Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Momen tak terduga
Seminggu setelah percakapan itu, Joko dan Vina mulai merasa lebih nyaman dalam kebersamaan mereka. Tidak ada lagi ketegangan atau keraguan yang mengganggu, meskipun mereka belum benar-benar mengungkapkan apa yang mereka rasakan satu sama lain. Mereka lebih sering tertawa bersama, berbagi cerita ringan, dan menikmati waktu bersama tanpa ada tekanan untuk mendefinisikan hubungan mereka.
Namun, hidup di dunia kampus tidak selalu semulus itu. Pada suatu hari, ketika mereka sedang duduk di taman kampus sambil menikmati makan siang, Vina tiba-tiba mendapatkan pesan dari temannya yang mengabarkan tentang seminar fisika yang akan diadakan beberapa hari lagi.
"Jok, lo tahu nggak sih ada seminar fisika tentang quantum mechanics minggu depan? Gue pengen banget ikut, tapi lo tau kan, fisika itu susah banget," kata Vina sambil menunjuk layar ponselnya.
Joko melirik pesan yang ditunjukkan Vina, lalu memutar bola matanya dengan ekspresi khasnya yang setengah tidak sabar. "Quantum mechanics? Itu bahkan lebih rumit dari filsafat. Gue nggak ngerti apa-apa soal itu, Vin."
Vina tertawa ringan. "Iya, gue juga sih. Tapi kata dosen gue, ini bakal ngebahas konsep yang bisa ngebuka cara pandang kita tentang alam semesta. Gue penasaran banget."
Joko memiringkan kepala, berpikir sejenak. "Vin, lo nggak mikir kalau ini cuma bikin lo makin pusing? Kayak filsafat, kan? Kita kadang mikir terlalu dalam, tapi nggak dapet jawaban yang jelas."
Vina mendekatkan wajahnya, menantang. "Emang, kalau lo filsafat, pasti ada jawabannya dong?"
Joko mengangkat alis, merasa sedikit tersinggung, meskipun dia tahu Vina cuma bercanda. "Maksud lo apa, Vin? Filsafat itu buat ngegali pertanyaan, bukan buat jawab yang sudah jelas. Kalau semua pertanyaan punya jawaban pasti, itu berarti kita nggak punya kebebasan berpikir."
Vina menyeringai. "Ya, lo benar juga sih. Tapi, gue rasa sih lebih menarik kalau kita bisa lihat dunia dari dua sudut pandang yang berbeda, lo tahu? Filsafat dan fisika itu seperti dua sisi mata uang."
Joko memandangi Vina yang tersenyum lebar, merasa ada ketertarikan lebih dalam dengan cara dia melihat dunia. "Lo tahu, Vin, gue jadi penasaran. Kenapa lo selalu begitu percaya sama apa yang lo pelajarin? Lo yakin banget kalau fisika itu bisa menjelaskan segalanya."
Vina berhenti sejenak, merenung. "Mungkin bukan tentang menjelaskan segalanya, Jok. Mungkin lebih ke mencoba memahami alam semesta ini dengan cara kita sendiri. Kayak filsafat, kan? Lo coba nyari makna dari segala hal, sedangkan fisika mencoba nemuin 'aturan main' dari alam semesta."
Joko terdiam, mencerna kata-kata Vina. "Iya, lo bener juga. Gue nggak pernah mikir tentang itu."
Vina menepuk pelan bahu Joko. "Yah, kadang kita perlu ngeliat sesuatu dari sudut pandang yang beda, Jok. Gue nggak selalu setuju sama semua yang lo omongin tentang filsafat, tapi gue tetap mikir kalau pemikiran lo itu punya nilai."
Joko tersenyum sedikit, merasa sedikit tersentuh dengan kata-kata Vina. "Gue juga mikir gitu soal lo, Vin. Lo tuh punya cara sendiri buat melihat dunia. Gue rasa itu yang bikin kita bisa saling belajar."
Vina menatap Joko dengan pandangan lembut. "Dan itu yang bikin gue betah ngobrol sama lo, Jok."
Mereka berdua terdiam sejenak, seolah kata-kata itu lebih berarti daripada yang mereka ungkapkan sebelumnya. Mereka tahu bahwa meskipun mereka berbeda, mereka bisa saling melengkapi dalam cara yang tidak terduga.
Namun, tanpa mereka sadari, ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara mereka—sesuatu yang lebih besar dari sekadar perdebatan filsafat dan fisika, lebih dari sekadar dua orang yang berbagi pandangan dunia yang berbeda. Mereka mulai merasakan kedekatan yang tak terucapkan, sebuah perasaan yang membuat mereka semakin sulit untuk berpaling dari satu sama lain.
Sambil menikmati waktu mereka bersama, Joko merasa ada sesuatu yang semakin jelas: meskipun segala sesuatunya masih belum pasti, dia tahu bahwa hubungan ini—entah bagaimana—akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar dari apa yang mereka kira. Sebuah perjalanan yang tidak hanya dipenuhi oleh perdebatan, tetapi juga oleh pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan yang mereka miliki.
Hari-hari terus berlalu, dan kedekatan Joko dan Vina semakin terasa. Meskipun mereka berdua mulai lebih nyaman bersama, perasaan yang tumbuh di antara mereka masih terbungkus dalam kebingungan. Joko, dengan segala keraguannya, masih enggan mengungkapkan apa yang ia rasakan. Begitu juga dengan Vina, yang meskipun sering menampilkan sikap percaya diri, juga tampaknya ragu untuk membuka hatinya sepenuhnya.
Suatu sore, mereka berdua memutuskan untuk pergi ke taman kampus setelah kuliah. Vina membawa buku fisika untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian yang sudah dekat, sementara Joko membawa catatan filsafatnya yang belum selesai. Mereka duduk di bangku panjang di bawah pohon besar, menikmati angin sore yang sejuk.
"Lo masih nggak mau bicarain soal seminar itu?" tanya Joko, mencoba membuka pembicaraan.
Vina tersenyum tipis tanpa menoleh dari bukunya. "Gue sih santai aja, Jok. Lo yang malah lebih serius mikirin itu."
Joko melirik sekilas ke arah Vina. "Gue cuma... penasaran aja sih. Emang lo serius mau jadi ahli fisika?" tanya Joko dengan nada sedikit menggoda.
Vina menutup bukunya, beralih menatap Joko. "Lo serius nanya gitu? Kalau gue sih, ya, gue suka fisika. Tapi gue nggak tahu apa gue bakal jadi ahli fisika. Cuma pengen ngerti lebih dalam aja. Dan... lo sendiri, Jok? Lo yakin nggak mau jadi dosen filsafat?"
Joko menarik napas panjang, menatap Vina dengan tatapan yang agak bingung. "Gue... nggak tahu. Gue rasa gue lebih suka ngulik pertanyaan-pertanyaan besar daripada jawabannya. Tapi makin kesini, gue mikir, mungkin yang gue butuhin bukan cuma soal pertanyaan-pertanyaan itu aja."
Vina terdiam, mengamati ekspresi Joko. "Terus apa yang lo butuhin, Jok?"
Joko tersenyum kaku, merasa sedikit canggung. "Gue nggak tahu. Gue cuma... nggak mau hidup cuma buat mikirin hal-hal yang nggak ada jawabannya terus. Kadang gue merasa kayak... gue butuh seseorang yang bisa ngajarin gue buat ngerti dunia lebih dari apa yang gue tahu."
Vina menatapnya lebih lama, merasa ada kedalaman dalam kata-kata Joko. "Kalo gitu, mungkin lo udah nemuin jawabannya, Jok," katanya pelan, tapi cukup jelas terdengar di telinga Joko.
Joko menoleh, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Apa maksud lo?"
Vina tersenyum, sedikit ragu namun tulus. "Mungkin yang lo butuhin itu bukan cuma pertanyaan besar yang lo gali terus, Jok. Mungkin lo butuh orang yang bisa lo percayai, yang bisa lo ajak ngobrol tentang segala hal—termasuk hal-hal yang lo nggak ngerti. Dan gue rasa... orang itu bisa jadi gue."
Joko terdiam sejenak, kalimat Vina berputar-putar di kepalanya. Perasaannya mulai kacau, namun ada sesuatu yang terasa benar dalam kata-kata itu. "Vin, lo nggak perlu... maksud gue, gue nggak mau lo merasa terbebani."
Vina menatapnya dengan serius. "Jok, gue nggak merasa terbebani. Gue cuma mikir kalau kadang lo nggak perlu selalu mencari jawaban untuk segalanya. Beberapa hal bisa lebih jelas kalau lo buka hati lo dan terima orang lain yang ada di sekitar lo."
Joko terdiam, matanya berkelip seolah sedang mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Vina. Mungkin dia sudah terlalu lama menahan perasaan ini, terlalu takut untuk mengakui apa yang ada di dalam hatinya.
"Vin," Joko akhirnya memulai, suaranya sedikit bergetar. "Gue... nggak tahu harus ngomong apa. Tapi gue rasa gue udah mulai ngerti apa yang lo maksud. Mungkin selama ini gue takut buat ngungkapin perasaan gue, takut kalau nanti gue bakal bikin semuanya jadi rumit."
Vina tersenyum lembut. "Gue nggak akan bikin semuanya rumit, Jok. Gue cuma mau lo tahu kalau gue... gue ada buat lo. Dan kalau lo siap, kita bisa jalani ini bareng."
Joko menatapnya dalam-dalam, merasakan ketulusan dalam mata Vina. Dia merasa ada rasa lega yang datang bersamaan dengan kesadaran bahwa dia tak lagi harus melangkah sendirian. Mungkin perjalanan ini memang penuh ketidakpastian, tapi dia mulai percaya bahwa mereka bisa menghadapinya bersama.
"Aku... aku siap, Vin," kata Joko akhirnya, dengan suara yang lebih tenang dan percaya diri. "Kita jalani ini bersama."
Vina tersenyum lebar, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, Joko merasa seakan-akan ada cahaya baru yang menyinari jalannya. Tidak ada lagi keraguan yang menghalangi. Dia merasa lega, meskipun masih ada banyak hal yang belum mereka ungkapkan, tapi setidaknya, mereka sudah memulai langkah pertama untuk saling memahami.
Mereka berdua duduk di sana, menikmati kebersamaan mereka, menyadari bahwa meskipun dunia kampus sering kali penuh dengan kekacauan dan ketidakpastian, mereka memiliki satu sama lain—dan itu sudah cukup untuk membuat semuanya terasa lebih mudah.