Naas, kemarin Ceren memaksa hatinya untuk menerima Gilang, si teman sekolah yang jelas-jelas tidak termasuk ke dalam kriteria teman idaman, karena ternyata ia adalah anak dari seorang yang berpengaruh membolak-balikan nasib ekonomi ayah Ceren.
Namun baru saja ia menerima dengan hati ikhlas, takdir seperti sedang mempermainkan hatinya dengan membuat Ceren harus naik ranjang dengan kakak iparnya yang memiliki status duda anak satu sekaligus kepala sekolah di tempatnya menimba ilmu, pak Hilman Prambodo.
"Welcome to the world mrs. Bodo..." lirihnya.
Follow Ig ~> Thatha Chilli
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MDND ~ Bab 12
"Pak.." Ceren menarik kecil lengan batik bapak, saat keduanya turun dari mobil di pelataran rumah Gilang.
Mendongak dan mengedarkan pandangan, dari sudut manapun rumahnya tak bisa dikatakan kecil nan sederhana. Pelataran rumahnya aja udah mirip lapangan di rt rumahnya.
Bapak menelan salivanya seret. Butuh minum segera, apa perlu ia seruput air kolam air mancur yang berada 5 langkah dari posisinya sekarang demi menyadari strata sosial keluarga Baraspati dan Ambarwati lewat bentukan tempat tinggalnya.
Seketika otak keduanya langsung membandingkan itu dengan status sosial keduanya.
"Jauh...ck..ck.."gumam keduanya sehati. Bahkan terparkirnya mobil seseorang yang ia kenali saja tak membuat Ceren sadar akan keberadaan orang lain itu.
"Masuk nduk." ajak bapak mendadak memegang Ceren dengan tangan dinginnya, memancing kernyitan di dahi Ceren, "bapak aja mendadak gugup gini, apalagi aku, pak?" raut kekhawatiran tak bisa disembunyikan dari wajah Ceren.
"Mau pulang aja apa gimana pak? Bilang aja aku mules ngga sembuh-sembuh..." ocehnya enteng dihadiahi semburan bapak, "ngawur."
"Aku kok ya mendadak mules pak," keluhnya seperti tebakan bapak tadi.
"Alhamdulillah datang juga. Penghulu sudah menunggu, Ceren...pak Harun," bu Ambar menyambut keduanya karena mendengar suara riuh perdebatan dan atas laporan supirnya tadi. Kini tak ada jalan untuk kembali selain dari menghadapi masalah di depan mereka.
Ceren menghela nafasnya berulang kali dan masuk. Punggung terbalut jas disana itu ada 3 meski posisi mereka tidak berdekatan dan sedikit ngacak, tidak mungkin lelaki yang duduk paling kanan, karena itu jelas perawakan gemuk pak Baraspati, dan ia sudah menoleh sepaket senyumnya.
Masih ada dua lainnya, yang satu lebih terlihat jangkung sedang memangku seorang anak kecil dengan kemeja kotak-kotaknya sambil setengah gelendotan. Dan yang satu....
"Pak Harun," sapanya.
Disaat kedua lainnya menoleh Ceren langsung mematung. Yang dilihatnya pertama kali adalah petir seperti menyambar tepat di atas ubun-ubunnya, wassalam.
Karena wajah yang terpampang nyata disana adalah....
"Pak Bodo?"
Tanpa ia sadari jika Gilang sudah mendekat dan mengulurkan tangannya, "macet ya?" pertanyaan itu menyadarkan kembali Ceren dari keterkejutan, "Lang, itu kamu undang pak Bodo kesini? Biar apa?!"
"Biar tau," Gilang justru cengengesan, pemuda itu memang tampan. Senyum sepaket lesung pipinya begitu membius ditambah jas yang dipakai itu slim mencetak sisa-sisa kejayaan tubuh pemudanya membuat perasaan hangat kini mengaliri hati Ceren, fix! Karena jas mahal ini, Gilang jadi keren begini!
Ceren manyun dan menyarangkan pukulan pelannya di lengan Gilang, "rahasia kecil kita, kalau pak Bodo itu adalah masku...jadi rahasia pernikahan kita aman." Bisik Gilang.
Mata Ceren semakin membola mendengar itu, ia tergagap tak bisa mengatakan apapun.
"Sini aku kenalin. Ngga usah takut, di rumah dia sedikit jinak, sering dihukum sihh jadi taunya kegarangannya aja." ajak Gilang menarik tangan Ceren lembut dan gadis itu menurut. Tautan tangan keduanya turut terpotret dalam bingkai manis pemandangan malam itu di depan semuanya termasuk Hilman.
"Yanda, itu..." tunjuk Kaisar pada Ceren yang digandeng Gilang.
"Ya. Itu calon istri pa'lek." jawab Hilman.
"Pa'lek mau punya bu'lek toh?" tanya Kai memastikan, yang diangguki ayahnya.
"Yang kalo bobok, berdua di kamar?" tanya nya lagi diangguki Hilman, saking cerewet dan kritisnya sang putra ia sampai mengernyit, sebenarnya apa yang diajarkan gurunya di tk sampai-sampai pertanyaan Gilang begitu detail? Atau mungkin seharusnya apa yang ibunya berikan untuk makan siang Kaisar sampai ia bisa secerewet ini.
"Kaya yanda sama bunda?" Hilman hampir menggeram menjawabnya persis macan, karena terdengar menggelikan tiba-tiba membayangkan Gilang dan Ceren tidur berdua, lalu....arghhh! Masih kecil!
Kedua sosok remaja itu mendekat dan menghampiri Hilman, Ceren berinisiatif menyapanya dan nyengir, namun Hilman memang seperti stelan normalnya yang memasang wajah datar saja seolah tak ada yang mampu membuatnya tersenyum dari diri siswinya itu.
"Ceren," begitu saja sapanya, hanya anggukan kecil. Bukan Ceren yang mencebik namun Kaisar, "yanda kok begitu menyapanya?" saat mendapati jika ayahnya itu kelewat jutek.
"Bu'lek juga kok gitu salamnya. Kalo pa'lek sama yanda biasanya salim, begini..." titah Kai memeragakan salim takzim yang biasa Gilang lakukan dengan meraih punggung tangan ayahnya dan ia kecup, sontak saja Hilman dan Ceren tersentak dibuatnya.
Gilang meledakan tawanya bersama yang lain, padahal bagi Ceren maupun Hilman tak ada yang istimewa ataupun lucu dari ucapan Kaisar tadi, bocah tengil...gerutunya dalam hati.
"Ini Kaisar, Ren. Anak mas Hilman..."
"Kai, ini kak Ceren..."
"Bu'lek ku kan, pa'lek?" tembak Kai diangguki Gilang, "smart boy!" pujinya, bocah itu tersenyum menampilkan gigi ompongnya.
"Langsung dimulai saja pak," tegur bu Ambar. Tatapan mata Ceren tak bisa untuk tak melirik berkali-kali pada Hilman yang memang sejak tadi menatapnya lekat seperti ingin memakannya. Mungkin karena diantara mereka yang hadir hanya Ceren lah yang menampilkan wajah getir dan senyuman tak ikhlasnya.
Ikhlas kok pak, gue ikhlas! Untung adek lo ganteng, baik pula!
"Saya terima nikah dan kawinnya...."
"Sah!"
Dua buah buku coklat dan hijau tersodor di depan keduanya untuk kemudian ditanda tangani, membuat alis Ceren mengernyit dan menoleh penuh sorot kebingungan pada Gilang, pasalnya ini tak sesuai perjanjian dimana bu Ambar menjanjikan nikah siri saja.
"Nanti aku jelasin." seakan tau yang ada di otak Ceren, Gilang langsung meredakan sejenak amarah Ceren yang siap meledak.
Tak ada pesta layaknya resepsi pada umumnya, mengingat acara pun dilakukan malam. Apa yang dikatakan bapak sepertinya benar, begitu ijab langsung ngamar.
Pak Baraspati meminta supir mengantarkan pak Harun setelah sebelumnya ayah Ceren itu menolak untuk menginap di kediaman mereka. Keluarga Gilang sedang menghabiskan waktunya ngeteh bersama di ruang tengah sambil bicara serius antar orang dewasa, sementara Kai...setelah makan malam sederhana langsung digiring mbak Sri untuk tidur.
"Bapak ngga apa-apa kan pulang sendiri?" tanya Ceren basa-basi dengan wajah penuh harapnya, lebih kepada---pak, bawa aku pulang bersamamu---
Namun pada kenyataannya rasa peka bapaknya itu tak lebih peka dari bunga putri malu di pinggir jalan dan mesti diasah lagi karena jawabannya justru jauh dari harapan.
Bapak menggeleng, "bapak sudah tua, Ren. Sudah biasa hidup sendiri." jawabnya mendadak melankolis.
Gembelll---asemmm....Ceren menggumam dalam hati. Dan wajah kecut Ceren itu memantik cengengesan Gilang yang setia di sampingnya, pemuda itu seperti cenayang yang tau isi hati dan pikiran istrinya itu, "bapak pengertian." kerling Gilang berbisik di sampingnya, sukses membuat Ceren bergidik ngeri, kulitnya bahkan sudah meremang. Selama ini belum ada satu pun pemuda yang berani begini padanya, belum ada jarak 3 meter saja mereka sudah kena hantam duluan.
"Bapak yakin ngga mau nginep saja? Ini sudah malam.." katanya. Namun bapak tua itu justru kembali menggeleng, "ndak den bagus."
Gilang mele nguh singkat mendapati pak Harun masih memanggilnya begitu.
Dan bapak hanya bisa nyengir, "maksudnya Lang. Ini masih jam 9, masih siang." jawabnya.
"Nginep aja yuk pak. Angin malem ngga baik buat bapak, nanti kalo bapak ada yang culik gimana?" bujuk Ceren seperti membujuk bocah yang justru mendapatkan cebikan bapak, "ealah. Nggayamu angin malem ndak baik. Biasanya juga kalo bapak pulang malem yang ditanyain malah martabak...diculik, kamu kira bapakmu iki sultan, nduk...wes lah. Bapak mau pulang, kasian pak Jarwo sudah nunggu," tunjuknya. Dan demi apa? Jika sedang bersama Ceren dan pak Harun, Gilang lebih banyak tertawa dan tersenyum dengan tingkah dan ocehan sepasang bapak-anak itu.
"Nduk," kini sorot mata tua itu serius memandang cantiknya Ceren, dipegang kedua pundak Ceren, "berbaktilah pada suamimu. Meski diawali dengan ketidaknormalan, namun pernikahan itu bukan untuk dipermainkan."
Ceren tak menjawab ia lebih sibuk menatap bapaknya nanar, ingin pulang!
Dan sosok bapak kini semakin menjauh ditelan malam.
"Mau gabung sama bapak, ibu, mas Hilman atau mau bersihin dulu perintilan make up? Yuk ke kamar..." ajaknya, kemudian Ceren langsung menahan ajakan Gilang barang sejenak, "apa? Kamar?! Maksudnya kita sekamar, Lang?!"
Go to the hell, Lang!!!
.
.
.
.
.
happy ending buat pasangan mas bodo dan cerenia, happy selalu bersama keluarga...makasih mbk sin, udah bikin novel yg greget kayak maa bodo
next, going to the next novel, gio adik bontotnya mas tama ya
kopi sudah otewe ya..