Ketika yang semua orang anggap hanya omong kosong menyerbu dari utara, saat itulah riwayat Suku Gagak menemui akhirnya.
Tanduk Darah, iblis-iblis misterius yang datang entah dari mana, menebar kekacauan kepada umat manusia. Menurut legenda, hanya sang Raja Malam yang mampu menghentikan mereka. Itu terjadi lima ribu tahun silam pada Zaman Permulaan, di mana ketujuh suku Wilayah Pedalaman masih dipimpin oleh satu raja.
Namun sebelum wafat, Raja Malam pernah berkata bahwa dia akan memiliki seorang penerus.
Chen Huang, pemuda bernasib malang yang menjadi orang terakhir dari Suku Gagak setelah penyerangan Tanduk Darah, dia tahu hanya Raja Malam yang jadi harapan terakhirnya.
Apakah dia berhasil menemukan penerus Raja Malam?
Atau hidupnya akan berakhir pada keputusasaan karena ucapan terakhir Raja Malam hanya bualan belaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arisena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode : 12 — Kosong
Suku Serigala, sama seperti suku-suku lainnya, desa yang mereka miliki tak hanya desa utama tempat kepala suku berada. Akan tetapi, di sekitar wilayah mereka terdapat desa-desa yang lebih kecil.
Semua suku memiliki desa-desa kecil, kecuali Suku Gagak. Konon, dulu suku ini pernah menjadi yang paling besar dan kuat, tapi semua itu berubah setelah wafatnya Raja Malam.
Sore itu, Chen Huang tiba di desa yang masih bagian dari Suku Serigala. Orang-orang di sana tak terlalu terkejut dengan kedatangan Chen Huang yang berpakaian hitam-hitam. Walau tak terkejut, mereka tetap kagum juga karena rumor yang mereka dengar selama ini memang benar. Gagak terakhir masih hidup!
"Apa kau berhasil membuat nama baik atau semacamnya? Semua orang tampak tertarik padamu."
"Akan kuperjelas satu hal," Chen Huang berkata sedikit malas, "mereka hanya memandangku sekilas karena pakaianku berbeda dari mereka, selebihnya mereka lebih sering memandagmu."
"Oh, begitu?" Bai Li tersenyum. "Oh ... begitu ya ...."
"Satu lagi," pemuda itu melanjutkan, "kenapa kau ikut aku?"
Namun sebagai tanggapan, Bai Li menampakkan ekspresi bingung. "Bukankah aku sudah bilang? Tidak boleh, ya?"
Chen Huang menghela napasnya malas, tak tahu harus bagaimana menghadapi orang ini.
Bai Li terus mengekor ketika Chen Huang menuntun kudanya ke sebuah pandai besi. Dia menambatkan kuda di depan lalu tak mengizinkan Bai Li untuk masuk.
"Kenapa? Dengan adanya aku, bisa saja kau diberi harga murah."
"Ya, kalau kuizinkan kau menemani mereka untuk semalam. Tetap di sini dan jangan ganggu!"
"Ah, kau sangat perhatian, ya?" Bai Li tersenyum-senyum sambil menepuk sebelah pipinya. "Jika itu maumu."
Chen Huang hampir muntah dengan kegenitan gadis itu. Semuda ini sudah pandai menggerakkan tubuh untuk merayu, Chen Huang merinding ketika membayangkan Bai Li yang sudah mencapai usia dua puluhan nanti.
Ketika Chen Huang masuk ke tempat itu, ia disambut dengan pemandangan berbagai senjata yang tergantung di dinding. Di sisi belakang, terdapat pula zirah ringan khas Pasukan Serigala dengan warna kuning emas dan bulu putih di beberapa tempat.
Pemuda itu menghampiri satu-satunya orang yang ada di sana. "Bisakah aku memesan senjata?"
Orang itu menoleh, memandang Chen Huang yang hanya setinggi bahunya. "Kalau kau hanya main-main, lebih baik pulang saja."
Chen Huang mengamati tubuhnya sendiri yang penuh dengan pakaian hitam. "Kau pikir gagak ini tak ada uang untuk membayar?"
"Apa aku salah?"
Pemuda itu merogoh saku, mengeluarkan dua koin emas serigala yang diberikan Ming Zhe padanya sebagai bekal sebelum keberangkatan. "Cukupkah?" ia menunjukkan koin itu.
Mata lelaki itu terbelalak, dia segera memutar tubuh untuk menghadap Chen Huang sepenuhnya. "Katakan, senjata seperti apa yang kau inginkan? Semua senjata kami bisa membuatnya, kecuali satu hal, senjata suku selain serigala."
Chen Huang dapat memaklumi itu. "Belati yang seperti itu," Chen Huang menunjuk ke satu sisi, di sana terdapat belati yang digantung tanpa sarung. Sebuah belati melengkuk yang tampak amat tajam. "Tapi bisakah kau memberinya warna gelap dan motif seperti bulu burung?"
Si lelaki ikut memandang dan dia mengangguk. "Warna gelap yang seperti apa?"
"Apa saja yang penting mendekati hitam. Tapi jangan warna kuning emas milik kalian, aku tak mau ada orang menganggapku gagak setengah serigala."
Orang itu tertawa. "Aku hanya perlu memodifikasi belati itu sedikit, datanglah lagi besok pagi."
Chen Huang memberikan dua koin emas itu. "Terima kasih."
Dia keluar dari sana setelah urusannya dirasa telah selesai. Ketika melewati pintu, Chen Huang menemukan Bai Li duduk di samping kuda coklatnya. Duduk merenung dan menerawang ke kejauhan, dia juga melihat gadis itu beberapa kali menghela napas.
"Nona Bai—"
"Kita sudah jadi sahabat, kenapa kau masih memanggilku nona?" Bai Li menoleh dan memotong secepat itu. "Kita sahabat, kan?"
Hanya anggapanmu saja, wanita sial! namun mulutnya berkata. "Kupikir begitu, dengan paksaan seseorang."
Bai Li tersenyum.
"Ayo pergi, kita cari rumah penginapan, aku masih akan di sini sampai besok," sambil berkata, Chen Huang menghampiri kudanya.
Perkataan itu berhasil membuat sepasang mata indah Bai Li terbelalak. "Wah, kau benar-benar sudah mengizinkanku untuk ikut, ya?"
Kening Chen Huang berkedut dan tangannya mengepal tanpa sadar.
...----------------...
Pengetahuan dasar di setiap suku, bahwa Simbol Magis adalah ciri khas suatu suku dan siapa pun dilarang keras mengajarkannya kepada suku lain. Lebih dilarang lagi untuk mencurinya.
Chen Huang sudah tahu itu karena semua anak di atas umur lima tahun harus sudah mendapat pelajaran ini.
Hanya saja karena kemalasannya di masa lalu, perkembangan Chen Huang jadi sedikit terhambat. Dia pun merasa jengkel dengan dirinya setelah mulai mempelajari Simbol Magis.
Dibilang sangat sulit, itu kurang benar. Akan tetapi Simbol Magis milik Suku Gagak adalah Simbol Magis yang memiliki mantra paling panjang dibanding suku lain. Sehingga tak heran jika Chen Huang berpikir, apa jadinya kalau dia serius untuk mempelajari ini di masa lalu.
Di kamarnya, Chen Huang mencoba membaca mantra, pola-pola rumit tercipta di kedua lengan. Dia menarik jubah lengannya untuk melihat, ternyata pola itu tergambar sampai ke pundaknya, masih sama seperti sejak pertama kali dia menguasai mantra. Chen Huang tersenyum pahit. "Yah, cukup bagus untuk awal, walau serumit dan sebanyak ini."
Tak heran Chen Huang berpikir demikian karena setiap Simbol Magis, semakin sederhana bentuk dan semakin sedikit polanya, maka makin kuatlah simbol tersebut.
Kira-kira, sesederhana apakah milik Raja Malam dulu?
Malam itu, Chen Huang memutuskan untuk melatih Simbol Magisnya. Ia turun ke lantai bawah dan pergi ke belakang penginapan. Namun, langkah pemuda itu terhenti saat menemukan Bai Li duduk beralaskan tanah sambil bersandarkan pohon. Wanita itu memandang bulan separuh di atas sana, mata berbinar yang ditampakkan sepanjang hari ini sama sekali tidak ada.
Kenapa dia merenung seperti itu? Chen Huang berbisik dalam hati, tapi dia masih sedikit tidak percaya. Benarkah gadis genit itu memang kesepian? Yang benar saja, sepanjang hari ini dia bahkan tak pernah mengendurkan senyumnya!
"Kenapa? Kau suka lihat perempuan cantik, ya? Lihat saja terus kalau itu maumu, aku tak keberatan."
Brengsek! Chen Huang menghampiri dengan langkah lebar. "Kau sedang apa?"
"Duduk."
"Maksudku—"
"Duduk."
Chen Huang menatapnya.
"Itu bukan pernyataan atau jawaban atas pertanyaanmu, aku memintamu duduk," dia melanjutkan sambil tersenyum. "Kenapa? Kupikir sepanjang hari ini kau betah sekali dekat denganku."
"Kau sendiri yang mendekatiku, Perempuan!" Akan tetapi, Chen Huang tetap duduk di sebelahnya.
Sampai beberapa waktu berlalu, hanya keheningan di antata mereka. Niat Chen Huang untuk melatih Simbol Magis pun perlahan mulai lenyap.
"Chen Huang." Pemuda yang dipanggil sedikit terkejut dengan nada tersebut, terdengar lembut dan halus, tak ada terkandung main-main seperti sore tadi. "Aku ... ingin menanyakan sesuatu."
Sejenak, Chen Huang memandangnya. Untuk beberapa saat dia merasa seperti telah mengenal Bai Li dalam waktu lama, padahal mereka baru bertemu siang tadi. "Apa?"
"Kalau kau merasa kosong dan kesepian, apa yang kaulakukan?" Namun, sedetik berikutnya senyum Bai Li kembali terbit. Sebuah senyum lebar. "Temanku pernah bertanya kepadaku."
Chen Huang tidak langsung menjawab, dia mengamati Bai Li sampai cukup lama. "Kosong dan kesepian? Bagaimana cara menghadapinya? Kau ingin jawaban yang seperti apa, laki-laki atau perempuan?"
"Aku tak paham maksudmu," Bai Li terkekeh. "Laki-laki sajalah, karena kau laki-laki."
"Lihat saja kekosongan dan kesepian itu," jawab Chen Huang nyaris tanpa berpikir. "Itu yang dikatakan pengajarku dulu, di desa." Dan tiba-tiba Chen Huang mengingat hari pembasmian.
Bai Li mencerna setiap kalimat itu. "Kalau jawaban perempuan?"
"Masih sama seperti laki-laki, hadapi dan lihat kekosongan itu."
"Itu sama saja, apa maksudmu dengan jawaban laki-laki dan perempuan tadi?"
"Ada satu tambahan, yang hanya dimiliki perempuan," Chen Huang mengangkat satu jarinya. "Aku dengar ini dari pengajar yang sama, walau sampai sekarang masih belum terlalu paham dan hanya ingat sedikit karena saat itu aku masih kecil. Menurutnya, hanya wanita saja yang memiliki kelembutan hati untuk melihat dan menyadari kekosongan orang lain."
"Tak masuk akal, laki-laki juga bisa."
"Aku setuju denganmu," sahut Chen Huang, "sampai beberapa saat lalu."
Bai Li mengedipkan mata.
"Aku tak akan tahu kalau temanmu itu sedang merasa kosong dan kesepian sampai kau memberitahuku."
"Oh, kau kenal dengan temanku, ya?"
"Aku baru mengenalnya, siang tadi."
Bai Li terdiam.
"Siapa lagi temanmu itu kalau bukan dirimu sendiri? Apa aku salah?"
Hanya saja untuk development karakter nya aku masih merasa kurang cukup motivasi. Mungkin karena masih perkembangan awal. Akan tetapi, perlahan namun pasti keberadaan Chen Huang di Serigala, kayaknya akan semakin bisa di terima. Aku cukup merasakan bahwa dia saat ini sudah mulai banyak berinteraksi dengan tokoh lainnya.
Aku baca ulang dan ternyata memang ini flashback😅✌🏻