Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.
Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Suasana di Taman Kota Singaraja siang itu menjadi semakin ramai karena kedatangan Pasukan Badung. Indra mempersilahkan mereka untuk beristirahat di sekitar taman sembari menunggu prajurit Monasphatika membongkar barikade pada benteng yang baru saja selesai dibangun. Barikade itu harus disingkirkan agar Pasukan Badung bisa melanjutkan perjalanan mereka menuju Karangasem.
Di dalam Aula Taman Kota Singaraja, suasana serius terasa begitu kental. Para petinggi dari kedua belah pihak saat ini sedang duduk berhadapan untuk membahas rencana penyerangan Pasukan Badung ke Karangasem dari arah barat. Aryandra, sebagai perwakilan Pasukan Badung, menjelaskan rencana itu kepada para petinggi Monasphatika yang mendengarkan dengan seksama.
Setelah penjelasan Aryandra usai, dengan naluri dan kecerdasannya, Indra berhasil menemukan celah kelemahan dalam rencana itu. Matanya menyipit, menandakan ia sedang memikirkan sesuatu yang serius. "Meskipun kalian berencana melemahkan pertahanan Karangasem dengan memicu perang di selatan," ujarnya tenang namun tegas, "tidak ada yang tahu seberapa besar kekuatan tempur mereka sebenarnya. Bagaimana jika mereka masih memiliki sisa pasukan yang jauh lebih besar dari yang kalian perkirakan?"
Aryandra terdiam sejenak dengan wajah termenung karena baru menyadari kelemahan dalam rencananya sendiri. Indra menghela napas panjang, lalu melontarkan celetukan pedas yang membuat suasana menjadi tegang. "Hadeh, kau ini emang tolol, ya." Ucapnya dengan nada datar, namun menusuk.
Mendengar hujatan itu, Alex langsung naik pitam. "Oi, nggak perlu sampai ngejek gitu, bangsat!" Teriaknya menggelegar memenuhi ruangan.
Luthfi yang menyadari suasana semakin memanas segera melerai. "Oi, Hulk Albino, jangan marah dulu, dong. Indra di sini nyoba nyelamatin pantat kalian, tau!" Ucapnya dengan nada bercanda, mencoba meredakan ketegangan.
Indra, yang tak tahan dengan kegaduhan itu, segera menepuk tangannya keras-keras. "Baiklah, cukup dulu ribut-ributnya." Suaranya yang tenang berhasil membuat seluruh ruangan kembali hening. Setelah menarik napas dalam, Indra mengumumkan sesuatu yang membuat semua orang terkejut. "Baiklah, kalau begitu, aku putuskan bahwa Monasphatika akan ikut berperang bersama kalian."
Suasana aula mendadak berubah. Semua orang memandangi Indra dengan mata terbelalak, termasuk Aryandra. "Kenapa kau ingin ikut bersama kami?" Tanyanya penuh keheranan.
Indra menatapnya dengan tatapan serius. "Jujur saja, rencana kalian itu bisa jadi bencana bagi Buleleng jika gagal. Karena itu, demi keselamatan masyarakat di sini, aku memutuskan untuk ikut." Ucapnya serius dan penuh ketulusan.
Luthfi dan beberapa anggota Monasphatika yang hadir tersenyum lega sambil mengangguk setuju. Namun, Kiara yang duduk tepat di sebelah Indra, terlihat muram mengisyaratkan ketidaksetujuannya.
Indra segera menangkap ekspresi Kiara yang terlihat tidak senang dengan keputusannya. "Kiara, kalau kau nggak mau ikut, nggak apa-apa, kok. Kau bisa tinggal di sini dan menjaga wilayah kita." Bisiknya dengan lembut.
Kiara menatapnya tajam dengan mata yang berapi-api. "Lalu membiarkan Luthfi pulang babak belur atau bahkan mati di sana? No way!" Jawabnya tegas tanpa ragu.
Indra terkejut akan jawaban Kiara yang tidak terduga. Akan tetapi, ia segera mengalihkan topiknya karena Kiara terlihat tersipu setelah mengatakan kalimat itu secara spontan. "Baiklah, sekali lagi, aku putuskan bahwa Monasphatika akan ikut bersama Pasukan Badung untuk melawan Karangasem!"
Suara gemuruh seketika memenuhi ruangan saat anggota Monasphatika mengepalkan tangan ke atas sambil bersorak penuh semangat. Aryandra tersenyum penuh rasa syukur yang terpancar dari matanya. "Terima kasih banyak, semuanya." Ucapnya dengan tulus.
...***...
Setelah menerima laporan bahwa barikadenya telah selesai dibongkar, Pasukan Monasphatika dan Pasukan Badung segera berkumpul untuk membentuk barisan rapi di lapangan Taman Kota Singaraja. Ekspresi wajah mereka terlihat serius dan garang, seolah sudah siap untuk menghadapi musuh di Karangasem. Semangat para prajurit yang membara terasa menghangatkan udara musim dingin yang menusuk tulang.
Di atas podium, Indra dan Aryandra berdiri tegak, memandang pasukan mereka dengan tatapan yang penuh wibawa. Dengan suara lantang dan jelas, Indra mulai memberikan instruksi kepada seluruh pasukan yang ada di hadapannya.
"Rekan-rekan sekalian, sebelum kita berangkat menuju Karangasem, ada sedikit perubahan rencana yang ingin kusampaikan." Ujar Indra dengan pandangan yang menyapu setiap wajah di hadapannya.
"Kalian semua tidak diizinkan untuk langsung menyerbu dan berhadapan dengan Pasukan Karangasem. Sebaliknya, kalian akan diperintahkan untuk menunggu di tempat yang aman terlebih dahulu. Kalian hanya boleh menyerbu Karangasem begitu melihat sinyal berupa tiga tembakan panah api ke langit. Maka dari itu, aku, Luthfi, Kiara, dan Aryandra akan menyusup terlebih dahulu untuk memeriksa keadaan di wilayah musuh, sekaligus memicu kerusuhan di sana." Jelas Indra dengan lantang.
Seluruh pasukan yang mendengar penjelasan Indra kemudian berbisik satu sama lain. Wajah-wajah mereka terlihat bingung dan penuh tanda tanya. Indra lalu mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat untuk diam.
Setelah semuanya kondusif, ia melanjutkan penjelasannya lagi. "Strategi ini bertujuan untuk meminimalisir kegagalan dan korban jiwa di pihak kita. Dengan menimbulkan kerusuhan di dalam wilayah musuh, kita bisa melumpuhkan mereka dengan lebih mudah dan mengurangi risiko kehilangan prajurit."
Pasukan Monasphatika dan Pasukan Badung mengangguk perlahan sebagai tanda bahwa mereka telah memahami alasan di balik strategi ini. Indra melanjutkan penjelasannya dengan suara yang semakin tegas. "Maka dari itu, aku tekankan sekali lagi bahwa kalian akan menunggu di tempat yang aman terlebih dahulu. Kalian hanya boleh menyerang setelah melihat tiga tembakan panah api ke langit. Hanya aku, Luthfi, Kiara, dan Aryandra yang boleh masuk lebih dulu untuk menyusup ke wilayah musuh. Semuanya Jelas?"
"Siap, jelas!" Sahut seluruh pasukan serentak dengan suara yang menggema di lapangan.
Setelah Indra selesai, giliran Aryandra yang maju untuk menyampaikan instruksinya. "Sebagai tambahan, tolong diingat bahwa misi ini bukan hanya tentang mengalahkan musuh. Kita juga harus menyelamatkan Sekar yang telah diculik oleh Pasukan Karangasem. Jika kalian menemukannya di wilayah musuh, segera bawa dia ke tempat yang aman." Himbaunya dengan suara lantang.
Indra lalu mendekati Aryandra untuk membisikkan sesuatu ke telinganya. "Pst, aku dan pasukanku nggak kenal sama si Sekar ini. Tolong sampaikan juga ciri-ciri lengkapnya, ya."
Aryandra tersentak karena baru menyadari hal itu. "Ah, benar." Celetuknya lirih. Ia lalu menghadap ke barisan Monasphatika untuk memberikan mereka penjelasan tentang Sekar. "Sebagai informasi bagi rekan-rekan Monasphatika, Sekar merupakan seorang ahli strategi milik Aliansi. Ciri-cirinya adalah memiliki tinggi sekitar 160 centimeter, telinganya menggunakan anting-anting yang unik, dan rambutnya dikepang berhiaskan untaian bunga."
Indra mengangguk, lalu menatap pasukannya. "Bagaimana, semuanya jelas?"
"Siap, jelas!" Balas Pasukan Monasphatika dengan kompak.
"Baiklah, semuanya, menuju Karangasem!" Seru Aryandra penuh semangat.
Sebelum menyusul rombongan pasukannya, Indra pergi menghampiri Azmi dan beberapa prajurit Monasphatika yang tidak ikut ke medan perang. Wajahnya terlihat serius, namun ada sebuah kehangatan dalam tatapannya. "Azmi, aku titip pasukanku dan seluruh kota Singaraja kepadamu. Aku mohon tutup kembali barikade bentengnya dan jangan buka sebelum aku pulang."
Azmi menjabat tangan Indra dengan erat, menambah kesan yang mendalam pada perpisahan mereka. "Baiklah, serahkan padaku!"
Indra lalu menoleh ke arah pasukannya yang ditugaskan untuk menjaga kota selama ia pergi berperang. "Semua, aku titip Singaraja kepada kalian!"
"Siap, serahkan pada kami!" Balas mereka serentak sambil memberikan hormat kepada Indra.
...***...
Di sisi selatan Pulau Bali, langit tampak memerah oleh kobaran api yang melahap hutan. Asap tebal mengepul, menutupi cahaya matahari yang seharusnya menerangi sore itu. Di tengah kekacauan, Aditya dan Wibisana memacu kuda mereka dengan cepat sambil menghindari jatuhan ranting-ranting yang terbakar. Suara jeritan dan teriakan Pasukan Karangasem yang terjebak dalam kobaran api menciptakan suasana yang mencekam.
Pada pertempuran ini, Karangasem dibuat kewalahan karena Pasukan Aliansi membakar hutan yang menjadi tempat persembunyian mereka. Taktik perang ini diusulkan oleh Aditya, sang pemimpin Pasukan Bangli. Meski metodenya sangat melenceng dari etika perang yang selama ini mereka pegang, sebagian besar pasukan Aliansi justru mendukungnya dengan sepenuh hati.
Di sisi lain, Wibisana yang merasa taktik ini menyimpang dari prinsip Aliasi, tak bisa menahan diri untuk mempertanyakan tindakan mereka. "Aditya, apakah taktik berperangmu ini dibenarkan?" Tanyanya sambil menutup hidung dengan handuk basah untuk melindungi diri dari asap yang menyengat.
Aditya menoleh Wibisana dengan mata yang berkilau oleh pantulan api. "Tentu saja ini dibenarkan." Jawabnya dengan nada dingin. "Kita sedang melawan sekelompok orang barbar. Mereka tidak pantas diperlakukan dengan etika perang."
Wibisana lalu memandangi sekelilingnya. Hutan yang dulunya hijau dan rimbun kini berubah menjadi lautan api bak neraka. Mayat-mayat Pasukan Karangasem hangus berserakan oleh panas yang tak tertahankan. Bau daging yang terbakar menusuk hidung hingga membuatnya hampir merasa mual. "Ini terlalu jauh, Aditya." Gumamnya pelan hampir tenggelam oleh deru api.
Aditya mengabaikan kegelisahan Wibisana. "Setelah ini, kita akan kembali ke kamp." Ujarnya dengan suara tegas. "Kita akan menanam peledak di beberapa titik pertempuran lain pada dini hari nanti." Tambahnya dengan nada yang dingin.
Wibisana menghela napas dengan mata yang masih tertuju pada kehancuran di sekelilingnya. "Aryandra pasti tidak menyukai cara ini." Ucapnya dengan rasa penyesalan yang tersirat.
Aditya terdiam sejenak dengan wajah yang menampakkan sedikit keraguan. Namun, ia segera mengabaikan perasaannya itu. "Yah, sayangnya aku tidak sebaik orang itu." Ujarnya datar, namun dibaliknya penuh dengan emosi yang bercampur.
...***...
Saat tiba di kamp milik Aliansi pada malam hari, pemandangan yang menyambut Aditya dan Wibisana sungguh memilukan. Kamp yang biasanya dipenuhi semangat kini berubah menjadi tempat penderitaan. Suara erangan kesakitan memenuhi udara, dibarengi dengan aroma obat-obatan yang menyengat. Para prajurit yang terluka berbaring di atas tikar dengan wajah yang pucat dan berkeringat dingin. Beberapa di antaranya ada yang kehilangan anggota tubuh, sementara yang lain hanya bisa menahan tangis saat luka mereka diobati.
"Kondisi mereka mengerikan sekali." Gumam Wibisana prihatin. Matanya menyapu sekeliling untuk menangkap setiap detail penderitaan yang dialami oleh pasukan Aliansi.
Aditya, yang menunggangi kuda di sampingnya, hanya mengangguk dingin. "Iya, karena itu lah kita tidak perlu menahan diri saat melawan musuh." Jawabnya tegas dengan emosi yang berkecamuk.
Saat matanya menangkap salah seorang prajurit yang mondar-mandir dengan panik, Aditya segera memanggilnya. "Hei, kemarilah!" Panggilnya dengan lantang. Prajurit itu segera mendekat, lalu berdiri tegak dengan sikap yang siap menerima perintah. "Aku minta kau beritahu semua ketua regu untuk berkumpul di tendaku. Kita akan segera mengadakan rapat." Perintah Aditya dengan nada penuh otoritas.
"Siap, laksanakan!" Jawab prajurit itu, lalu bergegas pergi.
Hanya dalam 20 menit, seluruh ketua regu telah berkumpul di dalam tenda Aditya. Sepuluh orang duduk bersila di atas tikar dengan wajah yang penuh rasa lelah. Aditya dan Wibisana duduk di tengah, menjadi pusat perhatian.
Tanpa basa-basi, Aditya langsung memulai rapat. "Sebagai langkah lanjutan dari operasi ini, aku minta tiga regu di antara kalian untuk ikut bersamaku ke Klungkung." Ujarnya dengan suara yang tenang, namun tegas. "Aku berencana untuk merebut wilayah itu kembali dari Karangasem. Setelah kita berhasil, aku minta dua regu lagi untuk ikut menyerang di wilayah perbatasan Klungkung dan Karangasem." Lanjutnya dengan nada yang semakin tegas.
Suasana tenda mendadak tegang. Semua mata tertuju pada Aditya dengan penuh keheranan dan ketidakpercayaan.
"Bagaimana kita bisa merebut wilayah itu hanya dengan tiga regu saja?" Protes salah satu ketua regu dengan penuh keraguan.
"Benar, banyak pasukan kita sedang dalam pemulihan setelah pertempuran tadi!" Tambah yang lain dengan nada yang meninggi.
"Rencana Anda terlalu berisiko, Aditya!" Sergah ketua regu lainnya.
Wibisana, yang selama ini diam, akhirnya ikut angkat bicara. "Aditya, rencanamu ini juga akan semakin merugikan Klungkung yang sudah porak-poranda. Kita harus memikirkan cara lain." Ujarnya penuh keprihatinan.
Aditya yang kesal langsung memukul meja lesehan yang ada di hadapannya hingga terbelah menjadi dua. Matanya berapi-api, dipenuhi dendam dan ambisi yang sudah tak terbendung. "Ikuti saja rencanaku!" Bentaknya menggelegar. "Kali ini, aku tidak akan berperang seperti biasanya. Akan kuandalkan segala cara agar kita bisa menang dan menyelamatkan kakakku!"
Aura Aditya berubah drastis menjadi lebih mengintimidasi. Semua orang di dalam tenda menjadi sunyi karena tak ada yang berani membantah. Wibisana hanya bisa menghela napas, menyadari bahwa Aditya menjadi semakin kejam semenjak insiden penculikan Sekar.