NovelToon NovelToon
Dunia Tempat Kamu Berada

Dunia Tempat Kamu Berada

Status: sedang berlangsung
Genre:Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Slice of Life / Menjadi Pengusaha
Popularitas:468
Nilai: 5
Nama Author: rsoemarno

The World Where You Exist, Become More Pleasant

_______

"Suka mendadak gitu kalau bikin jadwal. Apa kalau jadi pejabat tuh memang harus selalu terburu-buru oleh waktu?"
- Kalila Adipramana

_______

Terus-terusan direcoki Papa agar bergabung mengurus perusahaan membuatku nekat merantau ke kabupaten dengan dalih merintis yayasan sosial yang berfokus pada pengembangan individu menjadi berguna bagi masa depannya. Lelah membujukku yang tidak mau berkontribusi langsung di perusahaan, Papa memintaku hadir menggantikannya di acara sang sahabat yang tinggal tempat yang sama. Di acara ini pula aku jadi mengenal dekat sosok pemimpin kabupaten ini secara pribadi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rsoemarno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

11.) Jatuh Cinta di Jakarta

Chapter 11: Jakarta in Love

Selama berada di Jakarta ini, Mas Satya tidak menginap di kediaman Adipramana. Meski sudah ditawarkan oleh Papa dan Mama. Ia menolak dengan alasan jadwalnya di Jakarta ini cukup padat. Dan mobilitasnya yang cukup sering bisa saja mengganggu kenyamanan penghuni kediaman Adipramana.

Saat ini kami berdua sudah berada di apartemen Mas Satya yang letaknya cukup dekat dengan lokasi PRJ diadakan. Sama seperti di Bawera, di sini Mas Satya juga menempati lantai tertinggi gedung ini, di penthousenya.

“Ini kalau ada bencana, Mas yang paling terakhir di evakuasinya.” celetukku yang cukup bosan menunggu lift ini sampai di lantai teratas.

“Yaa makanya berdoa semoga ga ada bencana, Yang.” sahut Mas Satya lempeng.

“Lagian suka banget tinggal di tempat tinggi gini. Mau jadi burung ya, Mas?”

“Ga perlu jadi burung, Mas sih udah punya, Yang.” jawab nyeleneh Mas Satya.

“Heh, omongannya.” tegurku seraya memukul lengannya pelan. Untung hanya ada kami berdua di dalam kotak besi ini.

Akhirnya, setelah waktu yang terasa sangat lama sekali, karena aku harus membawa tentengan jajanan dari PRJ tadi, sampai juga kami di lantai teratas.

Mas Satya segera memindai sidik jarinya untuk membuka pintu penthouse. 

Aku mengikuti Mas Satya yang terus berjalan menuju area dapur. Kami lantas meletakkan semua tentengan berisi jajanan kami di atas meja pantry.

“Mau bikin konten di mana? Di sofa ruang keluarga yang santai?” tawar Mas Satya.

Aku mengedarkan pandang melihat area dapur yang bersih dan tertata rapi. Layaknya rumah percontohan yang isinya komplit tapi tidak pernah digunakan sama sekali.

“Di sini aja deh… Ribet kalau harus mindah-mindahin piring dan segalanya kesana.” putusku.

“Mas ada tripod? Sama kameranya sekalian kalau ada.” tanyaku. 

Tadi di festival kami mengambil video dengan memanfaatkan kamera smartphone yang memiliki kualitas terbaik.

Mas Satya mengangguk. “Ada. Sebentar Mas ambilin di ruang kerja.”

Sembari menunggu Mas Satya mengambil kamera dan tripod, aku mulai mengatur tata letak kursi dan memindahkan makanan ke piring-piring cantik yang kutemukan di lemari dapur Mas Satya.

Tak berselang lama, Mas Satya keluar dari ruang kerjanya dengan membawa tripod dan kamera yang kubutuhkan. Ia dengan sigap mengatur peralatan tersebut hingga dapat digunakan mengambil gambar dengan sudut yang tepat.

“Sudah siap.” kata Mas Satya.

Mengikuti aba-aba Mas Satya, aku segera memulai aktivitas mengambil video mukbang jajanan yang telah kami beli di PRJ tadi. Meski tidak berkecimpung di dunia kuliner, aku cukup tahu bagaimana cara mendeskripsikan cita rasa suatu makanan. Mulai dari bentuk, warna, tekstur hingga rasa keseluruhan berusaha kujabarkan dengan sebaik mungkin.

Beberapa kali Mas Satya juga ikut nimbrung menyumbang komentar untuk makanan yang juga dicicipinya di hadapanku. Aku pun membiarkan saja ‘kebocoran’ suara yang pasti akan muncul di kontenku nanti. Bahkan aku juga menimpali candaan yang dilontarkannya secara kasual. Yang penting Mas Satya tidak menampakkan wajahnya di kamera, karena ia tengah duduk berhadapan denganku.

Hampir satu jam aku menghabiskan waktu untuk merekam konten mukbang ini. Mas Satya melarangku untuk membereskan piring-piring yang berserakan di meja. Nanti akan ada jasa home cleaning yang datang setiap pagi untuk membersihkan penthouse ini.

“Pinjem laptop, Mas. Mau aku kirim ke editorku sekarang aja daripada nanti-nanti malah lupa.”

“Ke ruang kerja Mas aja, Yang.” ajak Mas Satya.

Ruang kerja Mas Satya di penthouse ini didesain dengan sangat nyaman. Produktivitas di dalam ruangan ini sangat diperhitungkan sehingga akses ke berbagai tempat penyimpanan pun dibuat teratur, agar mudah ditemukan. Pun ketika merasa penat, pemandangan kota Jakarta dari ketinggian bisa dinikmati dari salah satu dinding yang sengaja dibuat full kaca.

“Pantesan Mas sukanya di ketinggian.” kataku sambil mendudukkan diri di kursi kerja Mas Satya yang menghadap dinding kaca.

“Kalau pemandangannya gini kan ga bakal ngerasa stress ya, Mas?”

“Bisa jadi.” jawab Mas Satya. 

“Stress itu kan tekanan yang muncul dari ketidakseimbangan antara pikiran dengan realita yang terjadi. Makanya perlu pengelolaan diri yang kuat dan efektif, biar ga sampai tertekan karena pikirannya yang terlalu ke depan sementara realita masih jalan di tempat.”

“Dan memilih tempat tinggi, dengan pemandangannya yang luas tak terbatas membantu Mas dalam mengelola emosi, Yang. Karena bukan hanya emosi naik saja yang perlu diperhatikan, tapi emosi yang menurun juga perlu dijaga agar menjadi stabil. jangan sampai kan menjadi pemimpin yang loyo, apalagi suka marah-marah.”

Aku menatap Mas Satya kagum. Pantas saja ia begitu disenangi oleh warga Bawera meski umurnya masih cukup muda untuk menjadi kepala daerah. Kalau hanya mengandalkan tampang saja tidak mungkin warganya terlihat begitu memuja dirinya.

Kugeser kursi kerja Mas Satya kesamping. Memberi kelonggaran tempat pada Mas Satya yang tengah sibuk mengutak-atik laptopnya.

“Dikirim kemana?”

Dengan sengaja kutabrakkan pelan kursi kerja ini ke tubuh Mas Satya agar ia sedikit bergeser.

“Sini kuketik emailnya.” ujarku mengambil alih laptopnya untuk sejenak. Setelahnya kuhadapkan kembali laptop ke arahnya untuk menyelesaikan sisanya, tanpa menggeser kursiku kembali. Membiarkannya bekerja dengan badan yang miring.

“Capek, Mas?” tanyaku iseng.

Mas Satya tak menggubris gangguanku. Ia fokus menyelesaikan pekerjaannya. Begitu layar menampilkan notifikasi pengiriman sukses, ia langsung menutup layar laptop begitu saja. Membuatku yang ikut menatap layar pun terkejut.

“Kok..”

Belum sempat aku menyuarakan protes, kursiku ditarik menghadap kearahnya dengan sedikit hentakan. Ia meletakkan kedua tangannya di lengan kursi. Dan mengurung diriku di tengah-tengahnya. Membuat dadaku berdebar karena ditatap intens olehnya.

“Tentu saja Mas merasa capek, Yang. Makanya ini mau minta imbalan kerja rodi yang sudah Mas lakukan.” ujar Mas Satya mendekatkan wajahnya.

Dan aku hanya bisa pasrah menerima semua perlakuannya. Karena aku juga suka dengan kontak fisik yang terjadi diantara kami.

“Yang, Mama sama Papa tanya kita mau tunangan di Bawera apa di Jakarta?” tanya Mas Satya. Ia bermain smartphone dengan tangan kanan, karena tangan kirinya digunakan merangkul bahuku.

Kami sudah berpindah di ruang keluarga penthouse Mas Satya. Setelah dengan susah melepaskan diri dari cumbu mesra yang intim. Dengan aku yang hanya memakai tanktop sebagai atasan, sementara Mas Satya sudah menanggalkan kemejanya. Memperlihatkan perut sixpack nya yang terbentuk sempurna.

“Kenapa tiba-tiba mereka tanya itu? Lagian Om Radja sama Tante Tya kan juga belum tahu hubungan kita?” tanyaku sambil memainkan jariku di perutnya.

Mas Satya menangkap tanganku. Lantas menggenggamnya di atas pangkuannya.

“Ini nih, yang bikin mereka tanya begitu.” kata Mas Satya mengangkat genggaman tangannya. Ia mengecup singkat pergelangan tanganku.

“Yang tanya ini Papa sama Mama Mas, Yang. Mereka udah denger dari berita, ditambah Tante Tara juga mengonfirmasi langsung. Jadi Mas jelaskan aja sekalian hubungan kita.”

“Harusnya kita juga kabari dulu orang tuamu ya, Mas.” kataku merasa tidak enak hati.

Mas Satya mengelus bahuku. “Gapapa, Mama sama Papa paham, kok.” katanya menenangkan.

Aku menegakkan tubuhku.

“Terus, kok tiba-tiba tanya begitu?”

Mas Satya mengulum senyumnya. “Mungkin gara-gara Mas bilang lagi berduaan sama Kalila di apartemen Jakarta sekarang?”

Aku melotot menatapnya tak percaya. “Mas beneran bilang gitu?”

Mas Satya mengangguk jahil.

Aku mencubit lengannya kesal. “Ihh, pantesan. Kalau mereka jadi mikir yang engga-engga gimana coba?”

“Engga, Yang.. Makanya kan mereka tanya gitu. Biar kita gercep nentuin tanggal. Jadi kalau mau mesra-mesraan bisa lebih bebas.”

Aku mengerucutkan bibir. “Itu kan maumu, Mas.”

“Sayang ga mau juga? Siapa coba tadi yang mulai cium-cium?”

Aku mengalihkan pandangan malu. “Ya mau.” bisikku.

Kembali kuarahkan pandang menghadapnya. 

“Dari dulu aku pinginnya kalau tunangan di Jakarta aja, tempat aku tumbuh. Karena kalau nikah, aku yakin banget harus di Solo. Papa sama Mama ga bisa diganggu gugat soal ini.”

Mas Satya mengangguk.

“Oke, nanti Mas sampaikan ke Papa sama Mama. Ada lagi impian yang mau diwujudkan, Yang?”

Aku mengingat-ingat impian masa kecilku sembari memilah-milah dari banyaknya mauku yang berubah-ubah tergantung tren saat itu.

“Ga mau di gedung. Di kediaman Adipramana aja, cukup. Maunya privat, jadi cuma keluarga kita yang berkepentingan aja yang hadir.”

“Untuk publikasi, kayaknya lewat sosial media aja cukup kan, Mas?”

1
Shion Fujino
Keren deh ceritanya, thor mesti terus bikin cerita seru kayak gini!
sweet_ice_cream
karya ini bikin aku merasa seperti ikut dalam ceritanya, sukses terus thor 🤗
Apaqelasyy
Duh, seru euy! 🥳
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!