakitan, tak sedikit pun bersuara. Hanya air mata saja yang mewakili perasaan sekaligus isi hatinya, Yang mana, hanya Dita dan Allah yang mengetahuinya.
“Namun, ... aku istrimu, Mas!” ucap Dita dengan suara yang bergetar.
Jujur, ketimbang rasa sakit yang ia dapat dari Langit. Rasa takut Dita kepada Langit, jauh lebih besar. Dita bahkan tak masalah andai Langit mau m e n g h a j a r n y a berulang kali. Asal Langit mau memaafkannya, menerimanya sebagai istri, Dita tak masalah. Karena meski statusnya merupakan penga tin samaran, pada kenyataannya dirinya merupakan istri sah dari Langit.
Dita memang sengaja meminta identitasnya yang disebut dalam ijab kabul. Agar pernikahan yang ia jalani, bahkan walau itu dengan laki-laki lumpuh sekaligus b u r u k rupa sekalipun, tetap menjadi ibadah dalam hidup yang ia jalani.
“Dua hari sebelum pernikahan, saya datang ke rumah majikan ibu saya bekerja. Karena setelah pendarahan tak wajar dari rahim, ibu yang saya rujuk ke rumah sakit besar justru dinyatakan mengalami kanker serviks stadium satu B. Operasi harus segera dilakukan. Namun karena kami tidak punya BPJS, sedangkan proses pengaktifannya bisa tembus tiga bulan. Menjalani operasi dengan biaya mandiri menjadi hal yang saya pilih. Karena sejauh ini, yang saya tahu penyebaran kanker sangatlah cepat.” Dita menjelaskan secara runtut. Termasuk keputusannya datang ke rumah majikan sang ibu yang membuatnya bertemu Agnia.
“Setelah menceritakan maksud kedatangan saya ke sana, non Agnia menawari saya bantuan di atas kesepakatan. Dia membayarkan biaya operasi ibu saya, dan belum menyebutkan apa yang harus saya lakukan untuk membayar biaya darinya. Hari itu juga saya mengurus rujukan dan lainnya di rumah sakit. Besoknya, tepat satu hari dari hari pernikahan, non Agnia meminta saya menjadi pengantin samaran untuk menggantikannya. Non Agnia mengatur semuanya. Dari apa yang harus saya pakai, sampai apa yang harus saya lakukan—”
“Kamu pasti bohong!” sela Langit tegas.
“Saya berani bersumpah, Mas. Saya berani mati sekarang juga, andai apa yang saya katakan hanya dusta!” yakin Dita masih bertutur lemah.
“Pernikahan dengan identitas saya, murni syarat yang saya minta kepada non Agnia. Karena walau saya tak lebih dari pengantin samaran. Minimal saya tidak mau membiarkan kita b e r z i n a. Selain itu, saya juga tetap sangat menghargai pernikahan ini. Bagi saya, pernikahan ini tetap bagian dari ibadah. Apa pun akhirnya nanti.”
“Namun jika Mas tidak sudi memiliki istri seperti saya, saya juga tidak memaksa. Saya siap diceraikan, dengan syarat ... andai non Agnia sampai menarik biaya operasi kepada ibu saya dan baru akan dilakukan lusa, ... tolong pinjami saya uang pengganti. Saya janji akan menggantinya secepatnya!”
Sepanjang Dita berbicara, suaranya memang terdengar sangat tenang, meski cenderung lemah. Namun selama itu juga, air matanya tak hentinya berlinang dan sebagiannya berjatuhan pada lantai marmer berwarna cokelat muda di sana.
“Kamu tetap istrinya Langit. Terlebih sejak awal saja, kamu yang dinikahkan dengan Langit!” tegas pak Excel dan langsung mengejutkan ketiga orang di sana.
“Aku maunya Agnia, Pa!” tegas Langit sambil menatap kesal sang papa yang berdiri di sebelahnya.
“Agnia tidak mau denganmu karena kamu l u m p u h dan b u r u k rupa!” balas pak Excel terdengar keji bahkan di telinganya sendiri.
“Semua ini gara-gara kalian. Andai tidak ada drama lumpuh dan b u r u k rupa, Agnia pasti mau menikah denganku!” lantang Langit makin meledak-ledak.
“Ini menegaskan bahwa dia tidak pernah mencintaimu. Sejak awal, kurang apa Papa dan kami kasih kamu arahan? Dan sekarang semuanya terbukti!” pak Excel tak kalah meledak-ledak. Kedua matanya yang jadi basah sekaligus merah, menatap marah putranya yang sampai detik ini masih bertahan di kursi roda.
“Langit,” lembut ibu Azzura masih bertahan merangkul Dita. “Langit dengarkan Mama. Istrimu bagian dari rezeki kamu. Istrimu wujud dari rezeki kamu, dan kamu sangat beruntung mendapatkan ... D—Dit ... ta?” lanjutnya tidak begitu yakin jika wanita yang menggantikan Agnia, bernama Dita. Ia memastikannya kepada Dita, dan Dita langsung mengangguk, seolah membenarkan.
“Setelah semua yang terjadi, masih saja keras kepala! Jelas-jelas Agnia hanya mempermainkan kamu. Andai dia mau denganmu setelah dia tahu apa yang sebenarnya, itu artinya dia tidak pernah benar-benar mencintaimu!” marah pak Excel.
“Aku enggak peduli, Pa! Aku benar-benar enggak peduli karena aku yakin, aku bisa membuatnya mencintai aku lagi!” raung Langit.
“Termasuk membiarkannya terus melukaimu? Membiarkannya sesuka dia mau berhubungan dengan laki-laki mana pun? Jika keadaannya begitu, Papa dan kami yang tidak sudi!”
“Lebih baik kamu angkat kaki dari rumah bahkan keluarga ini. Dari pada apa yang kamu miliki, hanya menjadi p e n y a k i t untukmu sendiri!” tegas pak Excel.
Pak Excel memboyong sang istri pergi, tak lama setelah dirinya juga menegaskan, tak akan pernah ada perceraian antara Dita dan Langit. Pak Excel meminta Dita untuk tetap menjadi istri sah Langit. Selain keduanya yang wajib menyelesaikan permasalahan rumah tangganya sendiri.
“Jangan ada k d r t lagi. Kalau sampai iya, lawanmu Papa!” tegas pak Excel sambil menuruni anak tangga.
Setelah suasana makin sepi, Dita berangsur berdiri. Dita menghampiri Langit yang masih duduk di kursi roda dan hanya terpaut satu meter dari tempat sebelumnya ia terduduk.
“Aku benar-benar minta maaf, Mas! Namun aku janji, akan menjadi istri yang baik buat Mas. Semampuku, aku akan melakukannya. Mas butuh apa, ... aku akan berusaha memenuhinya!” ucap Dita tak lama setelah ia berlutut di hadapan Langit.
“Yang aku inginkan sekarang hanyalah kepergianmu. Pergilah dari kehidupanku untuk selama-lamanya!” tegas Langit bertutur lirih sekaligus cepat. Ia menatap kedua mata Dita penuh kebencian.
Apa yang Langit katakan dan itu meminta Dita pergi dari sana memang membuat Dita refleks menatap Langit. “Kita enggak boleh cerai, Mas! Tadi papa mama Mas sendiri yang mengatakannya.
“Pergi!” tegas Langit.
“Mas, Mas hanya boleh melakukannya di depan orang tua Mas!” yakin Dita.
“D—Dita ... namamu, D—Dita, kan? Mulai sekarang kamu bukan istriku lagi. Ini talak untuk kamu!” tegas Langit masih berucap lirih sekaligus cepat. “Dan bila kamu terus memaksa, aku tak segan menghubungi pihak Agnia agar menarik biaya operasi mama kamu!”
“Satu lagi, ... aku sudah menalak kamu. Jadi, kebersamaan kita hanya akan menjadi z i n a!” tegas Langit. Tak peduli meski di hadapannya, lawan bicaranya jadi makin sibuk berlinang air mata hingga Dita tampak sangat menyedihkan. Tak peduli meski karena talak kepada Dita, ia akan bermasalah dengan kedua orang tuanya.
(Ramaikan yaaa ❤️❤️❤️❤️❤️)