Setelah tepat 5 tahun hubungan Alessa bersama seorang pria yang dikenal sebagai Ketua Mafia, tanpa dia sadari akhirnya mereka berpisah karena satu hal yang membuat Alessa harus rela meninggalkan Xander karena permintaan Ibunya Xander.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NisfiDA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Anggota Baru
Hari, minggu, dan bulan berlalu begitu cepat. Xander dan anak buahnya selalu waspada, selalu siap menghadapi segala kemungkinan.
Xander tidak dapat menahan perasaan gelisah, mengetahui bahwa keberadaan mereka yang damai dapat dihancurkan kapan saja oleh musuh-musuh mereka.
Ia memastikan anak buahnya selalu waspada, dan bahwa langkah-langkah keamanan mereka selalu mutakhir.
Meskipun ada ketegangan yang mendasari kehidupan mereka sehari-hari, Xander mencoba mempertahankan rasa normal bagi Alessa, dengan menyadari bahwa ia membutuhkan stabilitas dan keamanan selama kehamilannya.
*********
Bulan demi bulan berlalu, dan kehamilan Alessa pun mendekati akhir. Kecemasan dan kekhawatiran Xander semakin meningkat saat hari persalinan semakin dekat.
Pikiran tentang musuh-musuhnya yang menyerang saat Alessa melahirkan menjadi sumber ketakutan dan kekhawatiran yang terus-menerus baginya.
Setiap hari, ia memastikan keamanan mereka diperketat, dengan menambah kehadiran pengawal di dalam dan di sekitar rumah.
Ia bertekad untuk memastikan tidak ada seorang pun yang akan menyakiti istri dan putra kembarnya.
Alessa sudah merasakan sakit selama beberapa hari ini, tetapi ia mencoba menyembunyikannya dari Xander, karena tidak ingin membuatnya semakin khawatir. Ia tahu Xander sudah gelisah, dan ia tidak ingin menambah stresnya.
Namun, saat rasa sakit itu makin kuat dan sering, ia merasa makin sulit menyembunyikannya dari Xander, yang jeli dan peka terhadap gerakannya, memperhatikan seringai dan napasnya yang tersengal-sengal.
"Hubby" panggil Alessa dengan nada mendesaknya
Xander berdiri di dekatnya, pikirannya dipenuhi dengan pikiran tentang keselamatan dan keamanan mereka.
Mendengar suara Alessa, dia segera mengalihkan perhatiannya ke arahnya, ekspresinya dipenuhi dengan kekhawatiran.
"Ada apa, Sayang? Kamu kesakitan?" tanyanya sambil menghampirinya dengan cepat.
" Ah sakit sekali"
Begitu mendengar kata-katanya, kerutan dalam muncul di dahi Xander. Dia bergerak cepat ke sisinya, tangannya dengan lembut bertumpu di bahunya.
"Seberapa parah, Sayang? Di mana yang sakit?" tanyanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran dan kelembutan.
"Perutku benar-benar sakit Xander"
Kekhawatiran Xander semakin dalam mendengar kata-katanya. Dia meletakkan tangannya dengan lembut di perutnya yang bengkak, merasakan ketegangan dan kekencangan di otot-ototnya.
"Tenang saja, Sayang," katanya, suaranya menenangkan. "Kontraksi semakin kuat, yang berarti bayi akan segera lahir. Aku harus membawamu ke rumah sakit."
Saat Alessa mengangguk setuju, ekspresi Xander berubah serius. Ia dapat melihat rasa sakit terukir di wajahnya, dan kontraksinya semakin cepat dan kuat sekarang. Ia segera bergerak ke sisinya, menawarkan dukungannya.
"Baiklah, Sayang," katanya, suaranya tenang dan meyakinkan. "Kita akan ke rumah sakit sekarang. Bisakah kamu berjalan atau perlu aku menggendongmu?"
" Tolong gendong saja aku, ini benar-benar sakit"
Xander mengangguk, memahami beratnya situasi. Ia dengan lembut mengangkatnya ke dalam pelukannya, berhati-hati agar tidak membuatnya kesakitan atau tidak nyaman lagi.
Dadanya yang bidang dan lengannya yang kuat memberikan pelukan yang aman dan nyaman saat ia menggendongnya menuju mobil.
"Bertahanlah, Sayang," bisiknya, suaranya penuh kelembutan dan cinta. "Kita akan segera ke rumah sakit, dan para dokter akan merawatmu dan bayi-bayi kita."
*********
Sesampainya di rumah sakit, Xander bertindak cepat, tidak membuang waktu untuk membawa Alessa ke ruang bersalin. Meski sudah larut malam, staf medis sudah siap dan menunggu mereka.
Mereka segera mengambil alih, memeriksa kondisi Alessa, dan mempersiapkannya untuk melahirkan.
Xander berdiri di sampingnya sepanjang waktu, wajahnya menunjukkan campuran kekhawatiran dan antisipasi.
Dia memegang tangannya erat-erat, diam-diam menawarkan dukungan dan cintanya yang tak tergoyahkan.
Dokter datang dan mulai memeriksa perkembangan Alessa.
Setelah pemeriksaan menyeluruh, dokter mengumumkan bahwa serviks Alessa telah melebar sepenuhnya dan sudah waktunya baginya untuk mulai mengejan.
"Nyonya anda sekarang berada di tahap akhir," kata dokter itu, dengan senyum lembut di wajahnya. "Anda siap untuk mulai mengejan, Nyonya Oliver."
Saat dokter memerintahkan Alessa untuk mulai mengejan, ia menggenggam tangan Hyper erat-erat, buku-buku jarinya memutih karena tekanan.
Xander membalas dengan meremas, menawarkan dukungan dan kekuatan tanpa suara. Seluruh fokusnya tertuju pada Alessa, jantungnya berdebar kencang karena campuran kegembiraan dan ketakutan saat kelahiran putra kembar mereka semakin dekat.
"Ayo sayang," Xander menyemangatinya. "Kamu hebat. Bernapaslah dan dorong saja, dan putra-putra kita akan segera lahir."
Alessa menarik napas dalam-dalam dan mulai mengejan. Kontraksi dan rasa sakitnya sangat kuat, dan wajahnya menegang karena berusaha. Xander dapat melihat keringat menetes di dahinya dan tekad di matanya.
"Ayo sayng" Xander mengulang, suaranya dipenuhi dengan semangat. "Kau melakukannya dengan luar biasa. Hanya beberapa dorongan lagi, dan putra-putra kita akan sampai di sini."
Ruangan itu dipenuhi suara tangisan bayi, tanda bahwa si kembar pertama telah lahir. Wajah Alessa memerah karena kelelahan, tetapi matanya berbinar-binar karena air mata kebahagiaan dan kelegaan.
Ia menatap bungkusan kecil di tangannya, hatinya meluap karena cinta dan kebanggaan.
Xander berdiri di sampingnya, hatinya dipenuhi emosi. Ia membelai pipi Alessa dengan lembut, sentuhannya penuh kelembutan dan kekaguman.
"Kamu berhasil, Sayang," bisiknya. "Putra pertama kita sudah lahir, dan dia sangat tampan"
Saat Alessa mulai menikmati kegembiraan melahirkan putra pertamanya, tubuhnya kembali bersiap untuk kelahiran anak kembarnya yang kedua. Kontraksinya intens dan berdekatan, dan wajahnya berubah karena rasa sakit.
Ia menggenggam tangan Xander sekali lagi, meremasnya erat saat gelombang rasa sakit lainnya menerpanya.
Xander menatapnya, campuran kekhawatiran dan kegembiraan terukir di wajahnya.
"Kamu bisa melakukannya, Sayang," katanya meyakinkan. "Tinggal sedikit lagi, dan putra kedua kita akan segera lahir."
Dengan usaha keras, Alessa mengumpulkan sisa tenaganya dan menarik napas dalam-dalam.
Kemudian, dengan tekad dan keberanian, ia terus maju dengan sekuat tenaga.
Rasa sakitnya sangat kuat, tetapi ia tahu bahwa ia semakin dekat untuk melahirkan putra kedua mereka ke dunia.
"Kau hampir sampai, Sayang," Xander menyemangati sekali lagi, suaranya penuh kekaguman sekaligus cinta. "Satu dorongan lagi, dan keluarga kita akan lengkap."
"Aaaaaaaaaaaaaahhh" teriak Alessa saat mengejan terakhir
Dengan satu dorongan terakhir yang kuat, bayi kembar kedua lahir, dan ruangan itu kembali dipenuhi suara tangisan bayi.
Alessa jatuh terlentang di tempat tidur, benar-benar kelelahan, tubuhnya dipenuhi keringat dan kelelahan.
Xander berdiri di sampingnya, matanya berbinar penuh emosi saat menatap keluarga mereka yang kini lengkap.
Ia membelai dahinya dengan lembut, sentuhannya penuh kelembutan dan kelegaan.
"Kau berhasil, Sayang," bisiknya, suaranya tercekat karena emosi. "Kau berhasil. Kau melahirkan dua putra yang sehat dan tampan."
Alessa terbaring lemah air matanya mengalir saat melihat kedua anak lahir.
"Mereka sangat tampan sepertimu Hubby"
Xander melihat kedua putra kembarnya, bayi mungil yang dibungkus selimut di pelukan perawat.
Rasa bangga dan kasih sayang menyelimutinya saat ia menatap kedua putranya lalu kembali menatap Alessa.
Ia menoleh padanya, senyum lembut tersungging di bibirnya. "Mereka sempurna, Sayang," katanya, suaranya penuh dengan rasa kagum. "Persis seperti ibu mereka yang cantik."
**********
Setelah dua jam, Alessa didorong ke ruang pemulihan. Rambutnya sedikit kusut, tetapi kulitnya berseri-seri karena melahirkan.
Ia masih kelelahan, tetapi matanya berbinar karena kegembiraan dan kepuasan. Xander mengikutinya, tatapannya tak pernah lepas darinya.
Dia memperhatikan bagaimana dia melirik ke arah keranjang bayi kecil tempat putra kembar mereka beristirahat, dan sebuah senyuman kecil mengembang di sudut bibirnya.
" Kau bahagia Hubby?"
Xander menatap Alessa, ekspresinya lembut dan penuh cinta. Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arahnya, dengan lembut menyingkirkan sehelai rambut dari wajahnya.
Ia lalu mengangguk tanpa ragu, suaranya penuh kelembutan. "Tentu saja aku bahagia, Sayang," bisiknya. "Bagaimana mungkin aku tidak bahagia saat menatapmu dan putra-putra kita yang tampan?"
Alessa tersenyum dia merasakan sangat bahagia sekali.
"Terima kasih dari awal sampai akhir kamu selalu menemaniku Hubby"
Hati Xander berbunga-bunga karena kasih sayang saat melihat senyum di wajah Alessa. Kata-katanya menyentuh hatinya, dan dia menggenggam tangan Alessa, membelai jari-jarinya dengan ibu jarinya.
Dia membawa tangan wanita itu ke bibirnya dan menciumnya dengan lembut, tatapannya penuh dengan cinta dan kekaguman.
"Tidak ada yang perlu kau ucapkan terima kasih sayang," bisiknya. "Aku akan selalu ada untukmu, apa pun yang terjadi. Kamu dan anak-anak kita adalah duniaku."
Alessa menganggukkan kepalanya lalu dia tersenyum. Mata kembali menatap kedua kotak bayi kembarnya tersebut.
"Lalu, siapa nama mereka berdua, Hubby?"
Xander mengikuti pandangannya ke keranjang bayi tempat putra kembar mereka beristirahat dengan tenang.
Ia meluangkan waktu sejenak untuk mengamati wajah-wajah kecil mereka, mengamati ciri-ciri mereka, dan mengagumi kepolosan mereka.
Ia kemudian menoleh ke Alessa, senyum mengembang di bibirnya. "Aku sudah memikirkan nama-nama mereka," katanya, suaranya lembut dan terukur. "Kupikir kita bisa menamai yang pertama Marco dan yang kedua Luca. Bagaimana menurutmu, Sayang?"
"Apa tidak ada nama yang lebih bagus, Hubby?"
Xander merenungkan pertanyaan Alessa sejenak, sambil memikirkan nama-nama yang berbeda dalam benaknya.
Ia ingin nama anak laki-laki mereka kuat dan bermakna, seperti warisan keluarga mereka.
Dia memiringkan kepalanya sedikit, dengan ekspresi serius di wajahnya. "Jika kamu punya saran lain, Sayang, aku terbuka untuk mendengarnya," katanya, dengan tulus tertarik pada masukannya. "Kita bisa meluangkan waktu dan menemukan nama yang tepat untuk anak laki-laki kita. Bagaimanapun, mereka akan menyandang nama-nama itu selama sisa hidup mereka."
"Bagaimana kalau Ethan Edles Oliver untuk putra pertama kita dan Evan Kyle Oliver untuk putra kedua kita"
Xander mempertimbangkan saran-saran Alessa, merenungkannya dalam benaknya. Ia mengangguk perlahan, matanya berbinar saat menyadari bahwa nama-nama itu terdengar bagus.
"Ethan dan Evan," katanya, sambil mencoba nama-nama itu di lidahnya. "Aku suka. Nama-nama itu kuat dan abadi, cocok untuk anak laki-laki kita."
Ia kemudian menatap Alessa, dengan senyum penuh persetujuan di wajahnya. "Benar Ethan dan Evan, Sayang. Kamu punya bakat dalam memilih nama."
"Ethan dan Evan dia sangat tampan sepertimu Hubby"
Xander menyeringai mendengar komentar Alessa, dadanya sedikit membusung karena bangga saat pujian itu mengalir padanya.
Dia menundukkan kepalanya dan menempelkan dahinya lembut ke dahi wanita itu, suaranya penuh kasih sayang.
"Kau benar-benar berpikir begitu, Sayang?" tanyanya, dengan nada main-main dalam suaranya. "Menurutmu, apakah anak laki-laki kita akan mewarisi ketampanan dan pesonaku?"
Alessa menganggukkan kepalanya.
"Tentu saja Hubby, mereka akan mewarisi ketampanan dan pesona yang ada pada dirimu nantinya Hubby"
Xander terkekeh pelan, hatinya membengkak karena perpaduan antara kebahagiaan dan sedikit kesombongan.
Dia menegakkan tubuhnya kembali, menyilangkan lengan di depan dada sembari menatap ke arah Alessa, dengan senyum sombong di wajahnya.
"Kau benar-benar tahu cara menyanjung seorang pria, Sayang," katanya, matanya berbinar-binar karena geli. "Tapi harus kuakui, membayangkan putra-putra kita menjadi versi mini dari diriku cukup menarik."
"Cukup menarik membuatmu frustasi bukan" ejeknya Alessa
Xander berpura-pura tersinggung, tangannya secara dramatis memegang dadanya dengan pura-pura kesakitan.
"Frustasi? Aku? Ayolah, Sayang, aku dikenal punya kesabaran yang tak terbatas," jawabnya dengan nada sarkasme. "Tapi kadang-kadang kamu tahu bagaimana cara membuatku kesal."
Alessa hanya tertawa melihatnya begitu sangat tau caranya membuat Xander kesal.
Xander berpura-pura cemberut mendengar tawa Alessa, meskipun matanya mengkhianati emosinya yang sebenarnya, berkilauan dengan kasih sayang dan geli.
Dia tahu betul jenis candaan yang dia lakukan, dan dia diam-diam menikmati setiap bagiannya.
"Beruntunglah kau begitu manis," godanya, suaranya penuh dengan kekesalan palsu. "Kalau tidak, aku harus menghukummu karena selalu membuatku marah seperti ini."
Alessa semakin tertawa melihat wajahnya Xander yang sangat cemberut.
"Baiklah-baiklah, sekarang waktunya untuk kita istirahat karena sudah larut malam sekali"
Xander pura-pura cemberut beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum.
Dia mengangguk setuju, menyadari bahwa hari sudah mulai larut dan mereka berdua butuh istirahat setelah seharian beraktivitas.
"Kau benar, Sayang," katanya, suaranya kini lebih lembut. "Kau harus beristirahat. Kita akan membutuhkan semua energi yang bisa kita kumpulkan untuk mengurus anak-anak nakal kita."
Alessa menganggukkan kepalanya, lalu dia menutup matanya dan memegangi tangan Xander.
Xander mengaitkan jari-jarinya dengan jari-jari Alessa, meremasnya dengan lembut untuk menenangkannya.
Ia memperhatikan mata Alessa yang mulai terpejam, kelelahan hari itu akhirnya menghampirinya.
Ia membungkuk dan mengecup kening Alessa dengan lembut, suaranya seperti bisikan yang menenangkan.
"Istirahatlah, Sayang," bisiknya. "Aku akan di sini, menjagamu dan anak-anak kita. Kau aman bersamaku."