Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Penyelidikan Dara
Dara mengerjap, matanya perlahan terbuka. Tubuhnya masih telanjang. Lelaki surfer itu sudah tidak ada, padahal ia merasa seolah lelaki itu masih ada di dalam dirinya.
Apakah yang dialaminya benar-benar terjadi? Ataukah hanya mimpi seperti ketika Pak Wira mencekik hendak membunuhnya?
Dara meluncurkan tangannya ke antara paha, meraba kewanitaannya. Itu sangat basah. Dara memejamkan mata. Rasa nikmatnya masih tertinggal, membuat Dara ingin merasakannya lagi. Juga rasa sakit dan perihnya. Sehingga Dara menyimpulkan itu benar-benar terjadi.
Benarkah?
Lalu mengapa lelaki itu pergi begitu saja? Bahkan tanpa memberitahukan namanya. Dara menghela napas, sepertinya rasa penasarannya belum akan terpuaskan dalam waktu dekat.
Ia duduk dan meraup pakaiannya yang terserak di lantai. Suasana rumah benar-benar sunyi. Belut belum digarap, masih menunggu dua kiriman lagi, untuk kemudian diekspor sekaligus ke Cina.
Dan ular…
Teringat ular, Dara tersentak berdiri. Mengingat sebagian besar pekerja adalah laki-laki, ia cepat-cepat mengenakan bra dan menarik pakaian yang lebih sopan dari lemari. Sambil melakukannya, ia berpikir, jika ular masih ada, berarti lelaki surfer itu mungkin masih ada di sini.
Dara mengenakan sandal dan membuka pintu. Ternyata hari sudah mulai gelap, Ia melirik jam dinding yang jarumnya menunjuk ke angka lima. Sudah hampir maghrib. Lama sekali ia tertidur. Tumben tidak ada yang membangunkannya.
Namun, jika dipikir lagi, ketika para pekerja sudah pulang semua, dan boss tidak ada, penghuni rumah ini memang hanya dirinya dan Siti. Karena tidak ada pekerjaan yang mendesak, mereka tidak perlu berinteraksi atau berbasa-basi. Mungkin Siti mendekam di kamarnya yang nyaman ber AC. Dara mengangkat bahu tak peduli.
Ia mengarahkan pandang ke langit yang agak mendung, dipenuhi awan-awan berwarna timah, sehingga suasana lebih temaram dan memberi kesan lebih malam dari waktu yang sebenarnya.
Sejak hari pertama menginjakkan kaki di rumah ini, ia belum pernah ke luar. Kecuali waktu pergi ke mal dua kali, tapi itu naik mobil Oom Bernard. Langsung ke tujuan dan kembali masuk ke dalam garasi.
Ini kesempatan baginya untuk berjalan-jalan ke sekitar, siapa tahu menemukan tempat lelaki surfer itu tinggal.
Meskipun hati kecilnya menegur, mengatakan bahwa itu tidak pantas. Ia adalah seorang gadis, tidak patut mencari dan mengejar laki-laki.
Namun, ada sesuatu yang mendorongnya untuk melakukannya. Seolah sebuah kekuatan yang tidak bisa ia tahan.
Dara bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sampai ia merasa tubuhnya segar. Kemudian, diam-diam ia membuka pintu gerbang, dan melangkahkan kaki ke luar.
Ia tidak membawa apa-apa. Tidak dompet, tidak ponsel. Berpikir hanya akan berjalan kaki mengitari area yang dekat-dekat, sebentar saja.
Ia mengenakan celana jeans dengan T-shirt lengan pendek dan sandal jepit, serta mengikat rambut panjangnya menjadi ekor kuda tinggi.
Karena hari agak mengkhawatirkan, ia juga menyambar payung. Selain untuk bersiap-siap jika hujan, payung itu juga bisa digunakan sebagai ‘senjata’ jika ada keadaan darurat.
Dara melangkah santai ke arah belakang rumah, menyusuri sepanjang jalan tanah yang semakin masuk semakin lengang. Tetapi di kiri dan kanan, yang di dekat rumah Oom Bernard sepertinya telah dibabat habis sehingga menjadi tanah terbuka, kini mulai terlihat batang-batang pohon bambu rimbun yang saling malang melintang.
Rupanya ada hutan bambu tidak jauh di belakang rumah. Dara terus melangkah masuk ke hutan itu. Semakin lama, pohon-pohon di hutan itu semakin rapat, sehingga lingkungan lebih gelap. Tidak ada suara apa pun. Tidak suara jangkrik. Apalagi suara mobil yang lewat.
Hati Dara mulai ciut, ketika sayup-sayup ia mendengar suara gemercik air. Sepertinya ada sungai di dalam sana. Jika ada sungai, mungkin di balik hutan ini ada kehidupan. Dara melanjutkan perjalanan.
Tak lama kemudian, ia tiba di sebuah jembatan bambu kecil yang melintasi air yang menggenang. Dara mendekat ke tepi air itu dan meneliti airnya yang berwarna gelap. Sepertinya ini rawa, bukan sungai. Berarti ia belum tiba di tempat suara air itu berasal.
Dara naik ke jembatan bambu yang bergoyang-goyang dan berkeriut ketika diinjak. Ada rasa tegang yang menahan langkahnya, tetapi kalah oleh rasa penasaran yang mendorongnya untuk melanjutkan.
Ia terus meniti jembatan itu perlahan.
‘Sebentar lagi,’ pikirnya. ‘Aku harus menemukan sesuatu sebelum hari benar-benar gelap.’
Ia tiba di seberang jembatan, dan akhirnya melihat sungai kecil yang airnya mengalir, menabrak batu-batu kali yang tersebar. Sungai itu tampak jernih, bahkan di tengah kegelapan, ada kilau samar yang terpantul dari cahaya bulan yang mulai mengintip di langit.
Sekonyong-konyong, angin berdesir, merontokkan beberapa daun bambu. Beberapa melayang menerpa pipinya, beberapa jatuh menyentuh pundaknya. Suasana berubah mencekam. Buku kuduk Dara mulai naik, membawa rasa meremang dan dingin di sekujur tulang belakangnya.
Tiba-tiba, ia melihat bayangan. Berkelebat.
Lelaki surfer itu!
Seketika Dara menjadi antusias.
“HEI!” Dara berseru. “Tunggu… Jangan pergi.”
Lelaki itu berhenti di balik sekumpulan batang bambu.
“Mas… Bang… Namanya siapa?” Dara nekad bertanya. Ia tak ingin menunda lagi. “Aku Dara.”
Namun, lelaki itu tidak menjawab. Tetapi kini ia memunculkan diri. Berdiri utuh, masih bertelanjang dada, menunggunya mendekat.
Lelaki itu tersenyum, mengulurkan tangan, seolah mengundang Dara untuk menghampiri.
Dan Dara, sekali lagi merasa tubuhnya panas dingin oleh hasrat tak tertahan.
Sayup-sayup ia merasa mendengar sebuah suara, berbisik sangat dekat di telinganya. Seolah yang mengucapkannya menempelkan bibir di telinganya, sampai ia merasa merinding.
Suara itu sangat lirih.
Namun, Dara mendengarnya jelas.
“Damar.”
yang masih jadi pertanyaan di benakku adalah, asal usul Damar.
keren abis
penulisan biar alur maju mundur tapi runtut
semoga banyak yg baca dan suka Thor semangat
sehat selalu author