Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Insecure atau Cemburu?
***
"Ngapain?"
Aku langsung menoleh ke asal suara saat menemukan Mas Yaksa masuk ke dapur dengan pakaian santainya, kaos polo andalannya dan celana pendek.
Aku tersenyum tipis. "Bikin puding, kemarin Javas minta." Aku berjalan menuju kabinet untuk mencari piring, "mau nyoba nggak?" tawarku kemudian.
Mas Yaksa mengangguk lalu menarik kursi dan duduk di sana, sementara aku memotong puding dengan ukuran agak besar dan membawanya menuju Mas Yaksa. Sisa pudingnya aku masukan kulkas agar lebih terasa enak besok saat Javas ingin memakannya.
"Kenapa nggak nyuruh Mbok Ru?" tanya saat menerima puding buatanku.
Aku memilih untuk duduk di hadapannya lebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Mas Yaksa.
"Cuma bikin puding, Mas, astaga, nggak ribet."
"Emang nggak capek."
"Demi anak, Mas, capek pun jadi nggak berasa." Aku menopang dagu sambil menatap Mas Yaksa yang kini sibuk menyuapkan potongan puding ke mulutnya, "enak nggak, Mas?"
Mas Yaksa mengangguk. "Enak, manisnya pas buat Mas, tapi kayaknya kalau buat Javas kurang manis sih ini." Ia tiba-tiba menyodorkan sendok berisi potongan puding ke arahku, awalnya aku sedikit ragu tapi pada akhirnya aku tetap menerima suapan itu.
Benar yang dikatakan Mas Yaksa, rasanya manis tapi kalau untuk Javas yang menyukai makanan manis, sepertinya ini memang akan terasa kurang manis baginya.
"Javas pasti bakalan kecewa nih."
"Nggak papa, nggak baik juga kalau makan terlalu manis. Kita memang perlu melatih dia biar nggak terlalu menyukai makanan yang terlalu manis," ucap Mas Yaksa sedikit menenangkanku.
Aku mengangguk pelan, meski sedikit kecewa dengan diri sendiri, tapi apa yang dikatakan Mas Yaksa ada benarnya juga.
"Oh ya, Mas udah bilang belum kalau minggu ini kita ada acara kondangan? Mas lupa deh kemarin udah kasih tahu kamu belum sih?"
"Belum. Emang kondangan ke nikahan siapa? Temen Mas Yaksa bukannya udah nikah semua?"
"Belum semua, yang lumayan akrab baru Ivan sih, sisanya masih bujang lapuk semua. Enggak tahu lah pada nyari yang gimana."
Aku cukup tercengang dengan fakta ini. Mas Yaksa saja sudah punya dua anak dan bahkan sampai menikah dua kali, tapi teman-temannya masih betah membujang?
"Terus yang mau nikah ini yang mana?"
"Ema."
"Dokter Ema?" Aku bertanya dengan nada ragu-ragu.
Dengan ekspresi yakinnya Mas Yaksa mengangguk untuk mengiyakan.
"Sama siapa?"
Aku tahu pertanyaanku terdengar konyol, tapi ini benar-benar di luar kuasaku. Pertanyaan itu keluar tanpa aku sadari dan aku baru menyadarinya setelah selesai bertanya. Sekarang aku menyesali kebodohanku yang satu ini.
"Pertanyaan kamu aneh banget," komentar Mas Yaksa di sela menertawakanku, "ya sama calon suaminya dong, Geya, memang kamu pikir Ema mau nikah sama siapa? Sama Mas gitu? Aneh-aneh aja kamu ini." Ia berdecak sambil geleng-geleng kepala tak lama setelahnya.
Aku merengut kesal karena diledek Mas Yaksa demikian, selain itu aku juga malu.
"Geya," panggilnya tiba-tiba, "kamu nggak beneran mikir kalau Mas sama Ema ada hubungan kan?"
Aku mengangkat kedua bahu bersamaan. "Ya siapa yang tahu."
"Astagfirullah, jadi kamu beneran mikir gitu? Kamu cemburu sama Ema?"
"Lebih tepatnya insecure, Mas," akuku jujur. Mengingat profesi kami yang jauh berbeda itu, siapa sih yang tidak merasa insecure, apalagi mereka terlihat akrab, "dokter Ema cantik dan dia punya segala hal yang nggak aku punya."
"Tapi kamu juga punya banyak hal yang nggak Ema punya, Geya, dan fakta paling penting adalah kamu istri Mas."
Aku mengangguk sambil tersenyum getir. Tapi fakta bahwa kami menikah karena terpaksa pun tidak akan pernah aku lupa, satu alasan kuat yang membuatku merasa insecure juga.
***
"Ema bukan saingan lo, Ge."
Aku tidak dapat menahan kerutan di dahi saat mendengar kalimat dokter Ivan yang terkesan tiba-tiba. Saat ini kami sedang ballroom hotel tempat dokter Ema menggelar pesta pernikahannya. Mas Yaksa sendiri sedang pamitan ke toilet dan sekarang aku hanya duduk berdua dengan dokter Ivan.
Alin dan Javas memang tidak ikut kemari karena tadi pagi-pagi sekali Mama menjemput dua cucunya untuk dibawanya pergi jalan-jalan entah dalam rangka apa. Anak dan istri dokter Ivan pun tidak ikut juga karena ia merasa tidak terlalu akrab dengan dokter Ema, jadi ia tidak mengajak anak dan istrinya. Bahkan tadi ia pun datang bersama rekan sejawatnya. Selain itu ia juga sempat mengaku kalau datang kemari setelah tadi sempat pergi ke rumah sakit untuk mengecek kondisi pasiennya.
"Maksudnya gimana, Dok?"
"Ivan. Panggil gue Ivan, Ge, astaga, kamu ini."
Aku meringis malu kemudian menggeleng cepat. "Enggak sopan, Dok."
"Panggil Mas atau Kak deh kalau gitu, atau Aa atau siapapun itu asal jangan 'dok'."
Aku mengangguk cepat. "Iya, Kak."
"Nah, gitu kan enak. Santai aja kalau sama gue. Jangan kaku-kaku gitu lah, gue sama Yaksa itu udah sohib kok, temen Yaksa berarti temen lo juga. Anggap aja gitu."
Sekali lagi aku hanya mampu merespon dengan ringisan samar. Bingung juga harus membalas apa.
"Gue denger lo sempet cemburu ya sama Ema?"
"Gimana, Dok?"
Ini dokter Ivan dapet gosip dari mana? Kok ngaco? Jangan bilang Mas Yaksa. Kalau iya, awas saja nanti.
"Kok dok lagi sih, Ge?" protes dokter Ivan terlihat benar-benar tidak suka
Aku tidak peduli. Yang penting sekarang aku meluruskan kesalahpahaman ini.
"Saya nggak cemburu dengan dokter Ema, Kak--"
"Tapi insecure?" potong dokter Ivan sambil terkekeh geli, "menurut lo, lo udah suka sama Yaksa belum sih, Ge?"
"Belum."
"Kalau belum, bukannya seharusnya lo nggak peduli nggak sih Yaksa mau deket sama siapa?"
Kenapa dokter Ivan ini sok tahu banget sih? Heran, kenapa Mas Yaksa betah temenan sama dia?
"Maaf, Kak, saya ini istri Mas Yaksa, wajar kalau saya peduli suami saya deket dengan siapa. Mas Yaksa juga demikian, dia belum memiliki perasaan terhadap saya pun, tapi dia juga tetap peduli kok saya dekat dengan siapa. Kalau anda tidak tahu apa-apa tentang kami, tolong jangan bersikap paling tahu segalanya."
"Tapi gue tau, Ge, seenggaknya untuk Yaksa gue tahu betul kalau dia itu udah suka sama lo. Dia peduli sama lo karena memang dia punya perasaan itu, bukan sebatas status kalian."
Apa yang dokter Ivan katakan? Dia bercanda kan? Dia sedang mengerjaiku? Nggak mungkin Mas Yaksa...
Mungkinkah?
"Saran dari gue sih mending lo tanyain ke diri lo sendiri, Ge, perasaan itu sudah benar-benar ada atau belum." Dokter Ivan tiba-tiba berdiri, "gue duluan ya. Kalau udah tahu jawabannya, jangan lupa kasih hadiah buat suami lo."
Insecure atau cemburu?
Suka suka Mas Yaksa?
Benarkah aku demikian?
To be continue,
komunikasi dewasa yg bisa merekatkan keduanya.... jaga yaa geya yg terbuka ...yeksa yg membimbing...
g enak banget ya..geya...dengernyaa
sabar yaa..
...ibu sedikit saja mengerti,memahami geya u bisa adaptasi dengan keadaannya... toh geya pada dasarnya anak penurut.