Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draven Mendekati
Draven masuk ke lobi hotel dengan santai. Malam itu terasa berbeda. Beban yang ia rasakan selama ini secara bertahap hilang darinya. Meskipun ia sendiri tidak benar-benar mengerti mengapa, wajahnya tidak bisa menyembunyikan senyum kecil yang terus muncul di bibirnya. Dia terus berpikir tentang Belle, percakapan mereka yang panjang, dan bagaimana ia merasakan ikatan yang tak pernah ia duga dengannya.
Nathan, salah satu temannya, duduk santai di sofa sambil menonton televisi saat ia membuka pintu kamar hotelnya. Nathan menoleh ke arah pintu dan langsung mengangkat alis saat melihat Draven tersenyum.
"Apa itu karena Paula?" Nathan bertanya dengan nada menggoda, meletakkan remote TV di meja. "Kenapa kau senyum-senyum sendiri?" Jangan bilang Anda baru saja bertemu dengannya dan semuanya tiba-tiba menjadi lebih baik.
Setelah menyadari bahwa ekspresinya mungkin memberi kesan yang salah, Draven tertawa kecil. Ia berusaha menghilangkan senyumannya dengan menggelengkan kepala. "Bukan, bukan karena Paula," jawabnya sambil berjalan menuju meja dan meletakkan ponselnya dan kunci kamar di atasnya.
Oh? Kalau bukan Paula, lalu siapa?" Nathan duduk tegak, matanya berkilat penuh rasa ingin tahu. "Kau pasti bertemu seseorang. Ayo, jangan rahasiakan dariku."
Berhenti sejenak, Draven mempertimbangkan jawabannya. Dia tidak ingin meninggalkan kesan yang buruk, terutama karena hubungannya dengan Paula sudah cukup rumit. Namun, dia juga merasa pertemuan malam ini dengan Belle terlalu istimewa untuk dilewatkan.
Sambil duduk di kursi di dekat jendela, Draven berkata, "Aku bertemu seseorang, tapi bukan seperti yang kau pikirkan." Tatapannya mengalihkan pandangannya ke arah lampu-lampu kota Manchester yang berkedip di luar. "Hanya... sebuah pertemuan yang tidak terduga".
Dengan reaksi singkat itu, Nathan menaikkan sebelah alisnya. Reuni yang tidak diduga? Bersama siapa? Aku tidak sabar, Draven. Jangan gantungku di sini.
"Ingat gadis yang kutemui secara tidak sengaja beberapa kali sejak kita di sini?" Draven tersenyum sambil menatap Nathan. Belle, setelah mengantar Paula ke bandara, kami akhirnya berbicara cukup lama tadi malam.
Nathan terdiam sejenak, mengingat kembali gadis yang Draven maksud. "Ah, Belle... gadis yang kau temui di pub waktu itu, kan?" Nathan berpikir sejenak, lalu senyumnya semakin lebar. "Tunggu, jadi itu sebabnya kau terlihat begitu santai sekarang? Setelah Anda dan dia berbicara, semuanya tiba-tiba berubah?"
Draven mengangguk pelan, seolah mengakui perasaannya. "Ya, entah bagaimana... berbicara dengannya membuatku merasa... lega. Seperti ada seseorang di luar sana yang benar-benar mengerti perasaan yang selama ini kupendam. Seperti... aku tidak sendirian dalam menjalani semua tekanan ini."
Nathan tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. "Aku tidak menyangka, Draven. Kau, yang selalu terlihat begitu tenang dan mampu menangani segalanya, ternyata punya sisi yang rapuh juga."
Meskipun dia tersenyum, Draven tidak menanggapi komentar itu. Dia hanya berpikir tentang bagaimana pertemuan dengan Belle mengubah hidupnya. Bukan hanya karena mereka memiliki cerita hidup yang sama, tetapi karena Belle mampu membuatnya merasa nyaman untuk berbagi, sesuatu yang jarang dia alami dengan teman-teman dekatnya.
"Jadi, apa rencanamu sekarang?" Nathan bertanya dengan ingin tahu. Akankah Anda menghubunginya lebih lanjut? Atau, Anda hanya akan membiarkan hal ini berakhir?
Setelah berpikir sejenak, Draven menjawab, "Aku tidak tahu, Nathan. Belle bukan seperti orang lain yang pernah kukenal." Rasanya... aku ingin mengenalnya lebih jauh. Tapi di sisi lain, aku tahu ada hal-hal yang masih perlu diselesaikan, terutama dengan Paula."
"Ah, Paula. Ya, aku mengerti itu tidak akan mudah, terutama karena tunangan kalian diatur oleh keluarga," Nathan mengangguk.
“Benar,” gumam Draven, wajahnya kembali serius, "Paula adalah bagian dari kehidupan yang sudah ditentukan untukku sejak awal." Dan aku masih belum menemukan cara untuk keluar dari situasi ini.
"Kau perlu waktu untuk berpikir," kata Nathan sambil bangkit dari sofa dan menepuk bahu Draven. Jangan terlalu terburu-buru untuk membuat keputusan. Tapi yang jelas, Belle mungkin layak diberi kesempatan jika dia bisa membuatmu merasa lebih baik dengan obrolan singkat.
"Mungkin kau benar," kata Draven dengan senyum tipis.
Nathan tersenyum dengan makna dan meninggalkan Draven sendirian di kamar. Draven terdiam sejenak, melihat keluar jendela, berpikir tentang Belle dan apa yang mungkin terjadi jika dia terus mengikuti perasaannya.
Bayangan senyum Belle, cara ia berbicara dengan semangat, dan perasaan hangat yang ia rasakan ketika berada di dekatnya menguasai pikirannya malam itu. Suatu hal yang baru dan tak terduga telah muncul, dan Draven menyadari bahwa pertemuan ini akan sangat sulit untuk dilupakan.
Namun, satu hal yang jelas di balik semua keraguan dan kesulitan dalam hidup Draven adalah Belle telah membuka pintu baginya ke dunia yang berbeda. Di sana, ia dapat menjadi dirinya sendiri tanpa tekanan dan tanpa rencana yang sudah ditentukan oleh orang lain.
***
Keesokan harinya, Belle sedang bersiap-siap untuk kelas pertamanya saat suara ketukan di pintu asramanya mengejutkannya. Ia melihat keluar jendela kecil pintu dan matanya melebar ketika menyadari siapa yang berdiri di sana. Draven. Dengan jaket hitam dan senyum tenang, dia tampak sangat berbeda dari orang yang baru saja ia temui beberapa hari lalu.
“Draven?” Belle bergumam, merasa bingung. "Apa yang dia lakukan di sini?"
Ia bergegas membuka pintu, dan rasa canggung segera menyelimuti keduanya saat pandangan mereka bertemu.
“Selamat pagi,” sapa Draven sambil menganggukkan kepala. “Aku harap tidak mengganggumu.”
Belle menelan ludah, masih terkejut. "Pagi... tidak, tidak mengganggu. Tapi... kenapa kau di sini?"
Draven tersenyum kecil, ekspresinya tampak santai namun serius. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Setelah obrolan kita tadi malam, aku merasa ada hal yang belum selesai. Kau baik-baik saja?"
Belle tersentak, tak tahu harus berkata apa. Pertemuan mereka kemarin memang tak disangka-sangka, tapi Belle tak pernah membayangkan Draven akan datang lagi, apalagi ke asramanya.
"Aku... baik-baik saja," jawab Belle akhirnya. "Tapi... kenapa kau datang ke sini? Bukankah kau seharusnya bersama teman-temanmu?"
Draven menatapnya sebentar sebelum mengangguk. "Ya, seharusnya begitu. Tapi ada sesuatu tentangmu, Belle. Ada sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak."
Belle merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia merasa ada sesuatu yang dalam di balik ucapan Draven, sesuatu yang tidak pernah ia harapkan dari seorang pria seperti dia. Dia menahan napas, tidak yakin apa yang harus dikatakan.
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus