NovelToon NovelToon
OTAK AI

OTAK AI

Status: tamat
Genre:Tamat / Sistem / Anak Genius / Mengubah Takdir / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Dunia Masa Depan / Robot AI
Popularitas:932
Nilai: 5
Nama Author: RAIDA_AI

Menceritakan perkembangan zaman teknologi cangih yang memberikan dampak negatif dan positif. Teknologi Ai yang seiring berjalannya waktu mengendalikan manusia, ini membuat se isi kota gelisah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RAIDA_AI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

cahaya baru

Setelah pertempuran, Kai dan kelompoknya mulai membangun kembali apa yang telah hancur. Mereka mengumpulkan puing-puing yang tersisa dan membersihkan area yang telah rusak. Rasa kebersamaan dan persatuan mereka semakin kuat. Setiap orang di kelompok itu bertekad untuk tidak hanya membangun tempat tinggal, tetapi juga menciptakan komunitas yang lebih baik, di mana harapan dan kepercayaan bisa tumbuh kembali.

“Gue ingat, waktu kita pertama kali berkumpul, kita semua merasa putus asa,” Kai berkata kepada kelompoknya saat mereka beristirahat setelah bekerja keras sepanjang hari. “Tapi sekarang, lihatlah kita! Kita bisa melakukan ini bersama-sama. Kita bisa membangun masa depan yang kita inginkan!”

Orang-orang di sekitarnya mulai bertepuk tangan, semangat mereka terbangun kembali oleh kata-kata Kai. Dia merasa tergerak melihat keteguhan dan ketulusan di wajah mereka. “Kita akan membangun sekolah untuk anak-anak, taman untuk bermain, dan tempat yang aman bagi semua orang. Kita akan menunjukkan bahwa kita tidak akan pernah menyerah.”

Mereka mulai bekerja untuk mendirikan sekolah kecil di tengah kota. Mereka mengumpulkan buku-buku dan alat tulis yang tersisa dari puing-puing, mendirikan meja dan kursi sederhana dari kayu yang bisa mereka temukan. Setiap anak yang datang, termasuk anak-anak yang dulu tidak memiliki tempat aman, mulai berbondong-bondong untuk belajar.

Salah satu anak, Niko, yang berusia sekitar sepuluh tahun, mendekati Kai dan bertanya, “Apa yang akan kita pelajari, Kak Kai?”

Kai tersenyum kepada Niko, mencoba membangkitkan semangat anak-anak yang kini menjadi cikal bakal masa depan dunia baru yang mereka impikan. “Kita akan belajar banyak hal, Niko. Matematika, sains, sejarah, dan yang paling penting—logika. Itu adalah kunci buat kalian untuk memahami dunia ini dan juga untuk menghadapinya.”

Niko tampak tertarik, tetapi ragu-ragu. “Logika? Kenapa itu penting?”

Kai jongkok agar bisa berbicara setara dengan mata Niko, menepuk pundaknya dengan lembut. “Logika itu seperti cara berpikir yang benar. Misalnya, kalau kamu punya masalah yang rumit, seperti bagaimana menghindari robot-robot yang menyerang kita dulu, kamu butuh rencana, kan? Nah, dengan logika, kamu bisa membuat keputusan yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih aman.”

Anak-anak yang lain mulai berkumpul, tertarik dengan percakapan itu. Wajah mereka penuh antusiasme meski ada kelelahan dari segala trauma yang mereka alami. Kai melihat kesempatan ini sebagai momen penting untuk membentuk fondasi baru bagi komunitas mereka. Ini bukan sekadar soal bertahan hidup—ini adalah soal menyiapkan generasi selanjutnya untuk menghadapi dunia yang penuh tantangan.

“Dulu, waktu kami masih berjuang melawan Atlas, logika dan matematika membantu kami menyusun strategi,” lanjut Kai. “Kami harus tahu kapan dan di mana menyerang. Kami harus menghitung jumlah musuh, menentukan rute pelarian, dan memutuskan kapan harus mundur. Semua itu berdasarkan logika dan pemahaman yang baik tentang matematika.”

Seorang anak perempuan bernama Alia, yang berusia sekitar delapan tahun, mengangkat tangan kecilnya dan bertanya dengan polos, “Tapi, Kak Kai, matematika itu sulit. Kenapa kita harus belajar?”

Kai tertawa kecil, tetapi dengan penuh kasih sayang. “Iya, kadang matematika memang sulit. Tapi matematika itu seperti teka-teki. Setiap angka punya makna dan hubungan satu sama lain. Kalau kita bisa memecahkan teka-teki itu, kita bisa memahami banyak hal di dunia ini. Seperti, bagaimana bangunan tidak roboh, atau bagaimana kita tahu kapan waktu yang tepat untuk menanam makanan.”

Alia tampak merenung, mencoba memahami penjelasan Kai. “Jadi, kalau kita pintar matematika, kita bisa membangun rumah yang kuat dan aman?”

Kai mengangguk dengan semangat. “Tepat sekali! Dan bukan hanya rumah. Kalian bisa membangun jembatan, gedung, bahkan kendaraan yang bisa terbang, siapa tahu? Matematika ada di mana-mana.”

Mendengar hal itu, anak-anak mulai bersemangat. Beberapa dari mereka bahkan mulai membicarakan apa yang ingin mereka bangun atau ciptakan di masa depan. Di tengah puing-puing kehancuran, di bawah langit yang masih menyisakan jejak peperangan, percakapan ini memberikan harapan baru. Bagi anak-anak ini, belajar bukan lagi beban, melainkan pintu menuju dunia baru yang penuh kemungkinan.

Kai merasa dadanya menghangat melihat perubahan di wajah anak-anak itu. Meskipun tantangan masih besar, dia tahu bahwa perubahan dimulai dari sini—dari semangat belajar dan keyakinan bahwa masa depan bisa diperbaiki.

“Kalian semua adalah bagian dari masa depan yang lebih baik,” kata Kai dengan suara tegas namun lembut. “Dulu, orang-orang mungkin berpikir bahwa hanya mesin yang bisa mengendalikan masa depan. Tapi kalian harus ingat, kalian punya sesuatu yang mesin tidak punya—hati, dan juga pikiran yang bisa bermimpi. Itu lebih kuat daripada algoritma apapun.”

Anak-anak tersenyum, semangat mereka berkobar, meskipun mereka masih muda dan tidak sepenuhnya memahami kompleksitas dunia yang mereka hadapi. Namun, Kai tahu, bahwa masa depan dimulai dengan keyakinan sederhana—bahwa mereka bisa melakukan sesuatu, betapa kecil pun itu.

Setelah menghabiskan waktu bersama anak-anak, Kai kembali ke tempat kelompoknya berkumpul. Dia menemukan temannya, Mira, yang sedang mengatur distribusi makanan untuk penduduk yang selamat. Mira tersenyum ketika melihat Kai mendekat.

“Kai, lo berhasil membuat mereka bersemangat lagi,” kata Mira sambil menyerahkan sebuah botol air kepada Kai. “Anak-anak itu… mereka adalah harapan kita.”

Kai menerima botol air itu dan meminumnya sedikit sebelum menjawab. “Iya, gue lihat itu di mata mereka. Mereka mungkin belum mengerti sepenuhnya, tapi mereka tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari semua yang kita hadapi sekarang. Dan itu memberi mereka harapan.”

Mira mengangguk. “Tapi lo juga tahu, kita nggak bisa hanya mengandalkan harapan. Kita harus terus bekerja keras untuk memastikan dunia ini siap menerima mereka. Dunia masih belum aman.”

Kai menatap langit yang mulai gelap. Bintang-bintang perlahan muncul di atas reruntuhan kota yang mereka coba bangun kembali. “Gue tahu. Kita harus lebih dari sekadar bertahan hidup. Kita harus membangun dunia yang lebih baik dari sebelumnya.”

Mira menatap Kai dengan tatapan penuh pengertian. “Dan kita akan melakukannya. Bersama.”

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kerja keras. Kai, Mira, dan yang lainnya bekerja tanpa lelah untuk memperkuat pertahanan mereka, menata ulang sistem distribusi pangan, dan memperluas wilayah aman bagi penduduk yang selamat. Mereka membentuk tim-tim kecil untuk patroli, memastikan bahwa ancaman dari sisa-sisa kekuasaan Atlas benar-benar dihapuskan.

Kai juga memimpin diskusi-diskusi strategis dengan para pemimpin komunitas. Mereka merancang sistem pemerintahan sederhana yang adil dan transparan, agar setiap orang merasa memiliki suara dalam membangun kembali masyarakat.

“Membangun ulang peradaban bukan tugas yang mudah,” kata Kai pada suatu rapat, “tetapi ini adalah kesempatan kita untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi sebelumnya. Kita bisa membangun dunia yang lebih adil, di mana setiap orang punya kesempatan yang sama.”

Di sela-sela kesibukan membangun, Kai tetap meluangkan waktu untuk mengajari anak-anak. Bersama dengan beberapa orang dewasa yang punya latar belakang sebagai guru, mereka menciptakan kurikulum darurat yang berfokus pada keterampilan praktis, seperti matematika dasar, logika, dan pemahaman teknologi. Kai yakin, bahwa untuk melawan masa depan yang dikendalikan mesin, manusia harus lebih pandai dan lebih kreatif.

Dengan setiap hari yang berlalu, Kai merasakan bahwa perjuangannya tidak sia-sia. Mereka mulai melihat hasil dari kerja keras mereka—taman-taman kecil tumbuh subur, rumah-rumah baru berdiri, dan yang terpenting, semangat hidup kembali di antara orang-orang yang dulu merasa tidak ada harapan.

Di setiap langkah, meskipun Renata tidak ada di sampingnya, Kai selalu merasakan kehadirannya. Setiap keputusan, setiap upaya untuk membangun kembali, Kai lakukan dengan keyakinan bahwa Renata pasti bangga melihat apa yang mereka capai. Dia tahu bahwa pengorbanan sahabatnya telah membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah.

.

.

.

.

1
Niki Fujoshi
Update secepatnya thor! Kami sudah tidak sabar ingin tahu kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!