Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Pengakuan
Siang ini, Zamar memilih langsung pulang ke rumah. Beban pikiran, membuatnya tidak fokus untuk bekerja. Masalah Maya, Zamar ingin menenangkan diri, sebelum menemui wanita itu. Emosi yang akan meledak, bisa membuatnya melakukan hal buruk pada tunangannya.
"Za, kapan kamu pulang, Nak? Kenapa tidak memberitahu Mama?" tanya Resti. Sepengetahuannya, Zamar akan pulang tiga hari lagi.
"Urusannya, sudah selesai, Ma."
"Ya, sudah. Istirahat sana. Mama akan meminta supir menjemput Maya, makan malam bersama kita."
Deg.
"Tidak perlu, Ma. Biarkan Maya, istirahat. Katanya, bulan depan, dia akan magang dirumah sakit."
"Masih lama, Za. Mama mau kasih dia perhiasan dari nenekmu. Dia memberikannya dari dua minggu lalu dan Mama belum sempat memberikannya."
Zamar merasa semakin sakit. Ibu yang begitu menyayangi Maya, seperti anaknya sendiri. Ia merasa bersalah, jika harus menghancurkan kebahagiaan ibunya.
"Ma." Zamar menggenggam tangan sang ibu. "Maya sedang fokus mengerjakan skripsi. Menantu Mama, sedang fokus mengejar cita-cita."
"Ah, baiklah. Menantu Mama, yang akan menjaga Mama nanti, kalau sakit." Ibunya sumringah, lalu pergi.
Maya, kau membuat kesalahan besar dan aku, tidak akan memaafkanmu.
Dalam kamar, dengan nuansa manly. Zamar melemparkan jasnya, dengan asal. Tanpa sengaja, maniknya bertemu dengan bingkai foto yang terpanjang, depan tempat tidurnya.
Ia mendekat dan meraba foto tersebut. Tatapannya dingin, tidak seperti biasanya. Senyuman gadis dalam dalam foto, terlihat menjijikan dalam pandangannya. Rasanya, ingin membuang dan melemparkannya jatuh dari jendela.
Zamar perlahan menjauh, menjatuhkan diri diatas kasur. Ia tidak bisa, menunjukkan kemarahannya sekarang. Sang ibu bisa curiga. Lalu, bagaimana dengan pernikahannya? Ia tidak ingin melanjutkan pernikahan dengan gadis yang sudah mengkhianatinya. Apalagi, mengandung anak orang lain.
Kristal bening, jatuh menetes diujung mata Zamar. Ia sangat sesak, dengan keadaan ini. Sakit hati dan amarah yang tidak bisa ia luapkan, seperti merobek dadanya. Bingung harus berbuat apa dan tidak ada sandaran, untuk ia berkeluh kesah. Ibu yang bisa serangan jantung, membuat Zamar hanya bisa menghadapinya sendiri.
Ponselnya bergetar, nama sang sekretaris tertera dalam layar.
"Ada apa?"
"Nona Maya, sudah siuman."
"Biarkan."
"Baik, Tuan"
Rasa khawatir, sudah tidak tertanam dalam benaknya lagi. Hanya, kebencian dan amarah yang mendominasi. Cinta? Entahlah, Zamar bingung. Sepertinya, rasa itu sudah menguap ke udara. Dalam, sehari perasaannya berubah kebencian, karena pengkhianatan.
🍋🍋🍋
Di rumah sakit.
Maya sudah merasa lebih baik, setelah mendapat perawatan. Ia mulai tenang, setelah dokter memberi banyak saran dan peringatan, tentang kehamilannya.
"Anda butuh sesuatu?" tanya seorang pelayan, yang kini menemaninya.
"Tidak. Kamu istirahat saja. Kapan Zamar datang?"
"Beliau sedang meeting, katanya. Mungkin, malam nanti baru datang."
Maya sudah tidak sabar, memberitahu tentang kehamilannya. Mungkin, Zamar bisa berubah pikiran, jika mengetahui ada nyawa lain dalam rahimnya. Ia terus tersenyum, melupakan masalah yang melanda pagi tadi.
Sore harinya, Maya sudah menghabiskan buah diatas piring. Ia sedikit berdandan, dibantu oleh pelayan. Katanya, Zamar sedang diperjalanan untuk menemuinya.
Berberapa, menit berlalu. Yang ditunggu-tunggu, akhirnya muncul. Tatapan Zamar masih sama, dingin dan tidak bersahabat.
Pelayan yang menemani Maya, pamit keluar, meninggalkan mereka.
"Za. Kamu sudah datang?" Maya tersenyum, menampilkan deretan giginya. Ia bangkit, dengan mendorong tiang infusnya, mendekati Zamar.
"Anak itu, milik siapa?"
Duarr. Satu pertanyaan, yang membuat Maya kehilangan senyuman. Jantungnya terpacu, dengan mata yang membulat.
"Ap-apa maksudmu? Tentu saja, ini anakmu! Hanya, kau yang pernah menyentuhku."
"Hanya sekali dan belum tentu itu milikku!" sarkas Zamar, dengan tatapan dingin.
"Za." Air mata Maya sudah meluncur bebas. Ini sangat sakit, membuatnya merasa sesak. "Apa kau tidak sangat keterlaluan? Kenapa begitu sulit membuatmu percaya padaku? Apa gunanya, kau mencintaiku, jika tidak percaya padaku? "
"Bagaimana aku bisa percaya, kau didepan mataku dengan laki-laki lain? Bagaimana aku bisa percaya, jika semua bukti mengatakan kau bersalah?" teriak Zayn, sembari mengguncang bahu Maya dengan kuat, tidak peduli dengan air mata yang menetes jatuh didepannya.
"Kau hanya perlu percaya padaku. Tiga tahun lebih kita, bersama. Kenapa kau lebih percaya pada orang asing, yang baru kau temui hari ini?"
"Riko! Apa kau mengenalnya? Kalian tumbuh bersama, dipanti asuhan." Zamar menatap intens, kedua manik Maya. Mencari kebohongan, saat ia menjawab.
Maya menatap lurus dengan mata yang dibanjiri cairan kristal. Ia bingung, kenapa membawa-bawa nama Riko, yang sudah lima tahun tidak ditemuinya.
"Aku mengenalnya. Tapi, _"
"Kau mengenalnya, bahkan memberikan tubuhmu padanya!" teriak Zamar, yang sudah meledak. Ia mundur, tidak ingin melukai Maya. "Kau menipuku, May! Kau keterlaluan!"
Jantung Maya, seolah jatuh diatas lantai. Tersentak, dengan teriakan Zamar yang bercampur amarah. Ia sendiri masih bingung, dengan ucapan tunangannya. Riko? Apa hubungannya dengan Riko? Apa jangan-jangan pria itu, Riko? Tapi, itu tidak mungkin. Dia pria yang baik dan memperlakukannya seperti seorang adik.
"Aku mohon, percaya padaku, sekali ini saja! Ini anakmu, anak kita. Tolong! " Untuk kedua kalinya, Maya berlutut didepan Zamar dengan mengiba. Ia akan bersujud sekalipun, jika Zamar meminta. Ia tidak ingin anaknya terlahir tanpa ayah.
"Kenapa? Apa pria itu tidak mampu menghidupimu, hingga kau harus berlutut?" sarkas Zamar, dengan tatapan dingin.
"Za. Aku bersumpah, ini anakmu. Kau bisa tes DNA, setelah dia lahir. Kau bisa membuktikan, aku bersalah atau tidak. Aku mohon!" Maya benar-benar memohon, dengan memegang kaki Zamar.
Zamar tidak langsung menjawab. Ia mundur, setelah menghempaskan Maya, dengan kakinya. Pandangannya tidak berubah menjadi iba, melainkan merasa jijik dan muak.
"Tidak akan! Aku tidak mau menghabiskan uang dan waktuku, hanya untuk anak harammu!" tunjuk Zamar, dengan mata melotot pada perut Maya yang masih rata.
Seketika mata Maya membola, seluruh pembuluh darahnya seakan berdenyut nyeri. Ia bangkit dengan tangan gemetar dan_
Plak.
Mungkin, inilah batas akhir kesabaran Maya. Ia lelah dituduh berselingkuh. Sekarang, Zamar mengatakan anak haram! Sungguh, ia tidak terima.
Seberapa keras pun, ia membantah dan memohon, Zamar tidak akan percaya. Lalu, untuk apa lagi? Semuanya selesai, saat Zamar memvonis anaknya sendiri, sebagai anak haram.
Maya tertawa, penuh kekecewaan dan bercampur air mata. Jika sudah seperti ini, maka lebih baik mengakhirinya dengan cepat. Toh, percuma ia membantah, tidak ada sedikit pun kepercayaan yang ia dapatkan.
"Hahaha... aku pikir, masih bisa mendapatkan sedikit keuntungan dengan kehamilanku. Tapi, ternyata, kau lebih pintar, sayang." Maya menyeka air matanya. Meski berusaha tegar, tetap saja air matanya jatuh.
Mata Zamar mendelik dengan rahang yang mengetat. Wajahnya merah padam, menatap wanita didepannya, yang telah menjadi tunangannya.
"Ini_" Maya menjeda kalimatnya. "Ini memang bukan anakmu!" ujar Maya, tanpa ekspresi. Hanya, air mata yang mewakili tentang rasa sakitnya saat ini.
Akh!
Tanpa aba-aba, Zamar sudah mencekik lehernya dengan kuat. Maya pasrah dengan menutup mata, membiarkan air matanya jatuh, beriringan dengan napasnya yang mulai sesak.
Ibu....
"Tuan," teriak Huan.
Ia baru saja masuk dan melihat pemandangan mengerikan. Wajah Maya sudah memerah, karena kehabisan napas.
Zamar tersadar, dengan cepat melepaskan tangannya. Tapi, Maya sudah ambruk, tidak sadarkan diri. Huan dengan sigap, berlari menangkap tubuh Maya, yang hampir mendarat diatas lantai.
"Nona, sadarlah." Huan menepuk pipi Maya dengan lembut. "****," paniknya, karena tidak ada reaksi, wajah Maya justru memucat.
Pelayan wanita, yang bersama Maya. Sudah berteriak memanggil dokter.
🍋 Bersambung.
karya yg sungguh bagus.
sebagai orangtua memang hrs bijak menyikapi pilihan anak
tidak seperti ibunya Za dan ibunya Sandra
tanpa mrk sadari, kedua orgtua tsb sdh merusak mental dan karakter anak
sy Tidak menyalakan sepenuhnya Za
mungkin klw kita berada diposisi Za akan mengalami hal yg sama
Buat May,hrs juga bijaksana,dan mengalahkan ego
di bab ini sy suka peran Kel.dr.Ansel.
Terimakasih Thor,sy suka dgn karyamu
banyak pesan moral yg Thor sampaikan.
Terimakasih.👍👍❤️