Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peringatan Dari Ezra
Malam itu, setelah ospek hari kedua berakhir, Lily dan Melisa memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah Melisa. Mereka duduk santai di ruang tamu sambil mengobrol tentang kejadian sepanjang hari, terutama tentang Radit yang semakin mendekati Lily. Obrolan mereka penuh canda tawa, sampai akhirnya Melisa merasa tergoda untuk menceritakan semuanya kepada Ezra.
“Kak, tahu nggak? Si Lily nih sekarang jadi incaran kakak tingkat loh!” kata Melisa sambil tersenyum jahil, matanya melirik ke arah kakaknya yang sedang duduk di sofa tak jauh dari mereka.
Ezra yang sedang membaca buku, menurunkan bukunya dan menatap adiknya. “Oh ya? Siapa kakak tingkatnya?”
Melisa tertawa kecil sebelum menjawab, “Namanya Radit, dia panitia ospek. Kayaknya sih lagi naksir Lily.” Lalu, dia mengedipkan mata ke arah Lily yang langsung merasa malu.
“Mel, nggak usah lebay gitu,” ucap Lily sambil menutupi wajahnya dengan bantal, malu dengan cerita yang dibesar-besarkan oleh Melisa.
Ezra meletakkan bukunya dan memandang Lily dengan serius. “Lily, kamu hati-hati sama kakak tingkat yang tiba-tiba mendekati saat ospek.”
Lily mengangkat alis, sedikit bingung dengan ucapan Ezra. “Kenapa, Kak?”
Ezra menghela napas pelan, lalu bersandar di sofa. “Biasanya ada udang di balik batu kalau mereka terlalu cepat mendekati mahasiswa baru, apalagi saat ospek. Kakak tingkat yang kayak gitu kadang punya maksud tersembunyi.”
Melisa yang mendengar peringatan itu langsung berkomentar, “Maksud Kak Ezra, kakak tingkat kayak Radit ada maunya gitu?”
Ezra mengangguk. “Bukan berarti semua kakak tingkat seperti itu, tapi sering kali mereka menggunakan ospek sebagai kesempatan untuk mendekati mahasiswa baru, bukan untuk tujuan yang baik. Bisa saja mereka cuma main-main, atau lebih buruk, memanfaatkan posisinya sebagai panitia untuk hal-hal yang tidak pantas.”
Mendengar itu, Lily mulai merasa sedikit was-was. Meski Radit selama ini bersikap ramah dan perhatian, dia jadi bertanya-tanya, apakah ada maksud lain di balik sikap manisnya? Apakah Radit benar-benar tertarik padanya, atau hanya melihat Lily sebagai target mahasiswa baru yang mudah didekati?
Melisa yang biasanya santai pun ikut berpikir. “Kak Ezra bener juga, sih. Kalau dipikir-pikir, Radit kok tiba-tiba banget deketin kamu, Lil.”
Lily terdiam, memikirkan semua yang terjadi selama ospek. Perhatian Radit yang terus-menerus dan pesan-pesan dari @Eagle22 di grup chat mulai terasa lebih mencurigakan. Lily merasa bingung antara mengikuti perasaannya atau mengikuti peringatan dari Ezra.
Ezra menatap Lily dengan penuh perhatian. “Gue cuma mau kamu hati-hati, Lil. Jangan mudah percaya sama orang yang baru kamu kenal, terutama dalam situasi kayak ospek. Kalau memang dia serius, nanti dia pasti akan menunjukkan dengan cara yang benar.”
Lily tersenyum tipis dan mengangguk. “Iya, Kak. Aku ngerti.”
Namun, di dalam hatinya, perasaan campur aduk mulai muncul. Di satu sisi, dia merasa terkesan dengan perhatian Radit, tapi di sisi lain, peringatan Ezra membuatnya ragu. Perasaan yang sudah lama dia pendam untuk Ezra kini kembali mencuat, ditambah dengan situasi yang makin membingungkan dengan Radit.
Melisa, yang menyadari kebingungan Lily, mencoba mengubah suasana. “Yaudah lah, Lil. Kita lihat aja gimana nanti. Yang penting kamu jangan baper duluan, oke?”
Lily tertawa kecil. “Iya, Mel. Santai aja kok.”
Malam itu, setelah pembicaraan mereka selesai, Lily merenung sendirian di kamarnya. Dia memikirkan Radit dan bagaimana sikapnya yang mendekatinya sejak ospek dimulai. Apakah Radit benar-benar tertarik padanya? Atau apakah ada sesuatu yang lain di balik perhatian yang diberikan oleh kakak tingkat itu? Dan di saat yang sama, hatinya tak bisa mengabaikan perasaan yang masih ia miliki untuk Ezra.
Saat malam semakin larut, Lily memutuskan untuk mengambil napas dalam-dalam. Dia tidak ingin terburu-buru membuat keputusan. Dia harus lebih berhati-hati, terutama setelah mendengar peringatan dari Ezra. Namun, perasaan dalam hatinya tetap tak bisa ia abaikan begitu saja.
***
Keesokan harinya, Lily dan Melisa kembali menghadiri ospek. Hari ketiga berlangsung lebih padat dengan kegiatan-kegiatan akademik dan presentasi dari dosen-dosen senior. Namun, Lily tak bisa sepenuhnya fokus. Pikirannya masih terbayang oleh percakapan dengan Ezra semalam.
Di tengah kegiatan ospek, Radit kembali mendekati Lily. Dengan senyum hangatnya, dia bertanya, “Gimana hari ini, Lily? Sudah lebih nyaman sama suasana kampus?”
Lily tersenyum sopan dan menjawab singkat, “Lumayan, Kak.”
Namun kali ini, Lily merasa lebih waspada. Setiap kali Radit memberikan perhatian lebih, dia mencoba mengingat peringatan Ezra. Apakah Radit benar-benar tertarik padanya, atau apakah ada maksud lain yang ia tidak tahu?
Di akhir hari ospek, Radit mendekati Lily lagi saat mereka berjalan menuju pintu keluar kampus. “Lily, kalau ada yang mau ditanyain tentang kampus atau kegiatan apa aja, jangan sungkan ya. Kamu bisa hubungi aku kapan aja.”
Lily tersenyum tipis, tapi kali ini tidak merasa sehangat biasanya. “Terima kasih, Kak. Aku akan ingat.”
Saat Radit pergi, Melisa yang berada di dekatnya berbisik, “Gimana, Lil? Masih yakin Radit baik-baik aja?”
Lily menghela napas pelan. “Aku nggak tahu, Mel. Aku jadi bingung sekarang.”
“Yang penting kamu hati-hati aja, Lil,” jawab Melisa. “Kalau ada yang aneh, langsung cerita ke aku atau Kak Ezra.”
Lily mengangguk, berusaha tenang. Namun, di dalam hatinya, keraguan terus menghantui.
Di satu sisi, peringatan Ezra masih terngiang-ngiang di kepalanya. Di sisi lain, Radit tampak begitu tulus dan perhatian. Lily merasa terjebak di antara dua perasaan rasa tertarik yang mulai muncul untuk Radit dan perasaan lamanya untuk Ezra yang belum pernah benar-benar hilang.
Perjalanan hidup di kampus baru ini bukan hanya tentang pendidikan dan masa depan, tapi juga tentang menghadapi pilihan-pilihan hati yang semakin rumit.
Meskipun peringatan Ezra terus terngiang di benaknya, Lily tak bisa mengabaikan perasaannya. Ada sesuatu tentang Radit yang menarik perhatiannya. Caranya bicara, perhatian yang ia berikan, serta kehadirannya yang selalu ada di saat-saat penting, membuat Lily mulai merasakan getaran berbeda setiap kali berada di dekatnya.
Hari-hari ospek berlalu, dan Radit semakin sering mengajak Lily berbicara, bahkan di luar kegiatan kampus. Radit sering mengirim pesan pribadi untuk menanyakan kabar Lily atau mengajaknya berdiskusi tentang hal-hal ringan seputar kuliah. Meski awalnya Lily merasa sedikit ragu, perlahan dia mulai terbiasa dengan perhatian itu, dan bahkan menikmatinya.
Pada suatu malam, setelah ospek hari keempat selesai, Radit mengajak Lily untuk minum kopi di kafe dekat kampus. “Lily, kamu mau nggak? Aku tahu tempat yang enak, suasananya tenang, dan biasanya nggak terlalu ramai,” ajak Radit dengan senyuman khasnya.
Lily sempat ragu. Di satu sisi, dia ingat peringatan Ezra tentang tidak terlalu cepat percaya pada kakak tingkat. Namun, di sisi lain, Lily merasa Radit sejauh ini tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencurigakan. Ia tampak tulus dan selalu memperlakukan Lily dengan hormat.
“Boleh, Kak. Tapi nggak bisa lama-lama, ya. Aku masih ada tugas,” jawab Lily akhirnya.
Radit tersenyum senang. “Santai aja. Cuma sebentar kok.”
Mereka pun pergi ke kafe yang dimaksud. Tempat itu memang nyaman, dengan pencahayaan yang hangat dan suasana yang tenang. Radit memesan dua cangkir kopi, sementara mereka duduk di sudut ruangan. Lily merasa sedikit canggung, tapi Radit pandai mencairkan suasana dengan obrolan ringan tentang kampus dan pengalaman ospeknya.
“Aku sebenarnya agak kagum sama kamu, Lily,” kata Radit tiba-tiba, sambil menatap Lily dengan penuh perhatian.
Lily terkejut, tidak menyangka akan mendengar pernyataan seperti itu. “Kagum? Kenapa, Kak?”
Radit tersenyum sambil mengaduk kopinya. “Kamu kelihatan dewasa dan bisa jaga diri, nggak gampang terbawa suasana. Banyak mahasiswa baru yang panik atau nggak tahu arah, tapi kamu beda.”
Pipi Lily terasa memerah mendengar pujian itu. “Masa sih, Kak? Aku merasa biasa aja.”
“Nggak. Kamu istimewa,” kata Radit, dengan nada suara yang membuat Lily merasakan sesuatu yang lain di dalam hatinya.
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪