Inara dipaksa untuk menjadi istri ketiga dari pria berusia 45 tahun. Untuk menghindari pernikahan itu, Inara terpaksa menikah dengan pria asing yang sempat ia selamatkan beberapa hari yang lalu.
Tidak ada cinta di dalam pernikahan mereka. Pria tersebut bahkan tidak mengingat siapa dirinya yang tiba-tiba saja terbangun di tempat asing usai mengalami kecelakaan tragis. Meskipun Inara terlepas dari jeratan pria tua yang memaksanya menjadi istri ketiga, tapi wanita itu dihadapkan pada masalah besar yang tengah menantinya di depan.
Siapakah pria asing tersebut sebenarnya? Benarkah ia amnesia atau hanya berpura-pura bodoh demi menghindari masalah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni t, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Malam ini benar-benar menjadi malam yang panjang bagi sepasang suami istri yang sebenarnya sudah bukan lagi pengantin baru karena Inara dan Johan sudah lebih dari satu bulan merajut mahligai rumah tangga. Namun, rumah tangga yang mereka jalani selama ini tidak ada bedanya dengan anak kecil yang tengah bermain rumah-rumahan alias hanya berpura-pura menjadi suami istri.
Akan tetapi, malam ini keduanya telah menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya. Rumah tangga yang mereka jalani pun bukan permainan lagi di mana keduanya hanya memainkan lakon masing-masing. Johan bertekad di dalam hatinya bahwa ia akan menjadi suami sejati yang bertanggung jawab atas diri Inara, begitupun sebaliknya. Inara menyerahkan segenap jiwa dan raganya kepada suaminya dan akan melayani pria itu baik di dapur maupun di kasur.
"Argh!Pelan-pelan," rengek Inara kedua matanya seketika berair, rasanya sakit luar biasa saat mahkotanya berhasil dikoyak oleh suaminya.
"Sakit?" tanya Johan sontak menghentikan gerakannya dan hanya dijawab dengan anggukan oleh sang istri. "Maaf, saya bakalan pelan-pelan. Saya pernah denger kalau pertama kali ngelakuinnya emang kayak gini."
Inara menggigit bibir bawahnya keras guna menahan rasa nyeri di bagian intinya. Ya, ia memang pernah mendengar hal tersebut dari temannya yang sudah menikah, tapi wanita itu sama sekali tidak menyangka bahwa rasanya akan sesakit ini. Jika ia tahu akan seperti ini, mungkin dirinya akan menunda malam pertama mereka sampai ia benar-benar siap.
Sementara Johan, setelah berhasil mengoyak mahkota milik sang istri pelepasan pun dia dapatkan tidak lama setelahnya dan rasanya luar biasa nikmat. Tubuh pria itu seketika mengejang seiringan dengan larva pijar yang menyembur memenuhi dinding rahim Inara. Kenikmatan surga dunia memang tidak ada tandingannya, rasanya yang luar biasa membuat jiwa seorang Johan terasa melayang ke awang-awang.
"Sakit," rengek Inara seraya terisak. Kuku tajamnya bahkan tanpa sadar melukai punggung Johan sebagai pelampiasan dari rasa sakit yang ia rasakan.
Johan yang masih berada di atas raga istrinya seketika mengangkat kepala menatap sayu wajah Inara. "Maaf, Sayang. Rasanya emang sakit, tapi kalau udah terbiasa saya yakin rasa sakit itu akan berubah menjadi kenikmatan yang luar biasa."
Inara tersenyum sinis. "Ya udah turun, berat tau," decaknya kesal.
Johan menjatuhkan tubuhnya ke arah samping, Inara kembali memekik saat junior milik suaminya ditarik dari area intinya. Wanita itu segera merapatkan kedua kakinya juga menutup tubuh polosnya menggunakan selimut tebal.
"Emangnya sakit banget, ya?"
Inara menganggukkan kepala seraya mengusap buliran bening yang masih tersisa di pelupuk matanya. Johan mengecup kening sang istri bahkan menghujani kecupan di hampir seluruh wajahnya membuat Inara seketika memejamkan kedua matanya.
"Kamu beneran mau daftarin pernikahan kita ke KUA?" tanya Inara meringkuk tepat depan suaminya.
"Iya dong, emangnya kamu mau kita cuma nikah siri doang?" tanya Johan.
"Ya nggak sih, tapi kamu 'kan belum punya KTP."
"Itu sih gampang, sekalian saya bikin KTP-nya juga," jawab Johan. "Mulai malam ini, saya adalah Johan suami dari wanita bernama Inara. Saya udah gak berharap ingatan saya balik lagi."
Inara tersenyum lebar seraya memeluk tubuh polos suaminya. Hatinya benar-benar bahagia, ia pun merasa memiliki teman hidup yang sesungguhnya. Mulai saat ini, ia tidak akan sendirian dan hidup kesepian lagi. Ada pria bernama Johan yang akan selalu menemani hari-harinya mulai kini dan nanti sampai maut memisahkan.
"I love you, Inara," bisik Johan di telinga istrinya.
"I love you too, Mas Johan."
"Mas Johan?" tanya Johan seketika tersenyum lebar.
"Iya, Mas Johan. Kenapa, kamu gak suka?"
"Suka, Sayang. Sukaa banget!" jawab Johan merasa bahagia. "Mulai sekarang, panggil saya dengan sebutan Mas Johan, oke?"
Inara menganggukkan kepalanya.
***
Keesokan harinya tepat pukul 09.00, Ida mengunjungi kediaman Inara. Wanita itu bahkan menyerukan nama sang keponakan dengan nada suara lantang seraya menggedor pintu secara kasar dan tidak sabar.
"Inara, Johan! Buka pintunya," teriak Ida. "Astaga, udah siang begini ko masih tidur? Liat, matahari udah di atas kepala!"
"Ada tamu, Mas. Buruan bukain pintu," pinta Inara dengan kedua mata terpejam, rasa kantuknya benar-benar sulit untuk dikendalikan.
Tubuh Johan seketika menggeliat seraya membuka mulutnya lebar-lebar. "Huaaa! Siapa sih pagi-pagi udah bertamu ke rumah orang? Gangguin aja sih!" decaknya seraya bangkit dengan perasaan malas.
Pria itu meraih pakaian yang tergeletak sembarangan di ujung ranjang lalu mengenakannya dengan kedua mata setengah terpejam menahan rasa kantuk. Setelah itu, barulah ia turun dari atas ranjang dengan rambut yang berantakan juga langkah kaki gontai.
"Iya, tunggu sebentar," sahut Johan berjalan ke arah pintu.
"Gimana mau sukses coba kalau jam segini aja baru bangun? Suami sama istri sama aja," decak Ida kesal.
Pintu pun dibuka. Johan berdiri tepat di belakang pintu menatap wajah Ida seraya menggaruk kepalanya sendiri yang tiba-tiba saja terasa gatal. "Bi Ida, tumben pagi-pagi udah ke sini."
"Istri kamu mana? Jangan bilang kalau dia masih tidur?" tanya Ida menerobos masuk ke dalam rumah begitu saja.
"Iya, Bi. Semalam kami habis begadang buat menyelesaikan pekerjaan kami, makannya jam segini baru bangun," jawab Johan.
Ida tidak menanggapi ucapan Johan, wanita paruh baya itu membuka pintu kamar tanpa mengetuknya terlebih dahulu berniat untuk membangunkan sang keponakan. Namun, kedua mata seorang Ida seketika dikejutkan dengan pemandangan yang sangat luar biasa. Ponakan kesayangannya nampak masih meringkuk dengan tubuh polos tanpa sehelai benangpun dengan selimut yang berantakan tidak menutup seluruh tubuhnya.
"Astaga!" decak Ida merasa malu sendiri dan segera menutup kembali pintu tersebut.
"Kalian ini, begadang nyelesein kerjaan apa bergadang habis bercocok tanam?" decak Ida sinis dengan wajah memerah. "Cepat bangunin istri kamu, bibi tunggu di luar."
Johan lagi-lagi menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal seraya tersenyum cengengesan merasa malu. Sementara Ida dengan perasaan jengkel berjalan keluar dari dalam rumah tersebut.
"Emangnya kalian pengantin baru apa tidur aja sampe gak sempet pake baju? Ck! Ck! Ck! Pagi-pagi pikiran bibi udah ternoda gara-gara kalian," gerutu Ida merasa tidak habis pikir.
***
30 menit kemudian, Inara sudah berpakaian lengkap bahkan bergegas membersihkan diri usai mendengar omelan sang bibi. Wajah wanita itu terlihat segar lengkap dengan rambutnya yang basah digerai memenuhi punggung. Kulit wajah Inara pun nampak berseri dan secerah matahari pagi ini. Inara berjalan menghampiri sang bibi yang tengah duduk di teras rumah lalu duduk tepat di sampingnya.
"Ada apa, Bi? Ko tumben pagi-pagi udah datang ke sini?" tanya Inara seraya tersenyum cengengesan.
Ida yang semula menatap lurus ke depan seketika menoleh dan menatap sayu wajah sang keponakan. "Semalam bibi dapet telpon dari Ayah kamu, Inara."
Inara seketika terperanjat. "Bibi masih kontek-kontekan sama Ayahku?"
"Sebenarnya udah lama banget Ayahmu gak pernah ngehubungi bibi."
Inara diam seribu bahasa seraya menundukkan kepala.
"Ayahmu lagi sakit, Inara. Dia pengen ketemu sama kamu."
"Nggak, aku gak mau ketemu sama dia? Ayah macam apa yang lagi sakit aja pengen ketemu sama anaknya, sementara waktu sehat dia bahkan gak peduli sama keadaan anaknya seperti apa. Apa bibi lupa, aku udah nganggep dia mati!" tegas Inara penuh penekanan.
"Dia bisa aja mati beneran, Inara. Emangnya kamu gak bakalan nyesel gak ketemu sama beliau buat yang terakhir kalinya?"
"Nggak, buat apa aku nyesel? Bibi lupa kalau aku benci banget sama dia?"
"Ayahmu bilang, beliau udah menyiapkan sesuatu buat kamu, Inara. Pergilah temui Ayahmu bersama Johan."
"Sekali nggak, tetep nggak!" tegas Inara seketika bangkit dan hendak melangkah.
"Ayahmu udah nyiapin warisan buat kamu, Inara. Emangnya mau sampe kapan kamu hidup susah terus kayak gini, hah?"
Bersambung
(Like-nya jangan sampai ketinggalan ya Reader)
otor request up-nya yg banyak boleh 🙏🤭