Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan baru dimulai
Malam itu, keheningan menyelimuti kamar tidur Rani. Cahaya bulan yang redup menembus tirai tipis, menciptakan bayangan-bayangan lembut di dinding. Udara terasa dingin dan lembab, sisa-sisa hujan yang turun sore tadi masih terasa.
Rani terjaga dari tidurnya, merasakan sensasi aneh yang sulit dijelaskan. Udara di sekitarnya seolah bergetar, dipenuhi energi yang tak kasat mata. Aroma samar melati tiba-tiba memenuhi ruangan, meskipun tidak ada bunga di kamar itu.
Samar-samar sosok seorang wanita muncul, cahaya lembut keperakan menyelimutinya, kontras dengan kegelapan kamar. Cahaya itu tidak menyilaukan, tapi cukup terang untuk membuat bayangannya menari-nari di dinding. Suaranya terdengar seperti bisikan angin, lembut namun jelas.
Ketika Rani membuka mata, dia terkejut melihat sosok seorang wanita berdiri di dekat tempat tidur.
"Siapa... siapa kau?" tanya Rani, suaranya bergetar.
Sosok itu tersenyum lembut. "Aku Adinda, istri Dimas."
Rani terkesiap, duduk tegak di tempat tidurnya. "Adinda? Tapi... bagaimana mungkin?"
"Ini hanya mimpi, Rani," jawab Adinda tenang. "Tapi aku ingin berbicara denganmu."
Rani menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Apa... apa yang ingin kau bicarakan?"
Adinda duduk di tepi tempat tidur. "Tentang Dimas. Tentang kalian berdua."
"Aku... aku minta maaf," Rani berbisik, air mata mulai menggenang di matanya. "Aku tidak bisa..."
Adinda mengangkat tangannya, menghentikan kata-kata Rani. "Tidak perlu meminta maaf, Rani. Aku di sini bukan untuk bernegosiasi, aku hanya ingin membimbingmu, karena ini adalah takdirmu."
Rani menatap Adinda bingung. "Lalu... kenapa?"
"Aku tidak bisa menjelaskannya, kelak kamu akan mengatahuinya," ujar Adinda lembut. "Bantu Dimas untuk kembali menjadi dirinya sendiri."
"Tapi... Kenapa aku? Dia begitu menyebalkan, begitu dingin..."
Adinda menghela napas. "Dimas terjebak dalam rasa bersalah, cinta dan kewajiban. Dia tidak akan menceraikanku sebelum memberikan cucu pada ayahnya, tapi di sisi lain, dia tidak bisa menyentuhmu."
Rani terdiam, mencerna kata-kata Adinda.
"Rani," Adinda melanjutkan. "Aku ingin Dimas bahagia. Dan aku bisa melihat, kebahagiaannya ada bersamamu."
"Tapi... bagaimana dengan pernikahan kalian? Dengan keinginan ayahnya?"
Adinda tersenyum sedih. "Terkadang, kita harus berani melepaskan untuk bisa bahagia. Dimas perlu belajar bahwa kebahagiaannya lebih penting dari ekspektasi orang lain."
Rani mengangguk pelan. "Apa yang harus kulakukan?"
"Tetaplah di sisinya, Rani. Tunjukkan padanya bahwa dia layak dicintai apa adanya. Bantu dia menemukan keberanian untuk menghadapi masa lalunya dan melangkah ke masa depan."
Rani merasakan ada setitik tekad tumbuh dalam dirinya. "Aku akan mencobanya, lagi pula tidak ada yang bisa aku lakukan sekarang."
Adinda mulai memudar. "Terima kasih, Rani. Jagalah Dimas untukku."
Sebelum menghilang sepenuhnya, Adinda berbisik, "Dan Rani, ingatlah. Cinta sejati adalah tentang memberi kebebasan, bukan memiliki."
Rani terbangun dengan start, napasnya terengah-engah. Di sampingnya, Dimas masih tertidur pulas. Rani menatapnya lama, air mata mengalir di pipinya.
"Aku akan membantumu, Dimas," bisiknya pelan. "Kita akan melewati ini bersama."
Di luar, angin malam berhembus pelan, membuat daun-daun bergesekan, menciptakan melodi alam yang lembut. Sesekali, terdengar gonggongan anjing dari kejauhan, mengingatkan bahwa dunia luar masih ada meski waktu seolah berhenti dalam momen ini.
Ketika Adinda menghilang, cahaya keperakan itu perlahan memudar, meninggalkan kamar dalam keremangan yang familiar. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Udara terasa lebih ringan, seolah beban tak kasat mata telah terangkat.
Rani berbaring kembali, merasakan detak jantungnya yang perlahan kembali normal. Suara napas Dimas yang teratur di sampingnya menjadi pengingat akan realitas dan tanggung jawab baru yang kini dia emban.