“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Syanas menghembuskan napas panjang, menahan rasa frustrasi yang membuncah di dadanya. Perdebatan itu tidak membawa apa-apa selain membuatnya merasa kehabisan tenaga.
Dengan langkah berat, ia berjalan menuju balkon yang terhubung dengan kamar Kahfi, tidak lagi memedulikan tatapan tajam suaminya yang masih tertuju padanya.
“Ganti baju dulu sebelum keluar,” suara Kahfi terdengar dingin, menusuk telinganya. Nada suaranya tegas, seolah memberi perintah yang tidak bisa ditawar.
Syanas berhenti sejenak di ambang pintu balkon, menoleh sekilas dengan pandangan penuh kebencian. Namun, ia terlalu lelah untuk melawan lebih jauh.
Dengan malas Syanas mengambil dress muslimah yang tadi ia kenakan dari atas ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, Syanas melepaskan pakaiannya dengan gerakan cepat dan kasar, seolah ingin menghilangkan semua beban yang ia rasakan.
Ia berdiri di bawah pancuran, membiarkan air mengalir deras membasahi tubuhnya. Namun, air dingin itu tidak mampu meredakan panas yang membakar hatinya.
Air matanya mulai mengalir, perlahan tapi pasti. Awalnya hanya tetesan kecil, namun segera berubah menjadi tangisan yang tersedu-sedu. Ia memeluk tubuhnya sendiri, mencoba menahan rasa sakit yang kini memenuhi dirinya.
Hidupnya benar-benar seperti di dalam neraka. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari dalam benaknya, seperti sebuah pengakuan yang selama ini ia tahan.
Ia teringat kehidupannya sebelum semua ini terjadi. Kebebasannya, pekerjaannya, dan kehidupannya yang penuh dengan berbagai macam masalah.
Namun sekarang, semua itu terasa semakin menyulitkan hidupnya. Seolah terkubur di bawah aturan-aturan yang tidak pernah ia pilih.
Di balik pintu kamar mandi, Kahfi berdiri diam. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada sesuatu yang bergerak di dalam hatinya saat ia mendengar suara air yang mengalir tanpa henti.
Mungkin Syanas menangis, pikirnya, tapi ia memilih untuk tidak mengetuk pintu. Baginya ini adalah harga yang harus dibayar Syanas untuk memahami apa yang ia anggap benar.
Namun, di dalam kamar mandi, Syanas tidak merasa dirinya belajar apa pun. Yang ia rasakan hanyalah kehilangan, kehilangan dirinya, hidupnya, dan impiannya.
Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya-tanya apakah ia benar-benar sanggup bertahan di dalam pernikahan ini. Sudah tentu jawabannya ia tidak bisa bertahan. Ia tidak ingin terus-menerus di kekang.
Setelah lama di kamar mandi. Akhirnya Syanas keluar dari kamar mandi dengan wajah basah yang ia lap perlahan dengan ujung lengan dress muslimah yang kini melekat di tubuhnya.
Udara dingin dari AC kamar langsung menyentuh kulitnya, membuatnya sedikit menggigil. Suasana kamar yang sunyi terasa begitu menekan, tapi setidaknya untuk sementara ia tidak perlu melihat wajah Kahfi. Ia menghela napas berat, matanya menelusuri ruangan itu.
Kahfi memang tidak lagi ada di sana. Namun, saat ia mencoba mencari ponsel yang memang masih di pegang Kahfi, benda itu tidak sama sekali di kembalikan.
Seketika pikirannya berputar. Kahfi pasti tidak ingin lagi mengembalikan ponselnya yang penuh dengan kenangan, pekerjaan, dan tentunya menjadi teman di mana tempat ia bisa menuangkan waktunya.
Amarah mulai merayapi dadanya, tapi ia mencoba untuk tidak panik. Ia memeriksa setiap sudut kamar, meski ia tahu itu sia-sia. Ponselnya jelas sudah disita oleh Kahfi, dan Syanas tahu, Kahfi tidak akan mengembalikan ponselnya lagi.
“Dasar sok penguasa,” desisnya dengan nada tajam, tangannya mengepal di samping tubuh. “Nggak cukup nyita hidup gue, sekarang nyita ponsel gue juga?”
Matanya kemudian beralih ke tas yang masih tergeletak di meja dekat rak buku. Ia membuka resleting tas itu dengan kasar dan memeriksa isinya.
ATM dan sejumlah uang tunai masih ada di dalam sana. Syanas menarik napas lega. Setidaknya Kahfi tidak mengambil semuanya. Itu sudah cukup untuk menyusun rencana barunya.
Syanas berjalan ke arah balkon, membuka pintu gesernya dengan hati-hati. Udara luar terasa hangat dibandingkan dengan dinginnya ruangan itu.
Dari balkon Syanas bisa melihat pagar tinggi yang mengelilingi pesantren. Pagar itu terlihat cukup dekat dengan balkon kamar, hanya beberapa meter saja. Jika ia bisa turun dari balkon ini, maka ia akan langsung mencapai jalan keluar.
Mata Syanas menyipit, otaknya mulai bekerja lebih cepat. Ia kembali masuk ke kamar, mengumpulkan beberapa kain panjang yang ia temukan, termasuk pakaian-pakaian yang ada di dalam tasnya.
Dengan tangan yang cekatan, ia mulai mengikat kain-kain itu menjadi sebuah tali panjang. Setiap simpul ia periksa dengan teliti, memastikan kekuatannya cukup untuk menopang tubuhnya.
Setelah selesai Syanas kembali ke balkon dan mengaitkan tali kain itu ke salah satu tiang balkon yang kokoh. Ia menariknya beberapa kali untuk memastikan talinya tidak akan lepas. Lalu dengan napas yang memburu Syanas melemparkan tas kecilnya ke bawah. Tas itu jatuh dengan bunyi pelan di rerumputan.
Syanas menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada siapa pun di sekitar. Pesantren tampak sepi, hanya suara orang yang sepertinya sedang melaksanakan shalat zuhur, dan suara itu terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Ini adalah kesempatan emas bagi Syanas.
Syanas mulai menuruni tali kain itu perlahan. Kedua tangannya mencengkeram erat, sementara kakinya mencari pijakan di dinding. Keringat mulai membasahi dahinya, bukan karena udara panas, tapi karena rasa tegang.
Setiap gesekan kain dengan tangannya terasa perih, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin keluar dari tempat ini.
Ketika ia hampir mencapai tanah, sebuah suara dari kejauhan membuatnya terhenti. Namun, tidak lama suara itu hilang menjauh.
Syanas menoleh dengan panik tapi ia bernapas sedikit lega, ia juga tidak bisa berhenti sekarang. Dengan sisa tenaga, Syanas melompat dari beberapa meter terakhir. Kakinya mendarat di tanah dengan sedikit hentakan, membuat pergelangannya terasa nyeri.
Syanas meraih tasnya dengan cepat dan berlari tanpa menoleh ke belakang. Langkah kakinya semakin cepat, meninggalkan pesantren yang terasa seperti penjara baginya.
Hatinya berdebar keras, sebagian karena takut, sebagian lagi karena merasa lega, akhirnya ia bebas.
Dengan napas memburu Syanas terus berjalan menyusuri jalan kecil yang sepi di luar pesantren. Kakinya terasa berat, tapi ia tidak berhenti.
Tatapannya terpaku ke depan, mencari apa saja yang bisa membawanya pergi lebih jauh dari tempat itu.
Beberapa meter dari tikungan jalan, ia melihat seorang pria tua duduk di atas motor tua dengan helm di kepalanya. Sebuah papan kecil bertuliskan ojek pengkolan tergantung di tiang kecil di dekatnya. Lelaki itu tampak santai, membaca koran yang diletakkan di atas setang motor.
Syanas mendekat dengan cepat, meskipun rasa lelah mulai menguasai tubuhnya. “Pak bisa nganterin aku?” tanyanya langsung tanpa basa-basi. Suaranya terdengar serak, tanda kelelahan yang ia alami.
Lelaki itu mengangkat wajahnya memandang Syanas dari atas ke bawah dengan raut penasaran. “Mau ke mana Mbak?” tanyanya ramah meski ada sedikit nada curiga di suaranya. “Dari pesantren ya?”
Syanas mengangguk cepat, tidak ingin memperpanjang pembicaraan. “Iya, tapi aku mau keluar dari sini Pak, ada kerjaan mendadak banget takut telat. Tolong antar aku ke kota. Berapa pun biayanya aku bayar,” ucapnya sambil melihat lingkungan sekitarnya.
Melihat kesungguhan di mata Syanas, lelaki itu akhirnya mengangguk. “Baik Mbak,” ucapnya percaya sambil merapikan koran dan menyimpannya di kantong samping motornya.
Syanas semakin lega dengan lelaki itu menyalakan motor tua yang mengeluarkan suara berisik, dan Syanas segera naik ke jok belakang. “Pegangan yang kuat ya Mbak,” ucapnya sebelum menarik gas, motor melaju meninggalkan pengkolan kecil itu.
“Iya Pak,” jawab Syanas mantap sambil memandang ke belakang, melihat bayangan pagar pesantren yang semakin mengecil di kejauhan.
Di dalam hatinya ada rasa lega yang tak terhingga sekaligus ketakutan. Apa Kahfi akan mencarinya? Sudah jelas Syanas yakin ia tidak akan ditemukan Kahfi lagi.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..