Di tengah dunia magis Forgotten Realm, seorang pemuda bernama Arlen Whiteclaw menemukan takdir yang tersembunyi dalam dirinya. Ia adalah Pemegang Cahaya, pewaris kekuatan kuno yang mampu melawan kegelapan. Bersama sahabatnya, Eira dan Thorne, Arlen harus menghadapi Lord Malakar, penyihir hitam yang ingin menaklukkan dunia dengan kekuatan kegelapan. Dalam perjalanan yang penuh dengan pertempuran, pengkhianatan, dan pengorbanan, Arlen harus memutuskan apakah ia siap untuk mengorbankan segalanya demi kedamaian atau tenggelam dalam kegelapan yang mengancam seluruh Forgotten Realm.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara dari Kegelapan
Arlen berdiri kaku di tempatnya, perasaan antara terkejut dan tidak percaya membuatnya bingung. Di antara semua bisikan yang kacau, ada satu suara yang begitu jelas, begitu akrab, hingga ia hampir yakin itu nyata. Itu suara Eira, lembut namun memanggil namanya dengan penuh desakan.
“Arlen… tolong aku…”
Arlen menoleh ke sekeliling, menatap Finn dengan mata melebar. “Kau… kau mendengar itu?” tanya Arlen, suaranya bergetar.
Finn menatapnya dengan ragu. “Mendengar apa, Arlen? Aku hanya mendengar suara bisikan-bisikan aneh itu…”
“Itu suara Eira,” bisik Arlen, tidak yakin apakah itu benar-benar nyata atau hanya imajinasi yang disebabkan oleh kelelahan dan tekanan yang ia alami.
Erland yang memperhatikan reaksi Arlen menghela napas panjang. “Jangan biarkan suara itu menipu pikiranmu, Arlen. Ini adalah ujian yang diciptakan oleh gua ini untuk menguji ketabahan hati kalian. Suara yang kalian dengar adalah bayangan dari ingatan kalian sendiri.”
“Tapi itu terlalu nyata… terlalu jelas,” gumam Arlen sambil menatap Erland dengan tatapan penuh harap, seolah menunggu jawaban yang akan menenangkan hatinya.
“Itulah cara gua ini bekerja. Ia memanfaatkan apa yang paling kalian rindukan dan apa yang paling kalian takuti. Eira memang telah pergi, Arlen. Jangan biarkan kenangan itu mengikat langkahmu di sini,” jelas Erland dengan nada dingin, namun penuh kewaspadaan.
Meski hati kecilnya ingin percaya pada Erland, Arlen tak dapat begitu saja mengabaikan suara itu. “Jika benar ini hanya bayangan… mengapa suara Eira terasa begitu mendesak? Seperti ada yang tidak beres?”
Finn menepuk bahu Arlen, mencoba membawanya kembali pada kenyataan. “Arlen, kita harus fokus. Jangan biarkan bisikan itu mempengaruhi pikiranmu. Jika kita tersesat di sini, kita tidak akan pernah sampai ke Kuil Cahaya.”
Arlen menutup matanya, berusaha menenangkan diri, tapi suara Eira kembali terdengar, kali ini lebih lemah. “Arlen… aku butuh bantuanmu…”
Meski logikanya menolak untuk percaya, hati Arlen tidak bisa membiarkannya begitu saja. Tiba-tiba, tanpa bisa dikendalikan, kakinya melangkah maju menuju sumber suara itu, menembus kegelapan yang semakin pekat.
“Arlen! Kau mau ke mana?” Finn berusaha menariknya kembali, tetapi Arlen bergerak semakin cepat, seperti ada kekuatan tak terlihat yang memandunya.
“Arlen, hentikan! Jangan biarkan dirimu terjebak oleh ilusi!” seru Erland, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.
Namun, Arlen sudah tak lagi mendengar peringatan mereka. Di dalam hatinya, hanya ada suara Eira yang terus memanggilnya. Hatinya yakin, jika suara itu benar-benar ilusi, mengapa terasa begitu nyata? Mengapa ia merasa begitu yakin bahwa Eira benar-benar membutuhkan bantuannya?
Finn menatap Erland dengan cemas. “Kita harus menghentikannya, Erland! Jika dia terus seperti ini, dia bisa tersesat dan tidak pernah kembali.”
Erland menggeleng perlahan. “Ini adalah bagian dari ujiannya, Finn. Setiap orang yang masuk ke dalam gua ini harus menghadapi kegelapan yang ada di dalam hati mereka sendiri. Arlen harus membuat pilihan apakah ia akan terus memburu ilusi itu atau tetap pada jalannya.”
Finn merasa putus asa, tetapi tidak ingin meninggalkan sahabatnya begitu saja. “Aku tidak bisa membiarkannya sendirian. Jika Arlen masuk ke dalam kegelapan itu, maka aku akan ikut bersamanya.”
Erland menatap Finn dengan pandangan penuh penghargaan. “Kau tahu risikonya, Finn. Jika kau mengikutinya, kau juga bisa tersesat dalam ilusi ini. Apakah kau yakin?”
Finn mengangguk mantap. “Arlen adalah sahabatku. Jika ia terjatuh, aku akan berusaha mengangkatnya kembali, apa pun yang terjadi.”
Erland tersenyum tipis. “Baiklah, tetapi ingatlah untuk menjaga pikiranmu tetap jernih. Jangan biarkan ilusi ini menguasai dirimu.”
Finn bergegas mengikuti Arlen yang sudah semakin jauh di depan, memasuki kegelapan yang seakan menghisap setiap jejak cahaya. Dalam kegelapan yang mencekam itu, Finn berusaha tetap fokus, memanggil-manggil nama Arlen dengan nada penuh harapan.
“Arlen! Kembali! Ini hanya jebakan!” seru Finn, tetapi sahabatnya tidak menoleh sedikit pun.
Arlen, yang sudah semakin jauh, kini berada di tengah kegelapan yang benar-benar pekat. Di depannya, bayangan samar Eira tampak melayang, wajahnya pucat dan dipenuhi kesedihan.
“Arlen, kau tidak boleh meninggalkanku,” kata bayangan itu, suaranya lemah namun penuh perasaan.
“Aku di sini, Eira! Aku tidak akan membiarkanmu sendirian,” sahut Arlen, berjalan semakin dekat ke arah bayangan itu.
Tiba-tiba, bayangan Eira berubah menjadi lebih jelas, seakan hidup di depannya. Namun, tepat saat ia hendak menyentuh bayangan itu, bayangan Eira tersenyum aneh, senyuman yang begitu asing dan membuat bulu kuduk Arlen meremang.
“Arlen, kau telah datang terlalu jauh… Sekarang kau akan menjadi bagian dari kami,” ucap bayangan itu dengan suara yang berubah dingin dan menakutkan.
Arlen tersentak mundur, merasa ada yang salah. Bayangan itu bukan Eira. Wajahnya berubah-ubah, dari Eira menjadi wajah lain yang tak dikenal, penuh kebencian dan kegelapan. Ketika ia menyadari hal itu, tiba-tiba kegelapan di sekelilingnya mulai melilit tubuhnya, menjerat dan menariknya ke dalam.
Finn tiba tepat waktu, menerjang kegelapan yang mengikat Arlen dan berteriak. “Arlen, itu bukan Eira! Sadarlah!”
Dengan seluruh kekuatannya, Finn menarik Arlen keluar dari jeratan bayangan yang mengerikan itu. Arlen terengah-engah, matanya terbuka lebar penuh ketakutan dan kebingungan. “Finn… aku…”
“Kau hampir tersesat, Arlen,” ucap Finn lega, masih memegangi Arlen erat-erat. “Itu hanya ilusi.”
Arlen mengangguk, berusaha menenangkan diri. “Aku… aku kira itu Eira. Rasanya terlalu nyata…”
Erland, yang kini berdiri di depan mereka, mengangguk pelan. “Itulah kekuatan dari gua ini. Ia menguji keyakinan dan ketabahan hati. Kalian hampir jatuh dalam jebakannya, tetapi keberanian dan persahabatan kalian menyelamatkan kalian.”
Arlen merasa jantungnya masih berdetak kencang. Namun, ada perasaan lega yang tak terlukiskan. Ia menyadari bahwa selama ini, ia membiarkan rasa kehilangan dan rasa bersalah terhadap Eira membutakan dirinya.
“Kau benar, Erland,” ucap Arlen dengan suara pelan namun mantap. “Aku harus merelakan Eira. Pengorbanannya tidak boleh sia-sia.”
Erland tersenyum tipis. “Itu adalah langkah pertama menuju kekuatan sejati. Kuil Cahaya tidak hanya membutuhkan kekuatan fisik, tetapi juga hati yang bebas dari bayang-bayang.”
Mereka kembali melangkah menyusuri gua dengan perasaan lega, tetapi kewaspadaan mereka kini meningkat. Suara bisikan dari kegelapan masih terdengar samar-samar, seakan menunggu kelemahan berikutnya yang bisa dieksploitasi. Namun, setelah apa yang baru saja terjadi, Arlen merasa lebih siap. Keputusannya untuk melepaskan bayangan Eira dari hatinya memberinya kekuatan baru, suatu keyakinan bahwa yang ia perjuangkan jauh lebih besar daripada perasaan bersalahnya.
Finn melirik sahabatnya sambil tersenyum tipis. “Kau baik-baik saja sekarang, Arlen?”
Arlen mengangguk mantap. “Aku baik, Finn. Terima kasih karena tidak meninggalkanku.”
Mereka terus berjalan hingga tiba di sebuah persimpangan yang di depannya berdiri sebuah patung besar. Patung itu berwujud penjaga dengan pedang terhunus, mata patung tersebut seolah mengawasi mereka. Erland melangkah maju, berhenti sejenak, dan menatap kedua pemuda itu.
“Di sini, kalian akan menghadapi ujian terakhir dari gua ini. Ujian yang menentukan apakah kalian layak melanjutkan perjalanan menuju Kuil Cahaya,” jelas Erland.
Arlen dan Finn bertukar pandang, merasakan ketegangan di udara. Tetapi kini mereka tidak lagi gentar, siap untuk menghadapi tantangan apa pun yang menghadang.
“Tantangan ini bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga soal keberanian dan ketulusan hati,” lanjut Erland dengan nada yang terdengar lebih tegas.
Arlen dan Finn yang berdiri tegak, siap menghadap ujian terakhir dari gua ini. Wajah mereka menampilkan tekad yang tak tergoyahkan, sementara patung penjaga di depan mereka tampak mulai bergerak perlahan, seakan hidup, mempersiapkan diri untuk menguji mereka dengan kekuatan yang jauh lebih besar daripada apa pun yang pernah mereka hadapi.