Dewa Petaka
“Chen Huang, apa kau percaya dengan pertanda?”
Anak yang dipanggil Chen Huang menoleh dengan malas. “Biar kutebak, kau ingin membuatku berpikir keras lagi.”
Wu Rui, anak dengan kepala gundul licin tak berkutu itu tersenyum lebar. “Aku hanya bertanya.”
Chen Huang mengendikkan bahu. Dia kembali menyibukkan diri dengan mayat di hadapannya, mencari harta benda apa pun yang bisa ditemukan. Darah di tubuh mayat-mayat itu sudah mengering, tapi perut Chen Huang cukup mual untuk mencium bau busuknya.
“Itu hanya perkataan orang-orang tua penghuni Rumah Hantu, jangan kauanggap serius,” ujar Chen Huang ketika dirinya menemukan sekeping koin emas bergambar serigala. Milik Suku Serigala, ya?. Chen Huang memasukkan koin itu ke dalam kantong kecilnya. “Tapi ....”
Wu Rui menghentikan kegiatannya. Dia sudah mengorek empat mayat dan hampir mengumpat karena hanya menemukan pisau berkarat yang sudah tidak utuh. Wajar saja, desersi tak punya banyak harta.
“Tapi ...?”
Chen Huang sengaja menggantung ucapannya. Dia menatap langit kelabu pagi hari yang dihias awan-awan besar. “Semoga hanya perasaanku, tapi beberapa hari terakhir ini malam-malam yang kulewatkan ... sedikit lebih dingin dari biasanya.”
Wu Rui kehilangan senyumnya. Dia menundukkan muka, memandangi mayat-mayat itu yang cukup ngeri untuk dipandang, padahal biasanya ia bisa menatap mereka sambil melontarkan ejekan pedas. “Bukan hanya kau yang merasakan.”
...----------------...
Tengah malam, ketika bulan purnama menggantung di kanvas hitam bertabur bintang, terdengar suara lolongan serigala dari kejauhan.
Namun, bukan karena itu Chen Huang terbangun dari tidurnya. Dikenakannya mantel hitam panjang berkerah bulu kebanggaan Suku Gagak, dia membuka knop pintu dan melihat keluar.
Saat itu, ucapan Wu Rui pagi tadi kembali terngiang.
'... apa kau percaya dengan pertanda?'
“Wu Rui ... maaf saja, tapi sepertinya kita harus percaya itu,” gumam Chen Huang ketika dia melihat badai di kejauhan. Datang dari utara, segelap dan sepekat awan hitam yang akan membawa malapetaka besar.
Tergopoh-gopoh Chen Huang membanting ember besi ke batu runcing untuk membangunkan ayah dan ibunya di kamar belakang. Karena hal ini pula, anjing putih dan burung merpati yang sangkarnya digantung pada cabang pohon rendah, terbangun dengan tubuh terhenyak.
“Aku tak mau mengakui ini, tapi badai benar-benar datang!” tutur Chen Huang sebelum ayah dan ibunya sempat bertanya. “Aku akan ke menara.”
Tanpa menunggu jawaban, Chen Huang naik ke menara kayu yang di atasnya terdapat lonceng perak seberat ratusan kati. Begitu sampai di bawah lonceng, Chen Huang mengambil kayu besar dan memukulnya kuat-kuat.
Deng ... deng ....
“Badai dataaaang ...!” Yang berteriak ini ayah Chen Huang. Dia sudah berlari-lari keliling desa.
Suara lonceng itu terus berdentang seolah dapat menggetarkan tanah seluruh bagian desa. Semua orang bangun dari mimpi-mimpi mereka, menatap ke utara, di mana badai itu kian mendekat.
“Kegelapan milik kita!”
Seorang lelaki tua, mengenakan mantel hitam berkerah bulu, menaiki kuda hitamnya, ia berlari ke menara tempat Chen Huang masih terus memukul lonceng.
“Pemulung, benarkah badai itu datang?” tanya lelaki tua itu.
Chen Huang sama sekali tak memandang ke bawah, dia mengamati gunung besar di sebelah utara desa dan kakinya menggigil. “Tanduk ... Darah ....” gumamnya dengan gugup.
Mata si lelaki tua melotot. “Bangun kalian semua! Bangun! Bersiap untuk perang habis-habisan!”
Tak menunggu waktu lama, para pemuda dan orang tua yang hidup sebagai prajurit menaiki kuda masing-masing lalu mengikut si orang tua tersebut. Orang tua itu bukan lain adalah pemimpin perang Suku Gagak, namanya memang tak begitu penting di desa, tapi di luar tahunya semua orang, berkat pedang orang itu Suku Gagak masih tetap aman. Memang seorang yang rendah hati.
Dan Chen Huang adalah salah satu orang yang tahu akan hal itu.
“Paman Chi, kita harus pergi!”
Chi Yan, itulah nama orang tua tersebut. Dia menghentikan kudanya dan menoleh. “Kalau kita semua pergi, lalu siapa yang akan menjadi penghalangnya?” Dalam suara ini mengandung getaran akan rasa takut, tapi Chi Yan mencoba mengenyahkannya.
“Pedang kami!” sahut orang muda yang matanya menyinarkan keberanian tak terhingga. Hanya melihat mata itu, orang akan tahu kalau tak ada setitik pun rasa takut di sana. “Tiga ratus orang Prajurit Gagak, pedang berkilau yang dingin membekukan, kita akan tunjukan pada mereka siapa raja malamnya di sini.”
“Jangan bodoh!” Chen Huang mengumpat dari atas menara. “Tanduk Darah, iblis-iblis itu, mereka ada, mereka nyata! Lawan kalian bukan manusia.”
“Itu tugas kami. Pemulung, aku titipkan adik dan nenekku padamu, bawa pergi dari desa ini!”
Setelah itu, Chi Yan berteriak lantang. "Bentangkan sayapmu!" dan tiga ratus prajurit Suku Gagak menyerbu ke utara.
Sedangkan dari utara, makhluk-makhluk bertanduk merah dengan taring setajam pedang, tertawa-tawa lantas menerjang. Jumlah makhluk bertanduk itu ada seratus, tapi Chen Huang hampir yakin bahwa jumlah itu sudah cukup banyak untuk membantai tiga ratus prajurit Suku Gagak.
“Dewa bersama kita,” kata salah seorang lelaki tua ketika dengan tergesa-gesa mereka meninggalkan desa. Orang ini adalah kepala desa.
Sial! Dia menoleh ke belakang, tempat desanya berada. Dari kejauhan, tempat itu tampak suram. Akan tetapi sesuram apa pun, rumahnya ada di sana.
“Sepertinya dewa tidak berpihak pada kalian.”
Semua orang berhenti berlari seketika.
Suara itu asalnya dari depan, lebih tepatnya dari balik pohon raksasa yang disebut orang desa sebagai Pohon Induk. Di sana, ada sosok pemuda dengan jubah merah gelap, berjalan tenang keluar dari balik kegelapan. Mata merah itu sudah tampak sebelum seluruh tubuhnya tersiram cahaya bulan. Tak lama kemudian, seorang wanita cantik menyusul di belakangnya.
Persamaan mereka hanya satu, ada tanduk di dahi mereka. Dahi kanan dan kiri.
“Maaf menganggu, tapi kalian tak bisa pergi lebih jauh dari ini.” Si pemuda tersenyum ramah.
Namun di mata orang-orang Suku Gagak, senyum itu hanya berupa seringai kejam yang mengandung ancaman mengerikan.
Kepala desa mengeluarkan tangan dari balik mantel dan menggeram. Pola-pola rumit tercipta di sepanjang lengan, pola hitam yang menghasilkan cahaya biru gelap tak lama sesudahnya.
“Jangan remehkan kami.”
Sesaat setelah itu, cahaya biru gelap melingkupi seluruh tubuh kepala desa, lalu ribuan bintang-bintang menyerang dua makhluk bertanduk itu tanpa ampun. Serangan mematikan yang dulu pernah menembus dada tebal kaum raksasa, setidaknya itulah yang pernah dikatakan oleh si dongeng.
“Mundur, menjauh!” ayah Chen Huang berseru-seru.
Sekitar seratus orang anggota suku, berlarian meninggalkan kepala desa yang memang berniat mengulur waktu.
Namun, hanya lima langkah mereka dapat pergi sebelum terdengar teriakan menyayat hati dan kepala pemimpin desa itu terlempar, menabrak sebatang pohon lalu mengeluarkan bunyi berdebuk ketika menghantam tanah dengan keras.
“Aaaaarrrrggghhh!!!” Chen Huang meraung karena kepala itu jatuh tepat di depan kakinya.
Tiga penatua lain maju menyerang makhluk bertanduk setelah mereka membuat seluruh lengan penuh pola seperti sang kepala desa. Namun, hanya terlihat cahaya-cahaya biru selama beberapa saat sebelum tiga orang itu bernasib sama.
“Habisi,” perintah si tanduk jantan kepada si tanduk betina.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, wanita cantik bertanduk itu menebas seorang nenek dengan salah satu tangannya. Chen Huang terkejut ketika mengenal nenek itu tak lain adalah nenek prajurit muda yang tadi berangkat melawan badai.
“Chen Huang, lari,” teriak ibu Chen Huang sambil menarik tangannya.
Si wanita bertanduk mengejar. Beberapa lelaki mencoba menghadang demi melindungi istri dan anak-anak mereka, tapi tak membawa hasil apa pun.
“Aaarrggghh!”
Ibu Chen Huang tergeletak dengan dada terbelah. Melihat itu, kepala Chen Huang berdenyut dan air matanya mulai menetes.
“Jangan berhenti!” Wu Rui tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya dan menariknya dengan paksa. “Kita harus hidup ... harus.”
Namun secepat itu pula, dada Wu Rui tertembus sesuatu berwarna merah dan bersisik. Chen Huang melihat tak berkedip. Ketika tubuh sahabatnya tersungkur tanpa nyawa, dia hanya mampu berlutut. Entah sejak kapan, seluruh penghuni desa sudah menjadi mayat. Hanya dia yang tersisa.
“Anak malang ....” Ucapan ini bernada simpati, tapi Chen Huang ragu apa itu memang sungguh-sungguh. “Biar kuakhiri penderitaanmu.”
Si wanita dengan darah padat yang membentuk cakar besar dari punggungnya, berjalan perlahan. Matanya yang merah memandang tajam. Namun ketika cakar yang terbuat dari darah padat itu menebas, bertepatan dengan itu, semua hal yang Chen Huang lihat hanya kegelapan.
Dia tak sadarkan diri, bersamaan dengan cakar darah itu mengenai tubuhnya.
...----------------...
Mohon Diperhatikan!
Informasi-informasi dalam novel ini tidak akan saya beberkan dalam sekali waktu. Jadi kedepannya, kemungkinan tidak ada satu episode full yang isinya cuma informasi.
Untuk memahaminya, informasi-informasi tentang kekuatan, wilayah, atau hal lainnya akan dijelaskan seiring berjalannya waktu. Jadi bertahap ya, bro.
Kalau seandainya nanti kurang jelas, bisa ditanyakan di kolom komentar atau mampir ke ig saya @arisena_p
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Tanata✨
ratusan kaki
2024-11-03
1
@...?????...@
Chen Huang ru hui/Facepalm//Facepalm/
2024-09-23
1
••iind•• 🍂🫧
bisa yaa bikin cerita begini,.kalo aku nama yang digunakan aja susah bacanya,lidah orang ndeso 🤣🤣🤣
2024-09-16
1