Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 : Preman Tobat
Di bawah lampu jalan yang berpendar remang-remang, Arga sedang melaju pulang dengan motor Honda CBR-nya, menembus malam kota Jakarta yang sibuk. Angin malam terasa dingin, tapi hatinya tetap panas, dipenuhi pikiran tentang keluarga Pak Gunawan yang sedang berjuang. Mungkin karena itu, dia sedikit melamun, melupakan kebisingan kota yang sudah jadi latar belakang hidupnya.
Tiba-tiba, pandangannya teralih ke pinggir jalan. Di sana, di antara gerombolan anak-anak yang tampak seperti komunitas anak jalanan atau geng liar, ada seorang bocah laki-laki yang sedang terpojok. Matanya terlihat memerah, wajahnya pucat, dan tubuhnya tampak kesakitan. Arga, yang awalnya berniat mengabaikan dan melanjutkan perjalanan, merasa ada yang tak beres.
"Aduh, gue kayaknya harus turun tangan nih," gumam Arga sambil menepikan motor dan meletakkan kaki di tanah. Arga menatap bocah itu dan geng-nya yang tampaknya tidak sadar ada orang dewasa yang sedang mengamati mereka.
Dia berjalan mendekat, berusaha tampil tegas, meskipun di dalam hatinya sedikit ragu. "Hei, ngapain lo pada?" Arga bertanya dengan nada yang diharapkan terdengar garang, walaupun ekspresinya lebih mirip detektif yang sedang bingung mencari petunjuk.
Namun, bukannya takut, anak-anak pembuli itu justru menatap Arga dengan tatapan yang lebih berani daripada yang ia harapkan. Salah satu dari mereka bahkan berteriak, "Lo mau ngapain? Mau berantem?" sambil melangkah maju dengan tangan terkepal.
Arga yang belum siap dengan respon ini, sempat terdiam sejenak. "Gila, mereka nggak takut sama gue, ya?" batinnya. Tapi kemudian, tanpa berpikir panjang, Arga kembali menegakkan dada, mengingat kalau dia adalah polisi.
"Gue polisi! Jangan coba-coba, mending lo pergi!" Arga berseru dengan suara lantang, berusaha keras menahan getar ketakutan yang mulai merayapi tubuhnya.
Tentu saja, saat anak-anak itu mendengar kata 'polisi', seketika mereka berubah sikap. Dalam hitungan detik, mereka semua kabur seperti dikejar setan. Mereka lari ke segala arah, masing-masing menanggalkan eksistensi gengnya dengan cepat, seolah-olah mereka sedang berlari dari ujian akhir.
Namun, ada satu anak yang terlalu lambat untuk kabur. Arga, yang dengan gesit dan penuh semangat, berhasil menangkap tangan anak itu yang mencoba melarikan diri.
"Eh, kemana lo? Jangan lari, gue kan belum selesai!" Arga berteriak, sambil menggenggam erat tangan anak itu. Namun, dengan canggung dan penuh kecemasan, Arga menarik anak tersebut ke arah motornya. "Lo nggak bisa lari gitu aja, nak!"
Anak yang tertangkap itu mencoba melawan, namun semakin dia berusaha lepas, semakin Arga merasa dirinya seperti sedang berhadapan dengan superman yang sedang latihan bela diri, meskipun dengan kegagalan yang menggelikan.
Mereka akhirnya berjalan menuju kantor polisi dengan Arga yang tampak bangga karena berhasil menangkap salah satu pelaku, walaupun dengan sedikit rasa malu karena baru saja menyadari bahwa dia harus mengurus anak ini—sendirian.
Di tengah perjalanan, Arga teringat sesuatu yang menggelitik. "Tunggu deh... tadi mereka takut sama gue cuma karena gue ngomong kalau gue polisi, ya? Kalau gitu... mendingan gue jadi petugas parkir deh, pasti takut semua orang."
...****************...
Di kantor polisi yang sudah sepi karena malam mulai larut, Arga duduk di hadapan bocah pembully yang berhasil dia tangkap. Bocah itu, Danu, menatap Arga dengan ekspresi tanpa dosa, padahal tadi jelas-jelas dia sedang menindas bocah lain di pinggir jalan.
"Nama lo siapa?" tanya Arga, mencoba terdengar seperti polisi keras, walaupun malam itu dia sudah kelelahan setelah razia panjang.
"Danu," jawab bocah itu pendek.
"Kenapa lo ngerundung anak itu? Dia ngutang sama lo, atau lo emang iseng aja mau jadi preman kecil?" Arga melanjutkan.
Danu hanya mengangkat bahu, lalu membuang muka. Arga mulai kehilangan kesabaran.
"Lo jawab dong! Jangan bikin gue repot di sini!" seru Arga, tapi Danu tetap diam, malah terlihat seperti bos geng kecil yang sedang ditanya soal wilayah kekuasaannya.
Akhirnya, Arga mencoba pendekatan lain. "Oke, kasih gue nomor telepon orang tua lo. Gue mau bicara sama mereka."
Danu menatap Arga dengan pandangan datar, lalu menjawab dengan suara pelan, "Gue nggak punya orang tua."
Arga tersentak. "Hah? Maksud lo?"
"Ya, gue yatim piatu. Mau lo apa? Masukin gue ke penjara sekalian aja." Danu menantang, suaranya terdengar tegas, padahal jelas usianya belum genap 18 tahun.
Arga terdiam, mencoba mencerna situasi. "Astaga... ini bocah generasi Z emang keras kepala semua, ya?" pikirnya sambil mengusap wajah. "Lo nggak punya nomor siapa kek, wali, kakak, paman, tetangga, siapa aja yang bisa gue hubungi?" desak Arga lagi.
Danu hanya diam, matanya seperti menantang Arga untuk menyerah. Arga, yang sebenarnya sudah lelah, mencoba menahan emosinya. "Kalau gue nggak pake seragam polisi, gue sumpah udah nyubit kuping lo, nak."
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar dari pintu depan kantor polisi. Langkah itu semakin mendekat, lalu seorang pria berbadan besar dengan tattoo full di lengan masuk ke ruangan. Pria itu mengenakan kaos hitam ketat yang memperlihatkan otot-ototnya, sementara wajahnya yang garang seperti baru keluar dari film gangster. Arga, yang sedang duduk di depan Danu, otomatis menoleh, dan matanya membelalak.
"Siapa lagi nih? Preman senior?" batin Arga, bersiap kalau-kalau pria itu ingin mengambil alih situasi.
Pria itu berjalan ke arah Danu, lalu menepuk bahunya dengan santai. "Udah bikin masalah lagi, lo?" tanyanya dengan suara berat yang mirip karakter bos mafia di film laga.
Arga tertegun. "Lo siapa?" tanyanya sambil mencoba menjaga nada suara tetap netral, meskipun jantungnya mulai berdebar.
"Gue? Gue bapaknya." jawab pria itu santai.
Arga hampir terjungkal dari kursinya. "Loh, katanya lo nggak punya orang tua?!" bentaknya pada Danu.
Danu hanya cengengesan, lalu menjawab, "Dia bukan bapak kandung gue, Pak. Tapi anggapannya gitu lah. Jangan marah dong."
Pria bertattoo itu mengangguk pelan ke arah Arga. "Anak ini emang suka bikin repot. Udah, Pak. Kalau mau dihukum, hukum aja. Saya dukung. Biar kapok dia."
Arga merasa kepalanya mau meledak. "Keluarga macam apa ini?!" pikirnya sambil memijat pelipis. "Gue cuma mau ngelurusin kasus kecil, malah ketemu geng preman rumah tangga!"
Namun, Arga tahu kalau kasus seperti ini memerlukan lebih dari sekadar hukuman formal. Dia memutuskan untuk membawa pria itu dan Danu ke mediasi supaya semuanya selesai dengan kepala dingin—meskipun dia sendiri tahu, kepalanya jelas sudah kepanasan.
...****************...
Di ruang mediasi kantor polisi yang sempit, Arga duduk di kursi dengan wajah yang penuh lelah mental. Di depannya, pria bertato besar bernama Bagong duduk dengan tenang, sementara Danu—si bocah pembully—duduk di sebelahnya sambil memelototi meja seolah meja itu punya salah sama dia.
"Jadi...," Arga memulai dengan nada yang sangat sabar, meskipun di dalam hati dia ingin menirukan Bagong dan berteriak ala bos preman, "ini anak Bapak nih, si Danu, nge-bully anak lain. Kenapa, coba?"
Bagong menghela napas panjang seperti seorang bapak yang habis kena tagihan listrik membengkak. "Gini, Pak Polisi... Anak ini memang sering bikin ulah. Tapi saya nggak nyangka dia sampai nge-bully Yudha."
Arga mengernyit. "Yudha? Anak yang dia bully itu?"
"Iya," jawab Bagong sambil mengangguk. "Saya yang ngurus dua anak itu. Mereka ini sebenarnya saudara angkat. Tapi dasar bocah, emang hobinya bikin masalah."
Arga mengangkat alis. "Saudara angkat? Jadi, bapak ngasuh dua anak?"
Bagong mengangguk lagi, kali ini dengan tatapan bangga. "Betul. Saya mantan preman, Pak. Tapi sekarang hidup saya udah lurus. Ngasuh dua anak nakal ini bagian dari jalan tobat saya. Yudha itu anak baik, tapi si Danu..." Bagong melirik Danu dengan pandangan "tunggu aja sampe kita sampai rumah".
Danu, yang jelas merasa terpojok, akhirnya angkat suara. "Yudha tuh nyebelin, Bang! Dia lapor-laporin gue ke guru gara-gara gue bolos sama anak-anak lain. Gue kan nggak ganggu dia juga!"
"LO NGELEM!" Bagong tiba-tiba berseru keras. "GUE NGASIH LO UANG BUAT JAJAN CILOK, BUKAN BUAT NGELEM!"
Danu langsung mengecil di kursinya seperti balon yang kempes. "T-tapi itu cuma sekali, Bang!"
Arga terkejut sampai hampir tersedak udara. "Nge-lem? Bocah ini nge-lem?!" tanyanya dengan nada setengah tak percaya, setengah kesal.
Bagong mengangguk dengan wajah penuh penyesalan. "Iya, Pak. Makanya saya marah. Kalau bisa, Bapak polisi sekalian kasih dia hukuman. Biar kapok!"
Arga menatap Danu dengan tajam. "Lo mau gue kirim ke rehabilitasi sekalian?!" ancamnya.
Danu langsung gelagapan. "E-enggak, Pak! saya janji nggak ngelem lagi! Janji!"
Bagong menatap Arga dengan tatapan penuh penyesalan, seperti orang tua yang anaknya baru ketahuan nyolong ayam tetangga. "Pak, saya minta maaf sebesar-besarnya. Ini salah saya. Saya terlalu sibuk kerja, jadi anak ini kurang perhatian. Tapi, saya janji, si Danu nggak akan ngulangin lagi."
Arga mendengus. "Saya mau percaya anda, Pak Bagong. Tapi kalau anak ini ketangkep lagi sama saya karena ngelem atau nge-bully orang, saya kirim dia ke asrama rehabilitasi. Biar jadi tukang cabutin rumput disana!"
Bagong tertawa kecil sambil mengangguk. "Setuju, Pak. Kalau dia macem-macem lagi, kirim aja ke saya dulu. Biar saya gembleng dia pakai cara lama."
Danu menelan ludah, wajahnya pucat. "Ba-bang... Nggak pake cara lama ya... Nggak pake sandal Swallow lagi..."
Arga, meskipun wajahnya tegas, akhirnya tertawa kecil. "Ya udah, saya kasih kesempatan kali ini. Tapi serius, Pak Bagong, anak ini butuh lebih dari sekedar omelan. Dia butuh diawasin."
Setelah selesai, Bagong berdiri, menjabat tangan Arga dengan sungguh-sungguh, lalu menyeret Danu keluar sambil bergumam, "Nanti gue tambahin jam sapu halaman buat lo. Biar lo tau rasa."
Sementara itu, Arga duduk kembali di kursinya, memijat pelipis. "Hari ini luar biasa aneh. Tapi setidaknya gue nggak nge-lem sih."
...****************...