Suami Penutup Aib

Bunyi notifikasi pesan terdengar di ponsel Nadya. Itu dari Ardha yang mengatakan kalau dia akan terlambat 15 menit karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya. Empat hari pulang ke Indonesia harus dibayar Ardha dengan kerja lembur.

"Katanya di akan telat 15 menit", ucap Nadya pada Aris.

Ya, Aris ikut karena Nadya merasa sungkan harus bicara berdua saja dengan Ardha. Jadilah ia seolah obat nyamuk yang dipasang supaya dua sejoli itu bisa bicara dengan tenang. Awalnya Aris menolak, tapi karena bujukan memelas Nadya dengan mata bak kucing meminta tulang ikan akhirnya ia pun menyerah. Tentu saja dengan wajah cemberut dan syarat minta ditraktir.

Dan di sinilah mereka, di sebuah kedai kopi tak jauh dari restoran menunggu kedatangan Ardha. Tak usah ditanya bagaiman detak jantung Nadya. Aris pun bisa melihat dengan jelas betapa gugupnya Nadya sekarang.

"Santai.. kalo gugup itu baca doa, bukan goyang-goyang kaki begitu... Kalo kebentur meja, bisa tumpah nih kopi mahal", ucap Aris yang entah sebenarnya mengkhawatirkan Nadya atau kopinya.

Nadya hanya nyengir kuda tapi dalam hatinya membenarkan ucapan Aris.

Tak lama kemudian mereka melihat Ardha di pintu masuk dan mendatangi mereka setelah melihat dimana mereka duduk.

"Maaf terlambat", ucap Ardha sambil tersenyum yang manis... sekali menurut Nadya. Padahal kalau yang dilihat Aris itu cuma senyum biasa, sekedar supaya tak terlihat kaku.

Ardha melirik ke arah Aris. Dan seolah paham dengan apa yang sedang dipikirkan orang dihadapannya, Aris langsung menyela.

"Nadya minta ditemani pak, katanya takut kalau sendirian nanti diculik", ucapnya asal yang dibalas Nadya dengan tatapan tajam tak terima. Entah kemana perginya mata kucing memelas tadi yang kini sudah berubah jadi mata singa betina.

"Tidak pak, bukan begitu. Saya cuma merasa tidak enak kalau bicara berdua saja dengan anda", jawabnya malu.

"Oh..begitu. Baiklah, tidak apa-apa", jawab Ardha berusaha tenang padahal dadanya sedang bergemuruh seperti diterjang badai.

Setelah mempersilahkan Ardha meminum kopi yang sudah dipesankannya, Nadya memulai untuk berbicara.

"Ehm.. begini pak. Eh.. saya.. ehm.. yang itu masalah yang.. kemaren, saya...", Nadya malah jadi tambah gugup.

Aris yang gemas melihat tingkah Nadya tiba-tiba jadi hilang adab.

"Nadya mau bilang iya pak untuk jawaban lamaran kemaren. Bapak tidak perlu menunggu seminggu, dapat diskon tiga hari", sela Aris yang membuat Nadya melotot kaget bukan main. Ia menyesal karena sudah mengajak Aris ikut. Yang dipelototi cuma tersenyum tengil seolah-olah telah berbuat baik untuk temannya.

Ardha pun tak kalah kaget, karena tak menyangka kalau ternyata Nadya menyatakan menerima lamarannya hari ini. Ardha pun jadi tambah gugup yang tentu saja ditangkap oleh mata Aris. Sedangkan Nadya dari tadi hanya menunduk menyembunyikan semu merah di pipinya karena malu.

Dalam hati Aris, bukankah seharusnya Ardha senang dengan jawaban Nadya yang diwakili olehnya tadi. Tetapi kenapa raut muka atasannya ini malah seperti orang panik.

"Begini Nadya, eh.. saya Ehm.. ada yang..eh..saya perlu..", giliran Ardha yang terbata-bata.

"Maaf pak, kalau Nadya yang gak sanggup ngomong, saya bisa wakilin soalnya saya tahu apa yang mau dia omongin. Tapi kalau anda yang begitu, saya nyerah pak", sela Aris, entah serius atau bercanda yang tentunya menambah daftar penyesalan Nadya karena sudah mengajaknya.

"Ah, iya.. iya..", sahut Ardha sedikit salah tingkah.

Kemudian ia menarik dan menghembuskan nafas panjang untuk menetralkan rasa gugupnya.

"Aris, sebenarnya apa yang ingin saya sampaikan ini hanya perlu diketahui oleh Nadya. Tapi karena kamu ada di sini dan sudah terlanjur ikut dalam perkara ini sejak awal, ya sudah apa boleh buat. Kamu juga boleh mendengarkan. Hanya saja saya mohon kamu berjanji untuk menjaga agar pembicaraan ini tetap di antara kita bertiga saja", ujar Ardha yang otomatis membuat kedua orang dihadapannya mengerutkan dahi. Memangnya apa yang harus dijaga?

"Baik pak, saya berjanji", jawab Aris tetap dengan raut penasaran.

Ardha kemudian menatap ke arah Nadya yang masih terlihat agak menunduk. Setelah sekali lagi menghela nafas panjang...

"Terima kasih Nadya karena sudah menerima lamaran saya, dan saya benar-benar bahagia. Tetapi... saya sungguh minta maaf, saya belum bisa menikahi kamu dalam waktu dekat karena... seminggu lagi saya harus menikah dengan wanita lain", lolos sudah kalimat itu yang kontan membuat Nadya dan Aris melotot berjamaah ke arah Ardha.