Di negeri magis Aelderia, Radena, seorang putri kerajaan yang berbakat sihir, merasa terbelenggu oleh takdirnya sebagai pewaris takhta. Hidupnya berubah ketika ia dihantui mimpi misterius tentang kehancuran dunia dan mendengar legenda tentang Astralis—sebuah senjata legendaris yang dipercaya mampu menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Dalam pelariannya mencari kebenaran, ia bertemu Frieden, seorang petualang misterius yang ternyata terikat dalam takdir yang sama.
Perjalanan mereka membawa keduanya melewati hutan gelap, kuil tersembunyi, hingga pertempuran melawan sekte sihir gelap yang mengincar Astralis demi kekuatan tak terbayangkan. Namun, untuk mendapatkan senjata itu, Radena harus menghadapi rahasia besar tentang asal-usul sihir dan pengorbanan yang melahirkan dunia mereka.
Ketika kegelapan semakin mendekat, Radena dan Frieden harus memutuskan: berjuang bersama atau terpecah oleh rahasia yang membebani jiwa mereka. Di antara pilihan dan takdir, apakah Radena siap memb
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dzira Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Pertemuan Tak Terduga
Langit di atas medan perang mulai berubah dari merah gelap menjadi abu-abu yang redup, pertanda bahwa pertarungan antara Melkiya dan para iblis telah berakhir. Tanah di bawah kaki Melkiya penuh dengan bekas luka pertempuran—retakan besar, mayat iblis, dan genangan darah hitam.
Melkiya berjalan dengan langkah goyah, tubuhnya kelelahan setelah mengerahkan semua kekuatannya. Pedangnya yang berkilauan kini tampak pudar, menggantung di tangannya seperti beban berat.
“Ini... akhirnya selesai,” gumamnya pelan, matanya yang keemasan kehilangan kilauannya.
Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, ia bertabrakan dengan seseorang. Benturan itu cukup kuat untuk membuat Melkiya kehilangan keseimbangannya, tetapi ia segera sadar bahwa orang itu bukanlah musuh.
“Maaf, kau tidak apa-apa?” suara tenang terdengar, penuh kehati-hatian.
Melkiya mendongak dan melihat Frieden berdiri di depannya. Ia mengenakan zirah ringan dengan pedang di punggungnya, sementara mata hijaunya menatap Melkiya dengan campuran kewaspadaan dan rasa ingin tahu.
“Seorang... pahlawan?” bisik Melkiya, matanya melebar.
Frieden mengerutkan dahi. “Aku? Tidak, aku bukan pahlawan. Hanya seseorang yang tersesat di tempat yang salah.”
Namun, sebelum Frieden bisa melanjutkan, Melkiya tersenyum, senyum yang lemah tetapi penuh dengan emosi. Ia melangkah maju dan tiba-tiba memeluk Frieden erat-erat.
“Seorang pahlawan akhirnya datang,” katanya dengan suara penuh kelegaan. “Aku tahu dunia ini masih memiliki harapan.”
Frieden membeku, tidak tahu bagaimana harus merespons. Sementara itu, Radena dan Lya, yang berdiri tidak jauh di belakangnya, menatap dengan bingung.
“Frieden, siapa dia?” tanya Radena, matanya waspada.
Frieden melepaskan pelukan Melkiya dengan hati-hati. “Aku tidak tahu. Tapi dia jelas bukan orang biasa.”
Melkiya menatap Frieden, matanya penuh rasa kagum. “Namaku Melkiya. Aku adalah Dewi Perang, pelindung dunia dari kehancuran. Dan kau... kau adalah pahlawan yang telah ditakdirkan untuk membawa perdamaian.”
Radena tertegun. “Melkiya? Dewi Perang?”
Lya mengangkat busurnya sedikit, berjaga-jaga. “Kalau dia seorang dewi, kenapa dia terlihat seperti baru saja bertarung di neraka?”
Rencana yang Berbahaya
Melkiya menjelaskan bahwa ia baru saja menyelesaikan pertempuran melawan para iblis di dunia mereka, tetapi ia merasa dirinya semakin kehilangan kendali selama perang itu.
“Para iblis itu adalah ancaman besar,” katanya. “Aku harus menghancurkan mereka semua demi dunia ini. Tapi... kekuatan ini, rasanya seperti pedang bermata dua.”
Frieden mendengarkan dengan tenang, tetapi pikirannya bekerja cepat. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Melkiya adalah sosok yang sangat berbahaya. Meskipun ia terlihat lemah sekarang, kekuatannya yang luar biasa bisa menjadi bencana jika ia benar-benar kehilangan kendali.
“Aku harus mengatasinya sebelum terlambat,” pikir Frieden.
“Melkiya,” katanya dengan suara lembut, “kau adalah dewi yang luar biasa. Tapi mungkin, setelah semua ini, kau butuh tempat untuk beristirahat. Dunia ini aman sekarang, setidaknya untuk sementara waktu.”
Melkiya menatap Frieden, wajahnya menunjukkan rasa lega. “Kau benar. Aku telah berjuang terlalu lama. Tapi aku tidak bisa meninggalkan dunia ini tanpa perlindungan.”
“Kau bisa mempercayakannya padaku,” kata Frieden, suaranya tenang tetapi penuh keyakinan. “Aku dan teman-temanku akan menjaga dunia ini. Kau hanya perlu beristirahat... dan menyembuhkan dirimu sendiri.”
Melkiya tersenyum lembut. “Kau benar. Aku mempercayaimu, Pahlawan.”
Pengkhianatan yang Halus
Frieden mulai melaksanakan rencananya. Ia tahu bahwa Melkiya, dalam kondisi lemah seperti ini, mudah untuk ditipu. Dengan hati-hati, ia mulai membangun kepercayaan Melkiya, berbicara padanya tentang “tempat suci” di mana ia bisa beristirahat dan memulihkan kekuatannya.
Radena, yang mulai curiga dengan tindakan Frieden, mendekatinya saat mereka berhenti untuk berkemah malam itu.
“Frieden, apa yang kau rencanakan?” bisik Radena.
Frieden menghela napas, menatap Radena dengan serius. “Melkiya adalah ancaman, Radena. Aku tahu dia terlihat seperti dewi yang baik sekarang, tapi kekuatannya terlalu besar untuk dibiarkan bebas. Jika dia kehilangan kendali lagi, tidak ada yang bisa menghentikannya.”
Radena menggeleng. “Tapi kau tidak bisa membohonginya seperti ini. Dia mempercayaimu.”
“Justru karena dia mempercayai aku, aku bisa melakukan ini,” balas Frieden. “Aku tidak punya pilihan lain.”
Radena terdiam, tetapi ia tidak bisa menyangkal bahwa Frieden mungkin benar.
Penyegelan Melkiya
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di sebuah lembah tersembunyi yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi. Frieden meyakinkan Melkiya bahwa tempat ini adalah “tempat suci” yang ia bicarakan, tempat di mana ia bisa beristirahat dengan damai.
“Melkiya,” kata Frieden sambil memandangnya dengan penuh kepalsuan, “dunia ini berterima kasih atas semua yang telah kau lakukan. Tapi sekarang, kau harus mempercayai kami untuk melanjutkan perjuanganmu.”
Melkiya, yang sudah benar-benar percaya pada Frieden, mengangguk. “Aku tahu kau akan menjaga dunia ini dengan baik, Pahlawan.”
Frieden memegang tangannya dengan lembut, sementara Radena berdiri di belakang, menatap dengan campuran rasa bersalah dan kekhawatiran.
Saat Melkiya menutup matanya, Frieden mulai melantunkan mantra yang ia pelajari dari teks kuno di Kuil Astralis. Energi sihir memenuhi udara, menciptakan lingkaran cahaya yang perlahan mengurung tubuh Melkiya.
Ketika segel itu selesai, tubuh Melkiya membeku dalam lingkaran kristal yang memancarkan cahaya lembut.
Radena mendekati Frieden, suaranya rendah. “Apa ini yang terbaik untuknya?”
Frieden menatap segel itu dengan tatapan berat. “Aku tidak tahu. Tapi setidaknya, dunia ini aman untuk sekarang.”
Lya, yang diam selama proses itu, hanya berkata pelan, “Semoga kau benar.”
Ketiganya meninggalkan lembah itu, meninggalkan Melkiya dalam tidur abadinya—sebuah dewi yang dulu menjadi pelindung, tetapi sekarang menjadi ancaman tersembunyi(pada saat 595 surgawi, spoiler pada novel satu lagi!).