"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ravien Invansia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Introgasi
Hana terbangun dengan perasaan malas, matanya masih berat. Pukul lima pagi. Kamar itu masih gelap, hanya sedikit cahaya dari lampu jalan yang berhasil menembus gorden tebal. Dia berguling, menatap langit-langit dengan pandangan kosong, tubuhnya masih terasa kaku setelah tidur.
"Masih terlalu pagi..." gumamnya sambil menguap panjang.
Dia tetap berbaring sebentar, membiarkan rasa kantuk menguap pelan-pelan. Namun, otaknya mulai aktif. Hari ini, entah kenapa, dia merasa akan menjadi hari yang panjang. Rasa lelah tak bisa sepenuhnya ia singkirkan. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada beban yang belum ia tuntaskan.
Setelah beberapa menit, Hana akhirnya menyerah. Dia mendorong tubuhnya bangkit, duduk di tepi tempat tidur. Dia menyingkap gorden tebal itu, membiarkan pandangannya mengarah ke taman depan yang tampak sepi dan tenang. Hanya suara burung yang terdengar samar-samar di kejauhan.
"Hening..." desisnya pelan. Tapi suasana pagi yang sunyi justru memberinya sedikit ketenangan, meski masih ada sisa kantuk yang belum sepenuhnya pergi. Hana berdiri, meregangkan tubuhnya sambil menguap sekali lagi. Badannya terasa berat, seperti baru saja bangun dari mimpi panjang yang tak bisa ia ingat.
'Hari ini bakal panjang,' pikirnya sambil kembali menatap ke luar jendela.
Sambil menghela napas panjang, Hana berjalan kembali ke tengah kamar. Baju-bajunya yang berantakan di atas lantai menarik perhatiannya. Dia memungutnya satu per satu, merapikan dan meletakkannya di kursi. Dia mengenakan kaos longgar yang kebesaran, memperlihatkan sedikit pundaknya. Celana pendeknya juga terlalu besar, tapi Hana tak peduli. Tali bra-nya sedikit menyembul dari balik kaos, tapi dia hanya mengangkat bahu.
"Siapa peduli?" gumamnya sambil melirik bayangannya di cermin.
Setelah semuanya rapi, Hana keluar dari kamar. Sambil menguap sekali lagi, dia berjalan santai menuju ruang tamu. Kakinya berdecit lembut di atas lantai kayu. Udara pagi yang sejuk terasa nyaman di kulitnya, namun ada rasa aneh yang mulai merambat di tulang belakangnya saat ia mendekati ruang tamu.
Langkahnya mendadak terhenti. Di sana, di sofa, ada seseorang duduk. Suara napas berat mengisi keheningan ruangan.
"Hana..."
Suara itu berat, dalam, dan sangat ia kenal. Ayahnya. Seketika tubuh Hana membeku, keringat dingin mengalir di punggungnya.
"Ayah?" bisiknya dengan nada panik, mulutnya kering. 'Kenapa dia cepat pulang? Ryan sudah pulang, kan?' pikirannya langsung berpacu, panik.
Hana berdiri di ambang pintu, otaknya mencari-cari alasan. Namun, sebelum dia sempat memikirkan sesuatu, suara ayahnya terdengar lagi, lebih tegas kali ini.
"Duduk."
Hana menelan ludah, tubuhnya terasa semakin berat. Kakinya bergerak pelan menuju sofa, dengan kepala tertunduk. 'Aku ketahuan?' pikirnya. 'Tapi apa yang ayah tahu?'
Dia duduk dengan hati-hati, tubuhnya kaku. Ayahnya duduk tegak di sofa, menatapnya dengan tajam, wajahnya tak menunjukkan emosi. Di tangannya, dia memegang baju terlipat rapi, baju yang Ryan pakai tadi malam. Hana menatap baju itu, merasa jantungnya berdetak lebih kencang.
"Apa ini?" tanya David, suara beratnya penuh ketegasan.
Hana menatap baju itu sejenak. 'Baju lama ayah...' pikirnya. 'Oh tidak, ini baju yang Ryan pakai semalam! Aku lupa!'
"Baju yang ayah pakai waktu masih muda," lanjut David, nadanya semakin dingin. "Siapa yang berani memakai baju ini?"
Hana panik. Otaknya berputar, mencari jawaban yang bisa menyelamatkannya dari situasi ini. 'Apa yang harus aku katakan?' pikirnya panik. 'Kalau aku bilang Ryan, ayah pasti marah besar!'
Dia menundukkan kepala, berusaha tenang. cPikirkan sesuatu, Hana...' desaknya dalam hati.
Namun, sebelum dia bisa menjawab, ayahnya melanjutkan, matanya semakin tajam. "Ayah cuma mau tahu satu hal," katanya, suaranya kini lebih rendah dan mengancam. "Siapa yang berani memakai baju ini?"
Hana terdiam, otaknya terus bekerja keras mencari cara untuk menghindari masalah. Tapi sebelum dia bisa menjawab, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ekspresi ayahnya tiba-tiba berubah drastis. Wajahnya yang sebelumnya tegas dan keras kini tampak melembut, mata yang tadinya tajam kini berkaca-kaca.
"Kau tidak mencintai ayahmu lagi, Hana?" ucapnya dengan suara serak, penuh dengan dramatisasi. Air mata mulai mengalir di pipinya.
"Ayah... serius?" Hana terperangah. 'Ini dramatis banget!' pikirnya, bingung melihat perubahan mendadak ayahnya.
David terus menangis, memegang erat baju yang dipakainya dengan penuh emosi. "Kenapa anakku tidak mencintaiku lagi? Apa salah ayah?"
"Ayah, hentikan!" seru Hana frustrasi, suaranya lebih tinggi dari biasanya. "Ini tidak ada hubungannya dengan cinta!"
Namun, David malah semakin larut dalam dramanya. "Kau tidak mencintaiku..." ratapnya, air mata makin deras.
Hana menghela napas panjang, merasa lelah secara mental. "Kenapa ayah selalu begini? Sedikit-sedikit drama," gumamnya pelan, tak percaya dengan apa yang terjadi.
Setelah beberapa saat, David kembali ke sikap seriusnya, meskipun matanya masih merah. "Baiklah," katanya dengan nada dingin. "Kalau kau tidak mau bicara jujur, mulai besok kau tidak boleh pergi ke tempat les. Aku tidak akan membiarkanmu keluar rumah sampai kau mengatakan yang sebenarnya."
Hana terdiam, ancaman itu sangat nyata. Musik adalah hidupnya, dan les musik adalah satu-satunya hal yang membuatnya bertahan. 'Apa yang harus kulakukan?' pikirnya, merasa terjebak. 'Haruskah aku jujur?'
Tiba-tiba, ide muncul di kepalanya. Sebuah trik lama yang sering ia gunakan. Dia menarik napas panjang, dan perlahan mulai meneteskan air mata palsu.
"Baiklah..." gumamnya pelan, suaranya mulai terdengar gemetar.
David menatapnya, bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan nada ragu.
Hana mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca. "Apakah... ayah tidak mempercayaiku?" tanyanya dengan suara bergetar, air mata mulai mengalir di pipinya.
David terkejut. "Bu-bukan begitu... Ayah hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," katanya, suaranya melembut, namun masih penuh kebingungan.
Hana mulai menangis lebih keras, tubuhnya gemetar. "Apakah ayah... membenciku? Kalau ayah tidak percaya padaku... aku... aku lebih baik mati saja!" ujarnya dramatis, tangisnya semakin menjadi.
David panik, tangannya terangkat seolah ingin menenangkan Hana tapi tak tahu harus berbuat apa. "Tunggu! Jangan bicara seperti itu, Hana! Ayah percaya padamu!" katanya dengan nada putus asa.
"Kalau ayah percaya padaku," lanjut Hana di antara isak tangis, "kenapa menuduhku tanpa bukti? Apa gunanya aku sebagai anak kalau ayah tidak percaya padaku?"
Tangisnya semakin keras, membuat ayahnya semakin kewalahan. David berjalan mondar-mandir di depan sofa, matanya penuh dengan kebingungan. "Jangan menangis begitu," katanya gugup. "Ayah... bukan itu maksud ayah! Kau tahu ayah tidak suka melihatmu menangis."
Hana terus menangis, air mata mengalir deras di pipinya, sementara tubuhnya gemetar. Aktingnya begitu sempurna, seperti seorang aktris profesional di tengah panggung.
David semakin tak tahu harus berbuat apa. "Oke, ayah percaya padamu! Jangan menangis lagi, oke? Ayah minta maaf," katanya sambil mencoba meraih bahu Hana untuk menenangkannya.
Hana perlahan-lahan menghentikan tangisnya, meskipun masih ada air mata yang mengalir di pipinya. "Ayah benar-benar percaya padaku?" tanyanya dengan suara lemah.
David mengangguk cepat. "Ya, ayah percaya! Jangan menangis lagi, oke?"
Hana mengusap air matanya dengan tangan, menahan senyum yang hampir muncul di wajahnya. "Kalau ayah percaya padaku... aku akan berhenti menangis," katanya pelan.
David tampak lega. "Baiklah, Hana... maaf kalau membuatmu merasa tidak dipercaya."
Hana berpaling sejenak, memberi jempol pada dirinya sendiri tanpa ayahnya sadari. 'Berhasil.'
David masih terdiam, tampak masih belum sepenuhnya paham apa yang baru saja terjadi. Wajahnya lelah, tapi ada rasa lega yang samar di sana, seolah dia baru saja lolos dari situasi yang sulit.
"Baiklah, Hana," katanya pelan, seolah ingin menenangkan dirinya sendiri. "Ayah percaya padamu. Tapi ingat, jangan sembunyikan apa pun dari ayah lagi."
Hana tersenyum tipis, masih berusaha mempertahankan air mata palsunya. "Tentu saja, Ayah," balasnya, suaranya lembut dan penuh kepura-puraan. "Aku tidak akan menyembunyikan apa pun."
David menatapnya sejenak, lalu berdiri, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Ayah mau istirahat sebentar," ujarnya sambil menghela napas panjang. "Hari ini sudah cukup melelahkan. Kau juga, istirahatlah."
Hana mengangguk patuh. "Tentu, Ayah. Selamat tidur lagi."
David berjalan menuju tangga pergi ke kamarnya, meninggalkan Hana di ruang tamu. Begitu pintu kamar ayahnya tertutup, Hana menghela napas panjang dan berat, tubuhnya langsung melonggar. Ia meregangkan tubuh, seolah baru saja selesai dengan sebuah pertempuran yang sangat menguras energi.
"Astaga... itu benar-benar melelahkan," bisiknya pelan. Pandangannya mengarah ke arah pintu kamar ayahnya yang sudah tertutup rapat. 'Kenapa dia selalu begitu?' pikirnya, menggelengkan kepala perlahan.
Ia berdiri, perlahan-lahan berjalan menuju kamarnya. Sebelum masuk, ia berhenti di depan cermin besar yang terpasang di koridor. Dia menatap bayangannya dengan senyum puas.
"Hebat, Hana," gumamnya pada dirinya sendiri, tangannya merapikan rambut yang sedikit berantakan. "Kau benar-benar jenius."
Ia menghela napas panjang, merasa tenang setelah berhasil mengendalikan situasi yang hampir saja berantakan. Setelah puas menatap dirinya sendiri, Hana melangkah masuk ke kamar dan menutup pintu dengan lembut.
Karena MC ada di semua bab, pakai POV bisa lebih mudah. Tapi nggak juga gpp.
Yang saya kurang suka kalau cerita multiplot tapi pakai POV 1 yang berganti-ganti.
Bahasa cerita menurut saya udah bagus, baik itu narasi ataupun dialog.
btw, banyak orang di kehidupan nyata terwakilkan Ryan. Biasanya itu pengalaman penulis lalu di dunia fiksi dia ganti dg tema fantasi misal dapat sistem atau masuk ke dunia game.