Melisa, seorang gadis biasa yang sedang mencari pekerjaan, tiba-tiba terjebak dalam tubuh seorang wanita jahat yang telah menelantarkan anaknya.
Saat Melisa mulai menerima keadaan dan bertransformasi menjadi ibu yang baik, dia dihadapkan pada kenyataan bahwa dunia ini penuh dengan bahaya. Monster dan makhluk jahat mengancam keselamatannya dan putranya, membuatnya harus terus berjuang untuk hidup mereka. Tantangan lainnya adalah menghindari ayah kandung putranya, yang merupakan musuh bebuyutan dari tubuh asli Melisa.
Dapatkah Melisa mengungkap misteri yang mengelilinginya dan melindungi dirinya serta putranya dari bahaya?
Temukan jawabannya dalam novel ini, yang penuh dengan misteri, romansa, dan komedi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aif04, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berkebun
Hari ini cuaca sangat bagus, dengan sinar matahari yang cerah dan angin yang sejuk. Melisa memutuskan untuk mencoba menanam beberapa benih yang telah ia beli kemarin. Setidaknya ia bukanlah manusia yang bertangan panas, jadi ia bisa menanam tanaman, Melisa hanya pemula yang sepertinya cukup berbakat dalam menanam.
Ia berusaha dengan sangat keras untuk mencabut beberapa rumput di halaman belakang rumahnya. Ia juga dibantu Kevin tentunya, yang berusia empat tahun dan memiliki rambut berwarna hitam dan mata merahnya. Hingga hari menjelang tengah hari, mereka bisa membersihkan lahan berkebun Melisa yang tidak besar itu.
"Terima kasih, Kevin, karena telah membantu Ibu," ujar Melisa dengan senang. Putranya itu benar-benar adalah anak yang sangat baik.
"Tapi apa Kevin tidak ingin bermain?" tanya Melisa.
"Tidak, Bu, Kevin lebih senang bersama dengan Ibu daripada bermain," ucapnya, sambil tersenyum.
"Oh, benarkah? Ibu benar-benar sangat terharu mendengarnya," ujar Melisa dengan tersenyum, sambil mengusap air mata yang mulai keluar.
"Ibu..." panggil Kevin dengan begitu cemas, takut jika sang ibu menangis lagi karena dirinya.
"Ibu hanya bercanda, hehehehe," ujar Melisa.
"Ibu..." panggilnya lagi.
"Maafkan Ibu karena telah membuat Kevin Ibu jadi sedih ya," ujar Melisa.
"Pokoknya, Ibu nggak boleh nangis lagi, Ibu harus bahagia selalu," ujar anak itu, sambil memeluk Melisa.
"Iya, Ibu tidak akan pernah menangis lagi," janjinya. Rasanya benar-benar menyenangkan saat ada seseorang yang selalu mengkhawatirkannya seperti ini.
"Baiklah, sekarang mari kita makan siang, lalu kita akan melanjutkan untuk menanam tanaman di sore hari, ya," ujar Melisa, yang mendapatkan anggukan dari Kevin. Mereka berdua kemudian memasuki rumah.
*
*
*
Sedangkan di sisi lain, di sebuah ruangan Ferdinand mengernyitkan dahinya dengan sorot mata yang terlihat terkejut. Tampak Ferdinand telah mendapatkan suatu kabar yang kembali mengejutkan dari suatu desa di wilayahnya.
"Ha, lagi-lagi monster yang membunuh masyarakat lalu memakan jantungnya," gumamnya, sambil membaca surat yang dipegangnya. Ia membaca dengan teliti, tapi sayangnya tidak ada yang tahu dari mana monster itu berasal dan bagaimana bentuknya.
"Sepertinya aku harus mencari dia, huh...dimanakah pria itu sekarang?" Ferdinand hanya bisa memejamkan matanya saat menyadari begitu sulit untuk menemukan pria itu jika bukan pria itu yang muncul dengan sendirinya. Ia merasa frustrasi dan kesal, karena tidak bisa menemukan solusi untuk masalah yang dihadapinya.
"Ferdinand!" panggil Rania memasuki ruangan itu, dengan langkah yang cepat dan wajah yang menunjukkan amarah. 'Apa lagi kali ini.'
"Oh, ayolah Rania, jangan mulai pertengkaran, aku sedang pusing sekarang," ujar Ferdinand, sambil menatap Rania dengan mata yang lelah.
"Jadi sekarang kau bahkan tidak memiliki waktu untuk berbicara denganku?" tanyanya yang terdengar begitu sinis, ia kemudian melangkah lebih dekat ke Ferdinand.
"Bukan begitu maksudku," jelas Ferdinand, sambil mengangkat tangan untuk menenangkan Rania.
"Jadi apa maksudmu jika bukan begitu?" tanya Rania.
"Aku sudah bilang padamu Rania bahwa aku benar-benar sibuk sekarang. Jadi lebih baik kita berbicara nanti malam saja ya," bujuk Ferdinand, ia harus menenangkan wanita ini sebelum semakin memburuk.
"Aku tidak mau, aku mau sekarang!" Bentak Rani yang menggema di dalam ruangan. Wanita itu tampaknya tidak ingin memberikan waktu lain bagi Ferdinand.
"Oke, oke baiklah sekarang katakan apa yang ingin kau katakan," Ferdinand memutuskan untuk mengalah.
"Aku sudah membuat undangan untuk pernikahan kita dan aku juga telah menyebarkannya. Itu akan berlangsung bulan depan," jelas gadis itu membuat Ferdinand benar-benar terkejut. Saat ini bukan saat yang tepat untuk melangsungkan pernikahan.
"Kau melakukannya bahkan tanpa persetujuanku! Aku sudah bilang bahwa kita belum bisa melakukan acara pernikahan karena keadaan masyarakat yang tidak baik saat ini. Kenapa kau berbuat semaumu ha!" marah pria itu. Bahkan ia menaikkan nada bicaranya.
"Ya, sampai kapan? Sampai kapan aku harus menunggu ha!" balas Rania, sambil menatap Ferdinand dengan sorot mata yang begitu tajam.
"Batalkan semua undangan itu! Jika tidak..." ujar Ferdinand, dengan nada yang keras dan tegas. Ia menatap Rania dengan mata yang serius, tidak ada raut main-main di dalamnya.
"Jika tidak apa?" tantang Rania. Dengan membalas tatapan tajam dari pria tersebut..
"Jika tidak aku akan benar-benar memutuskan hubungan ini sekarang juga," Ferdinand benar-benar tidak bercanda kali ini.
"Kau! Menyebalkan!" marahnya lalu meninggalkan ruangan dengan menghentakkan kakinya.
"Kau bahkan lebih menyebalkan dari pada aku," gumam Ferdinand lalu menghela nafas kasar.
"Oh, ayolah, dimana pria itu saat ini," lanjut Ferdinand, sambil melihat begitu banyak berkas yang menumpuk di atas mejanya. Ia merasa lelah dan kesal, karena tidak bisa menemukan solusi untuk masalah yang dihadapinya justru harus ditambah dengan masalah lainnya.
Sedangkan pria yang sedang dicari saat ini tengah berada di bawah pohon menikmati angin yang menerpa tubuhnya dengan sangat lembut. Ia duduk di atas rumput yang hijau, dengan pohon yang rindang di atasnya. Hingga di rasa cukup lama akhirnya pria itu membuka matanya. Menampilkan pupil merah seperti rubi.
"Huh...apa lagi kali ini," gumamnya lalu menghilang begitu saja, dengan wajah yang datar dan mata yang berkilauan. Ia menghilang bersama angin, dengan tidak ada jejak yang tersisa.