Cintanya pada almarhumah ibu membuat dendam tersendiri pada ayah kandungnya membuatnya samam sekali tidak percaya akan adanya cinta. Baginya wanita adalah sosok makhluk yang begitu merepotkan dan patut untuk di singkirkan jauh dalam kehidupannya.
Suatu ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis namun sayangnya gadis tersebut adalah kekasih kakaknya. Kakak yang selalu serius dalam segala hal dan kesalah pahaman terjadi hingga akhirnya.........
KONFLIK, Harap SKIP jika tidak biasa dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Letnan Rama gelisah.
"Saya di perintahkan Bang Rama untuk menemani Dilan di dalam..!!" Kata Mala.
"Tidak bisa..!! Kami tidak mendapatkan perintah langsung dari Letnan Rama." Jawab Prada Decky dengan tegas.
"Awas saja kalian. Kalau saya sudah jadi nyonya Rama. Saya akan memecat kalian semua..!!" Ancam Mala dengan lantang.
Prada Decky dan rekannya saling lirik melihat kelakuan Mala.
Beberapa saat kemudian Bang Rama tiba dan Mala langsung berlari kecil kemudian merangkul lengannya.
"Bang, coba lihat. Orang-orang kurang ajar ini melarangku masuk ke kamar Dilan. Mala orang yang paling khawatir dengan keadaan Dilan." Kata Mala memasang wajah memelas.
Bang Rama melepas dekap tangan Mala dengan malas.
"Ada apa Bang? Apa Mala tidak boleh menyentuh Abang?? Mala dan Dilan selalu berbagi dalam hal apapun." Ucap Mala seakan begitu penuh harap.
"Apa maksudmu saya juga harus menyayangimu seperti saya menyayangi Dilan?" Tanya Bang Rama.
"Memangnya Abang tidak mau?? Mala cantik, Mala juga lebih seksi daripada Dilan" Jawab Mala penuh percaya diri.
Senyum Bang Rama tersungging menarik garis pipinya hingga kemudian hilang tak berbekas.
"Jauhi istri saya..!!"
Mala cukup kaget melihat ekspresi wajah Bang Rama yang seketika berubah dalam hitungan detik. Ia sampai mundur beberapa langkah.
Tangan kiri Bang Rama mencekik leher Mala, tangan kanannya mengambil badik yang terselip di pinggangnya.
Papa Hanggar yang baru tiba sampai menggeleng heran melihat kelakuan putranya yang memiliki kelakuan yang memang sama persis seperti dirinya. Badik di tangan putranya adalah badik miliknya semasa muda dan badik itu pernah menghilangkan nyawa banyak orang. Paham dengan amarah putranya, Papa Hanggar segera mendekapnya.
"Tenangkan pikiranmu. Biar Riffat yang menangani. Istrimu sedang hamil, jangan sampai saat Dilan bangun, hatinya merasa tidak tenang."
Bang Rama melepas dekapan tersebut lalu masuk ke dalam kamar rawat Dilan.
"Abang.. darimana? Kenapa bawa badik??" Tanya Dilan dengan suara yang masih lemah, tubuhnya pun gemetar, nampak terkejut saat ada yang masuk ke dalam ruangan.
Segera Bang Rama memasukan badik tersebut ke dalam wadahnya di sisi pinggang. Senyum Bang Rama pun mengembang. "Tadi dipinjam Decky." Bang Rama pun mengecup kening Dilan. "Perutnya masih sakit?"
Dilan menggeleng pelan. Bang Rama merasakan jemari Dilan begitu dingin.
"Mau cerita sama Abang?? Tadi apa yang terjadi di rumah??"
Dilan nampag takut tapi Bang Rama terus menggenggam tangannya.
"Tadi.. Mama Lian pamit sebentar ke kantor kepengurusan. Tak lama ada seorang wanita bernama Hima datang kesini dan marah. Hima memaki Dilan dan Dilan tidak bisa menjawab apapun sampai........."
"Iya dek. Sudah ya, Abang percaya sama kamu, dek..!! Abang juga sudah menemui Hima dan Bang Ge." Bang Rama langsung menghentikan cerita Dilan. Ia tidak ingin Dilan semakin stress memikirkan banyak hal.
"Dilan tidak bilang apapun sama Hima. Sungguh, Bang..!!" Jawab Dilan cemas dan ketakutan.
Sebenarnya Bang Rama sudah berusaha menahan diri namun keadaan Dilan membuat hatinya resah dan gelisah. Refleks Bang Rama memeluk Dilan dan menghujani wajah istri kecilnya dengan ciuman. Bagai tak cukup dengan itu semua, Bang Rama mengecup bibir sang istri dengan begitu dalam hingga Dilan pun tidak bisa berkutik.
Dalam dan semakin dalam mereka rasakan hingga sesaat kemudian Bang Rama tersadar akan kelakuannya. Ia pun menyudahi semua.
"Ma_af..!!" Ujar Bang Rama dengan pipi bersemu merah menahan rasa malu dan bersalahnya. Mungkin saat ini Dilan sudah paham bagaimana perasaannya yang campur aduk. Seorang perjaka berhadapan dengan janda bukanlah hal yang mudah untuk cerna oleh akal sehat.
Dilan pun memalingkan wajahnya yang kini juga memerah. Mereka berdua bagai merasakan hal asing yang tidak pernah mereka rasakan selama ini. Ada getar di dada, desir darah tak beraturan bahkan denyut nadi tak karuan.
Bang Rama mengusap wajahnya, ia mulai salah tingkah. Gelisah dengan perasaannya sendiri, Bang Rama pun memilih keluar dari kamar.
~
Bang Rama menutup pintu kamar rawat VVIP dengan hati-hati. Saat itu Prada Decky baru datang usai menangani Mala yang terus membuat keributan dan akhirnya Papa Hanggar sendiri yang harus turun tangan.
"Ijin Danton, Danton sakit. Kenapa wajahnya merah?? Danton juga gemetar." Tanya Prada Decky.
Bang Rama menarik lengan Prada Decky agar menjauh dari rekan anggota yang lain. "Decky.. menurutmu saya kenapa?? Saya selalu gelisah, jantung saya mau lepas rasanya setiap dekat dengan istri saya?? Sekujur tubuh terasa tegang. Tiba-tiba pikiran buntu, tidak bisa mengambil langkah apapun."
"Laaah.. itu namanya jatuh cinta, Dan..!!" Jawab Prada Decky yang sebenarnya paham di luar kepala akan kisah Danton dan istrinya.
"Aahh.. jangan bercanda kamu. Saya nggak pernah pacaran sama Dilan. Mana mungkin saya jatuh cinta. Kamu tau sendiri.. karena keadaan Dilan, saya juga nggak pernah buat apapun sama Dilan." Ucap Bang Rama yang selama ini memang tidak pernah main hati selama berhadapan dengan wanita. "Lagipula, perempuan jaman sekarang itu seleranya laki-laki yang dompetnya tebal. Kau juga tau sendiri gaji tentara tidak seberapa."
Prada Decky tersenyum geli mendengar komandannya yang memang selalu merendah dan amat sangat minim menunjukan segala sesuatu yang di punya.
"Komandan tenang saja, sebenarnya ibu juga sedang jatuh hati dengan Danton. Percaya sama saya, Dan." Kata Prada Decky.
"Aahh.. jangan bercanda. Dilan selalu menghindari saya." Jawab Bang Rama dengan ekspresi gelisahnya.
"Sungguh, Dan. Saya ini pakarnya cinta. Saya 'khatam' di luar kepala masalah jatuh cinta."
"Oya??? Berapa kali kamu pacaran??" Tanya Bang Rama antusias.
"Alhamdulillah selalu di tolak, Dan. Saya ini jomblo bahagia." Jawab Prada Decky.
Kekesalan Bang Rama kini telah mencapai puncaknya. Rasanya ingin sekali menghantam wajah Prada Decky yang sok ganteng itu.
"Kamu ini mau saya tersesat atau bagaimana?? Nggak pernah pacaran tapi mau mengajari saya." Protes Bang Rama.
Belum sempat rasa kesalnya hilang. Terdengar suara cek cok di sekitar koridor poli kandungan.
"Astaghfirullah, lagi mumet begini kenapa harus ketemu si Bang Alam Ghaib." Gumam Bang Rama meledek Danyonnya yang memiliki nama asli 'Ahlam Ghalib' atau Letkol Ahlam Ghalib.
"Masa perempuan lagi sih, sayang???" Protes Danyon pada istrinya.
"Mana adek tau, tanya lah sama diri Abang. Kenapa Abang hanya bisa buat anak perempuan. Pokoknya setelah ini adek nggak mau hamil lagi." Kata istri Danyon.
"Laah kok gitu dek???? Abang mau buktikan ke bapakmu kalau Abang bisa produksi anak laki." Jawab Danyon.
Mendengar hal itu, timbul niat 'jahat' Bang Rama untuk mengerjai seniornya.
Bang Rama merangkul Prada Decky dengan tawanya yang membahana. "Hahaha.. Alhamdulillah anak saya laki, Deck. Sekarang apa perlu pengakuan kalau saya ini jantan???"
Sontak Danyon menatap gemas ke arah junior nya yang kurang ajar itu.
"Heeh Ramaa..!! Mana bisa kau tau, anakmu baru tiga bulan." Protes Danyon.
"Bisalah Bang. Bapaknya nengok tiap malam, ya masa nggak paham." Jawab Bang Rama dengan wajah mesumnya.
Prada Decky sampai melotot mendengar Dantonnya banyak membual. Entah apa misinya sampai berani meledek orang nomer satu di Batalyon.
"Benar itu Deck???? Anaknya Rama laki-laki??" Tanya Danyon pada Prada Decky.
Bang Rama setengah berbisik di telinga Prada Decky. "Kau tau ada berapa senjata di pinggang saya?"
"Si_ap Danyon. Putra pertama Letnan Rama.. laki-laki."
"Aaahh.." Danyon menepuk keningnya karena merasa kalah saing.
Bang Rama tertawa puas dalam hati. Rasanya ada kepuasan tersendiri jika bisa mengerjai orang.
.
.
.
.