Akademi Debocyle adalah akademi yang paling luas, bahkan luasnya hampir menyamai kota metropolitan. Akademi asrama yang sangat mewah bagaikan surga.
Tahun ini, berita-berita pembunuhan bertebaran dimana-mana. Korban-korban berjatuhan dan ketakutan di masyarakat pun menyebar dan membuat chaos di setiap sudut.
Dan di tahun ini, akademi Debocyle tempatnya anak berbakat kekuatan super disatukan, untuk pertama kalinya terjadi pembunuhan sadis.
Peringatan : Novel ini mengandung adegan kekerasan dan kebrutalan. Kebijakan pembaca diharapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garl4doR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Makhluk Hutan Hitam
Heather, Alvaro, dan Gale terus melangkah, kali ini lebih dalam ke hutan. Udara semakin berat, kabut semakin tebal, dan bau busuk bercampur dengan aroma tanah basah yang pekat. Heather melangkah dengan percaya diri, tetapi Alvaro dan Gale bisa melihat ketegangan di setiap gerakannya. Anjing-anjing Heather masih di sisinya, gigi mereka mengkilat oleh darah hitam makhluk-makhluk sebelumnya.
“Berapa banyak lagi makhluk seperti itu di sini?” tanya Gale dengan suara berbisik, meskipun dia tahu jawabannya tidak akan menyenangkan.
"Cukup banyak untuk membunuh kita kalau kau tidak berhenti bertanya dan malah berdiri di situ,” jawab Heather ketus. “Jadi tutup mulutmu.”
Langkah mereka terhenti lagi ketika suara gemeretak aneh terdengar dari arah kanan. Heather mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka berhenti. Anjing-anjingnya menggeram pelan, telinga mereka menoleh ke arah sumber suara.
Dari bayang-bayang pepohonan, sesuatu muncul. Makhluk-makhluk itu jauh berbeda dari Monster sebelumnya. Kali ini, mereka lebih kecil, seperti manusia kerdil dengan tubuh yang terbuat dari akar dan ranting yang terjalin. Namun, kecepatan mereka jauh di atas Monster sebelumnya. Dalam sekejap, lima makhluk meluncur ke arah mereka dengan gerakan zig-zag yang sulit ditebak.
Heather langsung menyerang, pedangnya menyapu udara dengan presisi. Dua makhluk hancur dalam satu tebasan, pecahan ranting mereka melayang ke udara. Namun, yang lain melompat mengitari Heather, mencoba menyerang dari belakang.
“Jaga dirimu!” Heather berteriak.
Alvaro mencabut daggernya, siap menghadapi satu makhluk yang melompat ke arahnya. Dengan refleks yang tajam, ia menghindar dan menebas tubuh makhluk itu, tetapi makhluk itu hanya terhuyung sebentar sebelum melanjutkan serangannya. Gale, di sisi lain, hampir tersandung saat mencoba menghindari cengkeraman akar salah satu makhluk.
“Kita butuh cara lain!” teriak Gale sambil menendang makhluk itu menjauh.
Heather menggeram frustrasi. “Akar-akar itu hanya bisa dihancurkan dengan api!”
“Kenapa kau tidak bilang dari tadi?!” Gale membuka telapak tangannya dan dalam sekejap api hitam muncul dan mewujudkan botol kaca berisi cairan. Di mulut botol itu ada kain yang terbakar, ia membuat bom Molotov.
Gale melemparkan botol itu ke monster-monster itu, membuat percikan api yang membakar mereka. Mereka terbakar seperti kayu-kayu api unggun.
"Aku lupa kau punya kekuatan seperti itu," Heather tersenyum kering melihatnya.
Ketika api mulai mereda, mereka kembali bergerak. Namun, hutan sepertinya semakin mempermainkan mereka. Jalur yang tadinya terlihat jelas kini berubah menjadi labirin akar dan pohon yang bergerak seolah-olah hidup. Suara gemeretak kembali terdengar, kali ini dari segala arah.
“Ini jebakan,” gumam Heather. “Hutan ini tahu kita mencoba keluar.”
Sebuah raungan keras tiba-tiba menggema, membuat mereka semua menoleh. Dari kegelapan muncul makhluk lain, lebih besar dari yang sebelumnya. Tubuhnya seperti gabungan dari batu dan tanaman, dengan dua lengan besar yang tampak seperti batang pohon tua. Mata merahnya bersinar, menatap langsung ke arah mereka.
“Lari, sekarang!” Heather berteriak. Tapi sebelum mereka bisa melangkah, makhluk itu menghantam tanah dengan salah satu lengannya, menciptakan gelombang kejut yang membuat mereka terlempar.
Alvaro bangkit dengan susah payah, merasakan nyeri di bahunya. Gale mengerang di dekatnya, sementara Heather sudah berdiri kembali, wajahnya penuh kemarahan.
“Tunggu—kau tidak bisa melakukannya sendiri!” seru Alvaro.
Namun, Heather tidak mendengarkan. Ia menyerang makhluk itu dengan kekuatan penuh, pedangnya menebas kulit batu makhluk tersebut. Anjing-anjingnya ikut membantu, menggigit dan mencakar makhluk itu, tetapi setiap serangan hanya meninggalkan goresan kecil.
“Dia butuh bantuan,” gumam Alvaro. Ia menoleh ke Gale, yang masih memegang salah satu botol bom molotov. “Kita harus menyerang dari jarak jauh.”
“Bagaimana caranya? Makhluk itu seperti tank berjalan!” Gale memprotes.
“Percayalah padaku.”
Alvaro meraih botol itu dari tangan Gale, petir yang menyambar di sekeliling kakinya menjadi sinyal untuk meluncurkan teknik kecepatan kilatnya. Ketika Monster itu kembali memukul tanah, Alvaro dengan cermat mengurangi dampak gelombang kejut yang muncul. Gerakannya lincah dan gesit, menyusuri serangan gelombang itu dengan presisi luar biasa. Ia memanfaatkan momentum tepat saat gelombang kejut menyelimuti sekitarnya, menyelipkan tubuhnya dalam harmoni gerakan yang sempurna, dan melewati tantangan itu dengan kecepatan yang mengagumkan.
Dengan langkah mantap, Alvaro menapak di atas tangan batu monster itu, bergerak gesit menuju bahunya. Dalam sekejap, ia melompat tinggi, memanfaatkan setiap inci kekuatan tubuhnya untuk mencapai punggung monster yang terbuka lebar. Ia menambahkan sihir api ke dalam botol itu.
Tanpa ragu, ia melontarkan botol itu dengan segenap kekuatan, dan begitu botol itu menghantam punggung makhluk raksasa itu, ledakan dahsyat pun terjadi. Api menyembur dari tubuh monster, membalut sebagian tubuhnya dalam kobaran.
Makhluk itu mengeluarkan raungan keras, tubuhnya terbakar hebat. Heather memanfaatkan momen itu, menyerang dengan tebasan yang lebih kuat. Kali ini, pedangnya menembus hingga ke inti tubuh makhluk itu, dan dengan satu gerakan, ia merobeknya menjadi dua.
Makhluk itu jatuh dengan suara berat, tubuhnya berubah menjadi abu yang menyatu dengan tanah. Heather terengah-engah, tetapi ia segera berbalik ke arah Alvaro.
“Jangan pikir aku berterima kasih,” katanya dengan nada dingin. “Tapi setidaknya kalian tidak mati.”
Alvaro tersenyum tipis. “Kami akan berterima kasih nanti—kalau kita berhasil keluar hidup-hidup.”
Heather tidak menjawab, tetapi matanya menunjukkan sedikit penghargaan. “Ayo. Kita belum selesai.”
Dengan hati yang masih berdegup kencang, mereka melanjutkan perjalanan, menyadari bahwa hutan ini masih memiliki banyak kejutan untuk mereka.