Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12 ( Sarapan di puncak )
Awan melihat jam tangannya, matanya membulat ketika melihat angka di sana menunjukkan pukul 08.20. Dengan nada sedikit panik, ia langsung memecah keheningan, “Eh, Guys-guys! Udah jam setengah sembilan, lho. Sarapan di mana, nih?”
Clara yang sedang menikmati pemandangan sambil mengambil foto menoleh. “Iya ya, gue juga udah mulai laper,” ujarnya sambil mengusap perutnya. “Gue lihat semalam ada warung di dekat tikungan waktu kita ke sini. Kayaknya seru makan di sana.”
Andin mengangguk antusias. “Gue setuju! Kita makan di luar aja biar lebih dapet suasana puncaknya,” katanya sambil melipat syalnya.
Sasa melirik ke arah Algar, yang duduk santai di sebelahnya. “Al, ikut nggak? Jangan bilang mau diem di sini aja?” godanya.
Algar tersenyum tipis sambil berdiri, merentangkan tangan. “Ya ikut lah. Siapa lagi yang mau jagain kalian kalau bukan Gue?” candanya, membuat yang lain tertawa.
Aldrin langsung melompat berdiri dengan semangat. “Ayo, ayo, udah nggak sabar nih! Semoga ada makanan yang cocok buat perut kosong.”
Mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak kecil yang melintasi perbukitan. Jalan itu dikelilingi pohon pinus, dengan daun-daun yang masih basah oleh embun. Suara burung terdengar samar, menambah keindahan suasana pagi itu.
“Coba kalian lihat ke kanan deh,” ujar Clara sambil menunjuk ke arah lembah yang dipenuhi kabut tipis. “Kayaknya tempat ini cocok banget buat piknik.”
Awan menghela napas panjang, mencoba menikmati udara segar. “Bener, sih. Kalau bisa tiap hari kayak gini, mungkin gue bakal lebih sering bangun pagi,” katanya dengan nada bercanda.
“Ya jelas nggak mungkin, Wan. Di kota Lo bangunnya siang terus, kan?” sahut Aldrin, memancing tawa yang lain.
Algar yang berjalan di belakang tersenyum kecil. “Yang penting sekarang kita nikmati aja dulu. Udah jarang kan bisa liburan bareng kayak gini?”
Sasa tersenyum mendengar itu, lalu menimpali, “Iya, makanya jangan ribut-ribut, biar suasananya tetap damai.”
Sepanjang perjalanan, mereka terus berbicara dan bercanda, menikmati suasana yang damai namun penuh keakraban. Langkah kaki mereka yang ringan disertai suara tawa membuat perjalanan terasa singkat.
****
Sampai di Warung Puncak
Ketika mereka tiba, sebuah warung sederhana berdiri di ujung tikungan, dengan meja dan kursi kayu yang tertata rapi di depan. Lokasinya benar-benar strategis, berada di tepi puncak bukit dengan pemandangan langsung ke lembah yang diselimuti kabut.
“Wah, ini keren banget!” ujar Andin dengan kagum, matanya menatap lepas ke arah pemandangan.
Clara segera mengangkat kameranya, memotret suasana. “Udah pasti gue mau duduk di meja yang dekat jendela,” ujarnya sambil setengah berlari.
Mereka pun masuk ke warung, dan pemiliknya, seorang ibu paruh baya dengan senyum ramah, langsung menyapa. “Selamat pagi, anak-anak! Mau makan apa? Baru masak nasi goreng, ada juga bubur ayam.”
"Saya nasi goreng, Bu !” sahut Awan cepat, tanpa pikir panjang.
“Aku juga nasi goreng, Bu. Tapi pedes, ya,” tambah Aldrin.
Sasa dan Clara memesan bubur ayam, sementara Algar dan Andin, dan teman-teman yang lainnya memutuskan mencoba mi rebus yang terlihat menggoda.
Saat makanan disajikan, aroma nasi goreng dan bubur hangat memenuhi ruangan. Mereka semua langsung menyerbu makanannya dengan semangat.
“Ini bubur ayamnya enak banget,” ujar Sasa sambil menyeruput kuahnya. “Bener-bener cocok buat pagi kayak gini.”
“Dan nasinya pas banget! Nggak terlalu berminyak, tapi rasanya nendang,” kata Aldrin dengan mulut penuh, membuat yang lain tertawa.
Clara menatap Algar yang sedang menikmati mie rebus nya. “Al, lo jarang makan di warung kayak gini, kan?”
Algar tersenyum tipis. “Jarang banget. Tapi kalau suasananya kayak gini, makan di warung malah lebih nikmat,” jawabnya sambil melirik Sasa, membuatnya sedikit salah tingkah.
Awan menyandarkan tubuhnya ke kursi setelah menyelesaikan nasi gorengnya. “Ternyata liburan kali ini worth it banget. Gue bahkan lupa kapan terakhir kali santai kayak gini.”
Andin mengangguk setuju. “Iya, ya. Kadang kita terlalu sibuk sama urusan masing-masing. Liburan kayak gini bikin kita sadar kalau momen bareng teman itu penting.”
Percakapan mereka terus berlanjut, mulai dari nanti setelah selesai SMA mereka mau nyambung kuliah atau gak hingga rencana ke depan. Tawa mereka memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat di tengah udara dingin puncak.
Di sela-sela itu, Algar menatap Sasa, yang tengah tertawa bersama teman-temannya. Dalam hati, ia merasa momen ini begitu berharga, dan ia bersyukur bisa berbagi kebahagiaan sederhana seperti ini. "Mungkin momen ini sederhana," pikirnya, "tapi justru di sinilah dia merasa hidup."
Setelah menikmati sarapan yang lezat dan menghabiskan waktu bercengkerama di warung, mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke vila. Matahari mulai naik, menghangatkan udara dingin puncak, dan embun di dedaunan perlahan menghilang.
Awan berdiri sambil merentangkan tubuhnya. “Oke, Guys, waktunya balik. Kalau kita lama-lama di sini, bisa-bisa malas jalan pulang,” ujarnya dengan senyum lebar.
“Setuju. Tapi gue mau jalan pelan-pelan, biar bisa menikmati pemandangan lagi,” Clara menimpali sambil meraih kameranya, bersiap menangkap momen indah di sepanjang jalan pulang.
Mereka mulai menyusuri jalan setapak yang sama, tapi kali ini dengan suasana yang lebih santai. Burung-burung berkicau lebih nyaring, seolah mengiringi langkah mereka. Kabut yang semula menutupi lembah perlahan terangkat, memperlihatkan warna hijau pepohonan yang memukau.
“Gue nggak ngerti, deh, kenapa udara di sini lebih enak dibanding di kota,” ujar Aldrin sambil menghirup napas dalam-dalam. “Rasanya kayak paru-paru gue baru.”
Andin menertawakan komentar itu. “Ya jelas aja! Di sini nggak ada polusi. Kalau di kota, yang kamu hirup kebanyakan asap kendaraan.”
Sasa berjalan di samping Algar, sesekali menatap pemandangan dengan senyum kecil. “Tadi gue pikir lo nggak bakal ikut sarapan bareng, loh,” ujarnya, memecah keheningan di antara mereka.
“Kenapa?” tanya Algar, menoleh dengan alis terangkat.
“Entahlah, lo kelihatan kayak lebih suka sendirian,” jawab Sasa dengan nada menggoda.
Algar tersenyum tipis, menatap jalan di depannya. “Kadang gue memang butuh waktu sendiri. Tapi, gue juga nggak mau melewatkan momen kayak tadi. Nggak setiap hari bisa makan bareng kalian dengan suasana kayak gini.”
Sasa hanya mengangguk kecil, merasa hangat mendengar jawaban itu.
Langkah mereka melambat saat melewati tikungan yang memberikan pemandangan terbaik ke lembah. Clara berhenti sejenak, mengarahkan kameranya ke hamparan pepohonan dan rumah-rumah kecil yang terlihat dari kejauhan.
“Ini bakal jadi foto favoritgue,” katanya dengan nada puas, sebelum menyusul yang lain.
Ketika mereka tiba di vila, matahari sudah mulai menyinari halaman depan. Bangunan kayu itu tampak hangat dan mengundang, dikelilingi oleh pepohonan rindang. Sasa membuka pintu dan segera disambut aroma khas vila yang menenangkan.
“Ah, akhirnya balik juga,” ujar Awan sambil menjatuhkan diri ke sofa di ruang tengah. “Kaki gue rasanya mau copot.”
Andin melepaskan syalnya, meletakkannya di gantungan dekat pintu. “Padahal jalan kita tadi nggak jauh, Wan. Kamu aja yang kebanyakan makan nasi goreng,” godanya, membuat yang lain tertawa.
Clara langsung menuju dapur, mengambil segelas air dingin. “Gue mau duduk di balkon sebentar. Suasananya masih enak buat santai,” katanya sebelum menghilang di balik pintu kaca.
Sasa berjalan ke arah jendela, melihat ke luar. Ia tersenyum kecil melihat bagaimana matahari menyinari taman kecil di depan vila. Algar mendekatinya, membawa segelas teh yang baru saja ia buat.
“Minum dulu,” katanya singkat sambil menyerahkan gelas itu.
Sasa menerimanya dengan senyum. “Makasih. Lo nggak capek?” tanyanya.
“Capek sedikit. Tapi puas,” jawab Algar sambil menatap ke arah yang sama dengannya. “Momen kayak gini yang bikin semua perjalanan terasa berarti.”
Sasa mengangguk pelan, merasakan hal yang sama. Di tengah keheningan vila yang nyaman, mereka semua merasa hari itu sempurna—penuh tawa, kebersamaan, dan kenangan yang akan selalu mereka ingat.