NovelToon NovelToon
Bu Fitri Guru Terbaik

Bu Fitri Guru Terbaik

Status: tamat
Genre:Tamat / Berondong / Bullying di Tempat Kerja / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Wanita Karir / Keluarga / Karir
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Fitriyani Nurjannah adalah seorang guru honorer selama 15 tahun di SMA 2 namun ia tak pernah menyerah untuk memberikan dedikasi yang luar biasa untuk anak didiknya. Satu persatu masalah menerpa bu Fitri di sekolah tempat ia mengajar, apakah pada akhirnya bu Fitri akan menyerah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Drama Kembali Terjadi di Ruang Guru

Fitri dan Dito akhirnya tiba di rumah. Junaida, ibu mertua Fitri, sudah menunggu mereka di ruang tamu. Wajahnya terlihat masam, dan tatapannya sinis.

"Sudah datang rupanya," kata Junaida dengan nada ketus. "Lama sekali. Habis ini mau ke mana lagi? Jangan-jangan mau jalan-jalan dengan teman-temanmu?"

Fitri hanya diam, tidak ingin menanggapi perkataan mertuanya. Ia tahu, apapun yang ia lakukan, selalu saja salah di mata Junaida.

Dito, yang mendengar perkataan ibunya, merasa tidak enak hati. Ia tahu ibunya memang tidak menyukai Fitri.

"Ibu, tolong jangan begitu," kata Dito dengan suara lirih. "Fitri baru saja menjemputku dari rumah sakit. Dia pasti lelah."

"Lelah?" balas Junaida dengan sinis. "Alasan saja kamu ini. Kamu pasti membela istri kesayanganmu itu."

Dito menghela napas panjang. Ia sudah seringkali mencoba untuk berbicara baik-baik dengan ibunya, namun selalu saja berakhir dengan pertengkaran.

"Ibu, Fitri itu istriku," kata Dito dengan suara tegas. "Aku mohon, Ibu jangan mengatakan hal-hal yang tidak baik tentang dia."

Junaida terdiam. Ia tidak menyangka Dito akan berkata seperti itu padanya. Ia merasa sakit hati dan kecewa.

"Kamu sudah berani melawan ibumu sendiri?" kata Junaida dengan nada marah.

"Aku hanya ingin Ibu mengerti," kata Dito. "Fitri adalah wanita yang baik. Dia selalu ada untukku, dalam suka maupun duka."

Junaida menggelengkan kepala. Ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Dito. Menurutnya, Fitri hanya berpura-pura baik di depan Dito.

"Kamu ini sudah dibutakan oleh cinta," kata Junaida dengan nada sinis. "Kamu tidak tahu saja apa yang ada di pikiran Fitri."

Dito terdiam. Ia tidak ingin memperpanjang perdebatan dengan ibunya. Ia tahu, apapun yang ia katakan, ibunya tidak akan pernah mau mendengarkannya.

"Sudahlah, Ibu," kata Dito akhirnya. "Aku mohon, Ibu jangan ikut campur dalam rumah tangga kami."

Junaida mendengus kesal. Ia merasa gagal untuk mempengaruhi Dito. Ia kemudian meninggalkan ruang tamu dengan perasaan marah dan kecewa.

Dito menatap Fitri dengan tatapan penuh kasih sayang. Ia tahu, istrinya itu sudah banyak bersabar menghadapi sikap ibunya.

"Maafkan Ibu, Sayang," kata Dito dengan suara lirih. "Aku janji akan bicara dengannya nanti."

Fitri tersenyum dan mengangguk. Ia tidak ingin Dito memperburuk hubungannya dengan sang ibu. Ia hanya ingin mereka bisa hidup rukun dan damai.

"Tidak apa-apa, Mas," kata Fitri. "Aku sudah biasa. Yang penting sekarang kita sudah di rumah dan bisa istirahat."

Dito memeluk Fitri erat. Ia merasa sangat beruntung memiliki istri yang begitu sabar dan pengertian. Ia berjanji akan selalu menjaga dan melindungi Fitri, apapun yang terjadi.

****

Di ruang guru, Bu Ida, Bu Vivi, dan Bu Nilam berkumpul, membicarakan Fitri yang tidak masuk mengajar hari ini. Mereka bertiga memang selalu mencari celah untuk mengkritik dan menjatuhkan Fitri.

"Lihat itu, Fitri tidak masuk kerja," kata Bu Ida dengan nada sinis, memulai percakapan. "Pasti pura-pura sakit atau ada alasan lain."

"Iya, sok sibuk mengurus suami," timpal Bu Vivi, tidak mau ketinggalan. "Padahal, paling juga hanya cari muka biar dikasihani."

"Tukang drama memang," sahut Bu Nilam, menambahkan. "Suami sakit sedikit saja sudah hebohnya minta ampun. Padahal, banyak juga guru lain yang suaminya sakit, tapi tetap saja masuk kerja."

Bu Ida, yang dikenal paling julid di antara ketiganya, kembali berbicara. "Fitri itu memang munafik," ujarnya dengan nada penuh kebencian. "Di depan orang-orang sok baik, padahal aslinya..."

Bu Ida menggantung kalimatnya, seolah-olah ia tahu rahasia kelam tentang Fitri. Bu Vivi dan Bu Nilam pun menatapnya dengan penasaran, menunggu kelanjutan dari ucapannya.

"Padahal, saya lihat suaminya baik-baik saja," kata Bu Nilam, mencoba mencari celah untuk mengkritik Fitri. "Masa orang sakit masih sempat-sempatnya jalan-jalan ke mall?"

"Mungkin saja itu bukan suaminya," sahut Bu Vivi, mencoba berspekulasi. "Siapa tahu itu selingkuhannya."

Bu Ida tertawa sinis mendengar perkataan Bu Vivi. "Mungkin saja," katanya. "Fitri itu kan memang suka cari sensasi."

Mereka bertiga terus saja bergunjing tentang Fitri, mencari-cari kesalahan dan kekurangan Fitri. Mereka iri dengan Fitri yang selalu terlihat baik di mata siswa dan rekan-rekan guru lainnya.

"Sudahlah, biarkan saja dia dengan segala tingkahnya," kata Bu Ida akhirnya. "Yang penting, kita jangan sampai seperti dia. Kita harus tetap menjadi diri sendiri."

Meskipun demikian, mereka tetap saja terus memperhatikan Fitri. Tatapan mereka penuh dengan rasa iri dan dengki.

Tiba-tiba, Bu Asri yang kebetulan melintas di ruang guru, mendengar percakapan mereka. Ia pun langsung berhenti dan menghampiri mereka.

"Kalian ini kenapa sih selalu saja membicarakan Fitri?" kata Bu Asri dengan nada tegas. "Kalian tidak capek apa menggunjing orang terus?"

****

Di ruang guru, Bu Asri dan Bu Ida serta gengnya, Bu Vivi dan Bu Nilam, terlibat adu argumen sengit. Perdebatan mereka semakin panas, suara mereka meninggi, dan kata-kata yang dilontarkan semakin tajam.

Bu Asri dengan tegas membela Fitri, mengatakan bahwa Fitri adalah orang baik dan tulus. Ia tidak percaya dengan tuduhan Bu Ida dan gengnya yang mengatakan Fitri munafik dan tukang drama.

"Fitri itu orangnya baik, Bu Ida," kata Bu Asri dengan nada tinggi. "Dia tidak pernah berbuat salah pada kalian. Kenapa kalian selalu saja mencari-cari kesalahannya?"

"Alah, sok baik dia itu," balas Bu Ida dengan sinis. "Semua juga tahu kalau dia itu cuma cari muka saja."

"Iya, dia itu tukang drama," timpal Bu Vivi. "Semua yang dia lakukan hanya untuk mencari perhatian."

"Dia itu munafik," sahut Bu Nilam. "Di depan kita saja dia sok ramah, padahal aslinya..."

Bu Nilam menggantung kalimatnya, seolah-olah ia tahu rahasia kelam tentang Fitri. Bu Asri menatapnya dengan tatapan tajam, menunggu kelanjutan dari ucapannya.

"Sudahlah, tidak usah dibahas lagi," kata Bu Ida dengan nada merendahkan. "Semua orang juga sudah tahu kok bagaimana aslinya Fitri itu."

Bu Asri tidak terima dengan perkataan Bu Ida. Ia merasa geram dengan sikap ketiga guru senior itu yang selalu saja berburuk sangka pada Fitri.

"Kalian ini sudah keterlaluan!" bentak Bu Asri dengan suara keras. "Kalian sudah menyakiti hati Fitri dengan perkataan kalian yang tidak benar itu!"

Bu Ida, Bu Vivi, dan Bu Nilam terkejut mendengar bentakan Bu Asri. Mereka tidak menyangka Bu Asri akan semarah itu.

"Kami hanya menyampaikan apa adanya, Bu," jawab Bu Ida dengan nada sinis. "Kami tidak suka dengan sikapnya yang sok baik itu."

"Sok baik?" balas Bu Asri dengan nada tinggi. "Kalian ini yang sok tahu. Kalian tidak pernah tahu bagaimana perjuangan Fitri dalam menghadapi masalah hidupnya."

Bu Asri kemudian menceritakan tentang masalah yang sedang dihadapi oleh Fitri. Ia menceritakan tentang suami Fitri yang sakit dan ibu mertuanya yang selalu bersikap sinis padanya.

"Kalian seharusnya bersimpati pada Fitri," kata Bu Asri. "Bukannya malah menggunjingnya seperti ini."

Tiba-tiba, saat perdebatan semakin memanas, Pak Agus, sang kepala sekolah, datang menghampiri mereka. Ia mendengar suara gaduh dari ruang guru dan ingin mengetahui apa yang sedang terjadi.

"Ada apa ini?" tanya Pak Agus dengan nada tegas. "Kenapa kalian ribut-ribut seperti ini?"

Bu Ida, Bu Vivi, Bu Nilam, dan Bu Asri terdiam. Mereka semua merasa malu dan bersalah karena telah membuat keributan di ruang guru.

"Maafkan kami, Pak," kata Bu Ida dengan nada menyesal. "Kami hanya sedang membicarakan masalah..."

"Masalah apa?" tanya Pak Agus dengan tatapan tajam.

Bu Ida tidak berani menjawab pertanyaan Pak Agus. Ia tahu, Pak Agus tidak akan suka dengan perbuatan mereka yang suka menggunjing orang lain.

"Sudahlah," kata Pak Agus. "Saya tidak mau tahu apa yang sedang kalian perdebatkan. Yang penting, kalian harus berhenti sekarang juga."

"Ruang guru ini adalah tempat untuk berdiskusi tentang pendidikan," lanjut Pak Agus. "Bukan untuk bergosip dan mencari masalah dengan orang lain."

Pak Agus kemudian menatap Bu Ida, Bu Vivi, Bu Nilam, dan Bu Asri secara bergantian. Ia berharap, mereka semua bisa mengambil pelajaran dari kejadian ini.

"Saya harap, kalian semua bisa lebih dewasa dan bijaksana," kata Pak Agus. "Jangan sampai kejadian seperti ini terulang kembali."

Setelah itu, Pak Agus meninggalkan ruang guru. Bu Ida, Bu Vivi, Bu Nilam, merasa geram karena ditegur oleh sang kepala sekolah.

1
Nusa thotz
aku tidak akan pernah kembali....copy paste?
Mika Su
kasihan kena omel guru galak
Mika Su
aku suka banget karena ceritanya beda sama yang lain
Serena Muna: makasih kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!