"Aku mencintai Humairah, gadis cantik yang mempunyai suara indah dan merdu itu."
Shaka begitu bahagia saat kedua orangtuanya akan menjodohkannya dengan gadis yang dia kagumi. Dia merasa takdir benar-benar menyatukannya dengan Humairah, gadis sholeha, yang memiliki wajah cantik tersembunyi dan hanya dia yang beruntung mendapatkannya.
Gabungan: Sahabatku Ambang Pernikahanku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skyl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 12
Humairah menangis di dalam kamarnya. Dia tidak ingin perjodohan ini. Dan tidak akan pernah membayangkan jika dirinya akan nikah mudah.
Namun, apa dayanya? Dia harus mengikuti keinginan kedua orang tuanya, apalagi pesta sudah disiapkan.
Humairah mengusap air matanya, dia berdiri dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Sampai malam gadis itu tak keluar-keluar kamar membuat orang rumah khawatir, sudah bergantian Halisa dan Arika memanggilnya, tapi Humairah tidak membuka'kannya pintu.
"Ya sudah jika kamu tidak mau sama pernikahan ini, tante akan membatalkannya. Tidak ada pernikahan, tante akan menyuruh orang untuk membereskan semuanya. Maaf kalau tante memaksa kamu. Maaf kalau selama ini tante terlalu memaksa." Arika menelpon seseorang untuk menyuruh bereskan dekorasi.
Humairah menatap ke arah pintu saat mendengar ucapan Arika. Ia beranjak dan membuka kan pintunya.
"Tante."
Arika menoleh.
"Batalkan saja." Arika tersenyum mengusap kepala Humairah dan melangkah pergi dari sana, dari wajahnya terlihat begitu kekecewaan.
Humairah menunduk, dia jadi merasa bimbang. Di lain sisi dia takut, dan sisi lainnya dia tak ingin membuat Arika kecewa, apalagi wanita itu sudah menyiapkan semuanya.
Humairah menatap ke arah lantai bawah, di mana orang-orang membereskan dekorasi pesta untuk lusa.
Dia terdiam lalu beberapa menit kemudian, dia berlari menuruni anak tangga.
"Tante aku mau, jangan di beresin. Aku bersedia," ucap Humairah.
"Bukannya kamu tidak ingin? Tante tidak akan memaksa."
"Humairah mau," jawab Humairah.
"Jangan terpaksa Humairah, ini benar-benar enggak apa-apa. Jika kau tidak ingin tak usah," sahut Arvi.
Humairah menoleh. Dia menggeleng.
"Aku mau," ucap Humairah benar-benar yakin.
"Benarkah?" tanya Arika.
Humairah mengangguk, Arika langsung tersenyum dan memeluknya.
"Akhirnya."
Mereka melepaskan pelukan. Humairah membalas senyuman wanita itu.
"Yaudah kamu makan dulu, ya? Dari tadi kamu belum makan, nanti kamu sakit."
Humairah mengangguk. Arika membawanya ke meja makan, memberinya makanan.
"Ini udah banyak, tan."
"Tidak, kamu harus makan banyak biar sehat sampai hari-H."
"Tapi..."
"Ayo makan Humairah."
Humairah menghela napas dan pada akhirnya menurut. Arika menunggunya di sana, menemaninya makan.
Kedua orang tua Humairah melihat mereka dari kejauhan.
"Mbak Arika akan menjadikan Humairah anaknya sendiri, mas. Dia akan menjaga Humairah. Dia begitu sayang kepada anak kita, aku percaya padanya."
"Semoga keputusan ini jalan yang tepat."
...----------------...
Tengah malam, Shaka merasakan perutnya mulai berbunyi. Sedari tadi juga dia belum makan.
Dia turun ke lantai bawah, berharap ada yang bisa dia makan di dapur, agar perutnya tak sakit dan tidurnya nyenyak.
"Tante lagi buat apa?" tanya Shaka melihat umi Humairah berada di dapur.
"Tan-te lagi ambil air minum, kamu mau apa malam-malam gini ke dapur?"
Shaka menggaruk belakang kepalanya. Haruskah dia jujur?
"Mau nyari makanan, siapa tau masih ada sisa makan malam tadi."
"Ada, mau tante panasi?" tanya Halisa.
"Tidak, tidak usah tante. Tante balik ke kamar aja, Shaka bisa sendiri."
"Benaran bisa sendiri?" tanya Halisa lagi memastikan.
"Bisa, tante istirahat aja."
Halisa mengangguk, wanita paruh baya itu pun kembali ke kamar tamu.
Shaka membuka kulkas, mengeluarkan sisa makanan semalam.
"Gimana cara manasinnya?" tanya Shaka menggaruk belakang kepalanya.
"Sudahlah, makan langsung aja." Shaka menuju kursi bersiap untuk makan.
Usai menghabiskan sepiring makanan, dia membawanya ke wastafel.
"Obat?" Shaka mengerutkan keningnya dan mengambil sebungkus obat di dekat wastafel.
"Nanti gue cari di internet ini obat apa." Shaka mengenggam obat itu kembali ke kamar.
Sesampainya di kamar, Shaka pun mulai mencari obat yang dia dapat di dekat wastafel tadi.
"Obat siapa ini?" tanya Shaka penasaran.
...----------------...
Dua hari kemudian, tepat hari ini acara pernikahan Shaka dan Humairah.
Humairah berusaha menerima lapang dada nasibnya ini. Sedangkan Shaka merasa bahagia bercampur grogi, walaupun dia menunggu momen ini bukan berarti dia tidak khawatir.
Dia takut tidak bisa jadi suami yang baik, apalagi umurnya yang masih begitu muda.
Hanya sedikit tamu yang datang, mereka hanya memerlukan saksi. Mereka merahasia pernikahan ini.
Beberapa saat menunggu penghulu, akhirnya penghulu pun datang.
Dan ijab kabul pun mulai dilaksanakan. Dengan tangan berkeringat, Shaka berjamatan dengan Abian, ayah Humairah.
Tiga kali percobaan Shaka selalu gagal. Namun, yang keempat kalinya akhirnya ijab kabul sempurna Shaka ucapkan.
Humairah menghembuskan napas panjang, sekarang statusnya sudah menikah, resmi menjadi istri seorang Shaka?
Shaka menghela napas lega, dia kira tak akan bisa.
"Kalau udah sah gini berarti Humairah udah bisa nunjukin wajahnya ya?" tanya Arvi membuat orang-orang menatap mereka.
"Bisa, tapi dia hanya bisa menunjukan wajahnya itu kepada suaminya, bukan kamu," jelas Arika.
"Enggak bisa aku juga lihat? Arvi kan kembarannya Shaka, mom. Emang salah?" tanya Arvi.
"Dasar anak nakal." Arika mencubit telinga putranya membuat Arvi meringis, orang-orang pun tertawa.
"Sudah-sudah. Shaka kamu sudah boleh melihat wajah putri etta, kamu juga sudah halal menyentuhnya. Dia sudah menjadi tanggung jawabmu, saya sudah lepas tangan dan memberikannya kepadamu, semoga kamu bisa menjaga anak etta."
Shaka mengangguk pelan.
"Saya tidak berjanji, tapi saya usahakan akan menjaga Humairah seperti bagaimana om menjaganya."
"Sudahlah, saya mau bawa balik putri saya ke kampung, masa udah jadi menantu masih manggil saya om?"
Shaka menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Mereka semua pun tertawa.
Ditengah-tengah kebahagiaan mereka. Humairah hanya diam.
"Sudah-sudah sepertinya pengantin wanitanya sudah capek, sebaiknya disuruh istirahat dulu. Atau beri waktu pengantin baru."
Mereka menyuruh keduanya masuk ke dalam kamar untuk berbicara berdua saja.
Shaka dan Humairah pun meninggalkan pelaminan lalu menuju kamar.
Sesampainya di kamar. Shaka menutup pintu kamar, Humairah pun merasa takut.
"L-o enggak mau bersih-bersih dulu? Enggak gerah?" tanya Shaka membuka suara.
Humairah berdiri. Dia membawa pakaiannya masuk ke dalam kamar mandi tanpa melepaskan satu kain pun di tubuhnya
Shaka duduk di sofa, jujur dia juga begitu grogi disituasi seperti ini.
Beberapa saat kemudian Humairah keluar dari kamar mandi.
"Lo enggak gerah pakai gitu mulu? Lagian udah sahkan? Kenapa mesti masih pake cadar dan hijab?" tanya Shaka.
Humairah menghela napas panjang, dia belum siap, tapi mau gimana pun Shaka punya hak melihat wajahnya.
Shaka menunggu istrinya itu membuka cadarnya. Perlahan pun Humairah melepaskan cadarnya.
Shaka tersedak air liurnya sendiri melihat wajah Humairah.
"Kenapa?" tanya Humairah.
Shaka menggeleng, dia berlalu ke kamar mandi agar bisa mengendalikan dirinya.
Humairah meraba wajahnya lalu menatap ke arah cermin, melihat wajahnya.
"Perasaan tidak kenapa-napa, kenapa dia terlihat begitu terkejut?"