Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32. Kesetiaan Seekor Kucing
Takeru meregangkan tubuh di sela-sela syuting yang padat, mencari sedikit hiburan dengan menonton televisi. Kebetulan, saluran yang dipilihnya sedang menayangkan acara dokumenter mengenai perilaku hewan peliharaan saat menjelang akhir hayat mereka. Tayangan itu membahas perbedaan antara anjing dan kucing di saat-saat terakhir mereka.
Menurut narator acara, anjing memiliki kecenderungan untuk menyembunyikan kelemahan mereka. Jika merasa akhir hidupnya mendekat, seekor anjing akan mencari tempat tersembunyi, jauh dari tuannya, untuk meninggalkan dunia ini dalam kesendirian. Di sisi lain, kucing justru berbeda. Ketika merasakan kematian mendekat, kucing malah bersikap semakin manja, ingin lebih sering berada di sisi tuannya, seolah meminta perhatian dan perlindungan di saat-saat terlemah mereka.
Takeru mendengarkan penjelasan itu dengan ekspresi datar. Ia lalu mendecakkan lidahnya dan tertawa kecil. “Itulah sebabnya, lebih baik punya anjing daripada kucing,” gumamnya sambil menatap layar dengan tatapan tajam. Pikiran tentang Ruri melintas di benaknya, membawa sebuah sindiran halus yang ia ucapkan tanpa sadar, “Ruri, kamu benar-benar tidak beruntung.”
Dengan sinis, ia mematikan televisi, meninggalkan ruangan dalam hening.
___
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menyelinap masuk, membangunkan Ruri dari tidurnya. Ia duduk dan menarik napas dalam-dalam, menguatkan tekadnya yang sudah bulat. Kali ini, apa pun yang dilakukan Carlos, ia tidak akan lengah lagi. Ia harus menyampaikan keputusannya, mengungkapkan niatnya untuk membawa Carlos bersamanya ke Amerika Serikat sebagai manajer. Tidak akan ada lagi keraguan, pikirnya sambil mengepalkan tangan.
Saat melangkah ke dapur, Ruri mendapati Carlos sudah sibuk menyiapkan sarapan. Pancaran cahaya pagi itu memperlihatkan wajah Carlos yang tampak begitu menawan, seakan menyihir siapa pun yang memandangnya. Di sisi meja, serangkaian hidangan sarapan yang menggugah selera telah tersaji rapi. Sekilas, Ruri tergoda untuk kembali larut dalam momen hangat seperti biasa, tapi kali ini ia tidak ingin menyerah begitu saja. Menggoyangkan kepalanya untuk menepis pesona itu, ia bahkan menampar kedua pipinya sendiri demi menyadarkan dirinya agar tidak tergoda.
Dengan penuh keyakinan, Ruri melangkah maju, menatap Carlos yang kini sudah memandangnya dengan senyum manis. Dengan nada tegas, ia pun berteriak, “Carlos, aku ingin membawamu ke Amerika Serikat sebagai manajerku! Jadi, ikutlah denganku!”
Carlos terdiam sejenak, masih dengan senyum lembut di wajahnya. Alih-alih menjawab, ia mendekat perlahan, tatapannya penuh kehangatan yang membuat hati Ruri berdebar. Carlos menyentuh rambutnya yang panjang dengan penuh kelembutan, membelainya seperti seseorang yang merawat harta berharga. Ruri menahan napas, terpaku oleh kehangatan yang terpancar dari gerakan sederhana itu.
Carlos menunduk sedikit, membisikkan sesuatu ke telinga Ruri, suaranya rendah namun penuh kelembutan, “Bagaimana kalau setelah sarapan ini, kita jalan-jalan ke taman hiburan? Terus terang, aku penasaran bagaimana rasanya… bersenang-senang di tempat penuh keriuhan seperti itu. Katanya, banyak pasangan suka menghabiskan waktu bersama di sana.” Kalimatnya terucap begitu polos, padahal tak sekalipun mereka berdua pernah mengungkapkan cinta secara langsung.
Terhipnotis oleh wajah Carlos yang begitu dekat, Ruri hanya bisa mengangguk pelan, seolah lupa akan niat kuatnya yang semula.
___
Sejak pagi, Ruri dan Carlos menikmati waktu mereka di taman hiburan. Mulai dari wahana komedi putar, roller coaster, hingga rumah hantu, mereka tertawa, berlari, dan menikmati kebersamaan tanpa beban. Setiap kali kesempatan muncul, Ruri berusaha membicarakan rencananya membawa Carlos ke Amerika. Namun, dengan kelincahan yang mengagumkan, Carlos selalu berhasil mengalihkan pembicaraan dengan tatapan lembut atau senyumannya yang mempesona, seolah keinginannya itu hanya angan belaka. Ruri hanya bisa menghela napas, tetapi ia tetap menunggu kesempatan.
Saat malam tiba, keduanya menaiki bianglala, wahana terakhir mereka hari itu. Di bawah sinar bulan yang temaram, mereka duduk berhadap-hadapan dalam keheningan yang nyaman. Ruri menatap Carlos dengan sorot penuh ketegasan, seakan tahu tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. “Carlos, aku serius kali ini. Aku ingin kamu ikut denganku ke Amerika,” ujar Ruri, tegas.
Carlos tersenyum, namun Ruri dapat melihat matanya yang kini berkaca-kaca. Ia akhirnya bicara dengan suara lembut yang penuh kesedihan, “Ruri, kamu tahu, aku ini hanya hantu yang menghantui rumah tempatmu tinggal. Pernahkah kamu mendengar ada hantu yang bisa pergi jauh dari tempat yang mereka jaga?”
Ruri menggelengkan kepala, mencoba menolak kenyataan yang dihadapinya. “Tapi, Carlos... bukankah kamu menghantui rumah nenekku? Kenapa sekarang kamu bisa berada di rumahku yang ada di ibukota? Kalau begitu, bukan berarti kamu juga bisa ikut aku ke Amerika?”
Carlos menghela napas dan menggeleng lembut. “Ada alasan khusus, Ruri. Semua ini terkait dengan nenek penyihir yang dulu menawari tempat tinggalmu itu. Aku terikat pada rumah yang kutemukan karena keputusannya.”
Mendengar penjelasan itu, ingatan Ruri terbang kembali pada sosok nenek misterius yang memberinya rumah saat ia diusir dari asrama kampus. Seketika, tubuhnya merinding menyadari bahwa selama ini ia tinggal bersama makhluk-makhluk yang lebih dari sekadar manusia biasa. Tapi ia tidak peduli sekarang. Yang penting adalah Carlos.
Ruri mencoba menahan air matanya. “Jadi... kamu benar-benar menolakku?”
Carlos tersenyum lembut, meski dengan mata yang mengisyaratkan perasaan yang tak tersampaikan. “Maaf, Ruri. Aku tidak bisa meninggalkan rumah itu. Tapi ingat, kamu hanya pergi selama delapan tahun, kan? Itu waktu yang singkat bagi makhluk sepertiku. Pergilah, selesaikan apa yang harus kamu capai. Begitu usai, aku akan di sini menunggumu.”
Ruri mengangguk dengan berat hati. Saat hari keberangkatannya tiba, Carlos melepas kepergiannya dengan senyum lembut, seolah memastikan bahwa ia akan tetap menanti. Ruri berhenti sejenak di tengah jalan, menggenggam erat pegangan kopernya, sebelum akhirnya berbalik dan berteriak, “Pastikan kamu menungguku, Carlos! Aku pasti akan datang menjemputmu lagi! Jangan sampai aku datang dan kamu malah sudah bersama majikan lain!”
Carlos tertawa kecil, menahan haru. “Tenang saja, Ruri. Itu tidak akan terjadi.”
Ruri tersenyum lega. “Ingat, kamu sudah janji.” Ia pun akhirnya berbalik, melangkah pergi, dan perlahan menghilang dari pandangan Carlos.
___
Setelah kepergian Ruri, Carlos hanya mampu bergumam dalam keheningan, “Mana bisa aku menepati janji itu, maaf, Ruri.” Dengan hati yang penuh kepedihan, tangannya gemetar menyentuh koin di dadanya, satu-satunya nyawa yang tersisa, kini retak dan rapuh. Napasnya terasa berat, dan tubuhnya melemah, seakan setiap langkah adalah perjuangan yang menyakitkan. Dalam kesendirian yang menyayat, ia tertatih menuju halaman belakang, wajahnya pucat dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Sesekali ia merintih, tubuhnya seakan terbakar dari dalam, setiap inchi kulitnya terasa nyeri, seperti dagingnya tercabik dari tulangnya. Setiap hembusan napasnya kini terdengar berat, seolah hidupnya tergantung pada satu tarikan napas terakhir yang menyiksa.
Carlos akhirnya tak kuasa menahan beban tubuhnya lagi, lututnya melemah, dan ia terjatuh. Rasa sakit menyebar seperti arus listrik dalam tubuhnya yang lemah, membuatnya bergetar hebat. Tangan yang biasanya gagah, kini hanya bisa mencengkeram tanah dalam usaha sia-sia untuk menahan dirinya tetap sadar. Matanya mulai kabur, namun dalam benaknya hanya satu bayangan: senyum Ruri. Seiring nyawanya semakin memudar, kehangatan kenangan itulah yang menahannya dari kegelapan yang kini menelannya.
Tiba-tiba terdengar langkah mendekat. Sosok ibu-ibu misterius berdiri di dekatnya, menatapnya dengan tatapan yang tak dapat ditebak. Carlos mencoba tersenyum meski sulit, bibirnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin mencekik. “Apakah ini benar-benar membuatmu bahagia, nak, dengan mengorbankan hidupmu sendiri?” tanya si ibu-ibu.
Carlos menatapnya dengan mata yang penuh kedamaian, meskipun tubuhnya terus menderita. “Aku sedih harus berakhir seperti ini, namun setidaknya aku lega bahwa kemalangan yang menimpanya perihal kebaikannya padaku dulu telah kembali ke tempat semula.”
Ibu-ibu itu hanya mengangguk pelan, “Baguslah jika kau tak punya lagi dendam, nak.”
Carlos hanya bisa merintih pelan, kesadarannya mulai sirna. Suara napasnya yang berat perlahan memudar, tubuhnya berhenti bergerak. Pemuda itu... Tidak, kucing hitam itu kini terbaring tenang, tampak damai seakan dunia ini hanyalah mimpi. Sang ibu-ibu tetap berdiri teguh, tanpa ekspresi, menatap sosok kecil berkaki empat yang meringkuk terdiam dengan sorot mata tajam, seolah ia adalah satu-satunya saksi dari akhir perjalanan penuh pengorbanan itu.