Dunia Tempat Kamu Berada
Chapter 1: Regent’s Open House
“Kak, besok bisa gantiin Papa menghadiri undangan open house Pak Radja?” tanya Papa melalui sambungan telepon.
“Open house lebaran, Pa?” tanyaku memastikan.
“Yaa open house lebaran, dong. Ini kan lagi momennya. Kamu aja nih yang momennya kebalik. Disaat orang-orang pada mudik, kamu malah merantau.”
“Yaa salah siapa coba nyuruh-nyuruh ikut gabung perusahaan? Ini juga kalau Pak Radja ternyata rekan bisnis Papa, Lila ga mau gantiin.” rajukku.
Papa tertawa. “Iyaa… Iya… Salah Papa. Tenang aja, Pak Radja itu sahabat Papa.” jelasnya. “Papa jamin ga ada udang di balik batu masalah perusahaan. Dah nyerah Papa minta kamu gabung ke perusahaan. Kalau kamu mau hadir bagus juga ntar buat perkembangan yayasan kamu. Siapa tau kan ketemu orang penting kota itu?” bujuknya.
“Hmm… Baiklah. Undangannya jangan lupa di forward ke Lila.” kataku menyetujui.
“Ini langsung Papa kirim.”
°°°
Aku menghentikan mobilku di area lobby bangunan berbentuk joglo ini. Sesuai dengan undangannya “Open House”, acaranya pun juga dilakukan di kediaman pribadi Pak Radja. Untungnya Pak Radja menyediakan parkir valet sehingga aku tidak perlu susah payah memarkir mobil sendiri. Turun dari mobil, segera kuserahkan kunci kepada petugas yang juga sudah membantuku membuka pintu.
“Terimakasih.”
Seorang wanita bergamis hitam mengarahkanku menuju meja registrasi. Sembari menunggu antrian, aku menyiapkan undangan digital yang sudah diteruskan oleh Papa kemarin.
“Atas nama Moreno Adipramana? Diwakili?” tanya petugas registrasi setelah aku menscan barcode undangan.
“Ya. Saya Kalila Adipramana.”
Kembali kuikuti wanita bergamis hitam yang tadi mengarahkanku ke meja registrasi. Kali ini kami berjalan memasuki bagian utama joglo tempat berlangsungnya acara. Sembari berjalan aku mengamati dekor mewah bernuansa khas idul fitri yang terpasang dengan apik. Semua warna yang ada terlihat cantik dan serasi karena di undangan juga sudah ditentukan agar para tamu mengenakan busana ‘white-core’.
Setelah cukup mengamati dan berpapasan dengan tamu yang lain, sepertinya Papa termasuk tamu VIP dalam acara ini. Karena hanya beberapa tamu saja yang menerima perlakuan sepertiku ini. Kebanyakan yang sudah berumur dan terlihat memiliki jabatan.
Setelah mengamati yang lain juga, aku cukup merasa lega karena tidak salah kostum. Midi dress lengan pendek berwarna putih dengan bahan satin yang jatuh menjadi pilihanku. Selendang berwarna putih dengan aksen bordir bunga lily di setiap ujungnya kusampirkan di atas kepala, kubiarkan menjuntai hingga menutup kedua lengan yang cukup terbuka. Dengan begini aku jadi terlihat ‘normal’ dan tidak mencolok di acara ini.
“Tamu VIP Papa ya, mbak?” cegat seorang pria.
Wanita bergamis hitam yang mengarahkanku terkesiap kaget mendengar teguran pria asing yang sepertinya adalah anak dari Pak Radja. “Pak Satya.” sapanya penuh hormat.
Ia menyingkir sedikit sehingga aku bisa berhadapan langsung dengan pria yang tampak gagah dalam busana semi formalnya itu.
“Tamu VVIP Pak Radja, Pak. Ini Nona Kalila Adipramana, mewakili bapak Moreno Adipramana.”
“Nona Kalila. Ini Pak Satya Dierja, anak Bapak Radjasa Dierja sekaligus…”
Ucapan wanita tersebut terpotong lantaran pria yang diperkenalkannya tiba-tiba mengulurkan tangannya untuk berjabatan tangan kepadaku.
“Satya saja. Tidak perlu embel-embel yang lain.”
Aku membalas jabatan tangannya. “Kalila saja, Mas Satya.” kataku masih tetap memperhatikan sopan-santun karena sepertinya pria tersebut juga berusia di atasku.
Mas Satya tersenyum setuju. “Nah begitu lebih baik. Daripada dipanggil bapak, bukankah saya lebih cocok dipanggil mas?” candanya. “Kalila saya saja yang mendampingi bertemu Papa, mbak.”
“Baik, Pak Satya. Saya kembali ke depan.”
Mas Satya menatapku bertanya. “Tidak keberatan kan jika saya saja yang mendampingi Kalila sepanjang acara ini?”
Meski cukup tergelitik dengan pemilihan katanya yang agak unik menurutku, aku tetap menjawab pertanyaannya dengan penuh senyuman.
“Tentu tidak. Saya malah jadi tersanjung karena dijamu langsung sama tuan rumahnya.”
“Kalau begitu kita menemui Papa terlebih dahulu. Baru setelahnya mencicipi berbagai kuliner yang ada.” ajaknya ramah.
Berdampingan kami berjalan menuju pusat acara dimana berdiri sepasang suami-istri yang mengenakan busana senada dengan Mas Satya tampak dikerumuni oleh tamu-tamu yang hadir.
“Pa.. Ma..”
Orang-orang yang sebelumnya mengerumuni Pak Radja dan istrinya langsung menyingkir begitu mendengar suara Mas Satya memanggil orang tuanya.
“Eh, Pak Satya datang bareng calonnya ini?” tanya seorang ibu-ibu sembari mengerling ke arahku dan Mas Satya yang datang berdampingan.
“Pak Radja sama Ibu segera punya hajat besar ini.”
“Waah.. kalau Mas Satya yang punya hajat bukan cuma Pak Radja lagi, tapi satu kabupaten nanti.”
“Iya benar itu, warga kabupaten kan juga sudah ga sabar menyambut Ibu PKKnya.”
Mas Satya tertawa mendengar celetukan-celetukan dari tamu-tamu yang sebelumnya mengerumuni Papanya. Sementara aku hanya tersenyum simpul pura-pura mendengar omongan para orang tua yang sangat kupahami maksudnya. Biar Mas Satya saja yang bertanggungjawab meredam godaan tamu-tamunya.
“Mohon doanya… Bapak-bapak, Ibu-ibu.” katanya. “Kalau begitu boleh saya pinjam dulu Papa sama Mama, biar kabupaten bisa segera punya hajat.” selorohnya.
“Sangat boleh, Pak Satya. Ditunggu segera lho undangannya.”
Para tamu yang sebelumnya mengerumuni Pak Radja dan Ibu segera pergi menjauh setelah sebelumnya berpamitan kepada tuan rumah. Mereka langsung diarahkan oleh petugas WO yang mengenakan seragam berwarna hitam ke stand makanan untuk menikmati hidangan.
Aku mencubit pelan lengan kiri Mas Satya yang berdiri di sebelah kananku setelah memastikan semua sedang sibuk sendiri.
Mas Satya menatapku bertanya. “KDRT lho Kalila.” katanya main-main.
Aku mencebik kesal. “Salah siapa ngawur gitu bicaranya?’ kataku kembali mencubit agak keras.
“Aduh!” serunya pura-pura kesakitan. Aku memelototinya sebentar agar tidak kembali berulah karena Pak Radja dan istrinya yang mulai memusatkan perhatian kepada kami.
Takut pria yang berdiri di sampingku ini bicara ngawur lagi, aku segera maju mendekati Pak Radja dan Ibu. “Selamat hari raya idul fitri, Pak Radja, Ibu. Saya Kalila Adipramana. Hadir di sini mewakili Papa yang berhalangan datang secara langsung.”
Ibu Radja segera menarikku ke dalam pelukannya setelah mengetahui identitasku yang sebenarnya. “Nak Kalila sekarang sudah besar ya. Terakhir ketemu dulu kamu masih pre-school.”
Aku hanya meringis karena tidak ingat pernah bertemu Ibu Radja.
“Selamat hari raya idul fitri juga, Nak Kalila. Moreno sama Tara sehat?” sapa Pak Radja.
“Papa dan Mama sehat semua. Kebetulan mereka berdua sedang mengunjungi adik yang kuliah di London, jadi tidak bisa menghadiri undangan ini.”
“Oh ya… Kalau Nak Kalila masih kuliah juga?”
Aku menggeleng. “Saya sudah wisuda beberapa bulan yang lalu, Bu.”
“Eeh… panggilnya Om sama Tante aja. Sahabat kentel Reno sama Tara kita berdua ini.” tegur Tante Radja. “Lha sekarang kesibukannya apa, Nak?”
“Saya fokus merintis Yayasan Muda Berguna sekarang, Tan. Mulai dari kabupaten ini yang potensi pemudanya menjanjikan. Semoga bisa merata ke seluruh Indonesia.”
“Waah bagus itu kesibukannya. Kalau butuh apa-apa di kabupaten ini langsung kontak Satya saja, Nak.” sahut Om Radja.
“Betul itu. Kalau Kalila perlu bantuan bisa langsung menghubungi saya. Saya itu penguasa kabupaten ini, Kalila.” sahut Mas Satya jumawa.
Tanpa sadar aku mencibir mendengar nada sombong Mas Satya. “Sombong banget, Mas. Kaya Bupati sini saja lagaknya.”
Mas Satya menatapku penuh rasa kaget yang terlihat dibuat-buat. “Loh. Kalila merintis yayasan di kabupaten sini apa ga riset dulu? Kasih paham, Ma!”
Tante Radja memukul pelan lengan putranya. “Sudah. Kamu ini ketemu Nak Kalila kok malah jadi usil begini.” tegurnya. “Pa, itu anaknya tolong diamankan dulu. Bisa kabur nanti Nak Kalila lama-lama.”
“Loh, kalau bukan Satya yang ngikat Kalila biar ga kabur. Siapa lagi, Ma? Kok malah mau diamankan.” sahut Mas Satya
Om Radja tertawa. “Lagi kumat ini, Ma. Anaknya…” komentarnya. “Mending Mama bawa Nak Kalila makan dulu aja. Biar anak ini nemenin Papa njalanin tugasnya disini.”
“Waah… Ya ga mau saya. Ini kan Open House Pak Radja. Kalau Open House Bupati kan sudah kemarin. Bisa-bisa tamunya pada bingung nanti.” tolak Mas Satya.
“Sama aja. Bupatinya kan ya anaknya Pak Radja.” sahut Tante Radja yang membuatku terkejut. “Kebanyakan malah pada cari kamu daripada Papa.”
Pantas saja Papa kemarin bilang kemungkinan aku bertemu orang penting kota ini. Kukira aku hanya akan menemui pejabat atau pebisnis daerah sini saja. Ternyata malah bertemu langsung dengan orang nomor satu di kabupaten ini. Sepertinya aku perlu melakukan riset yang lebih dalam lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Apaqelasyy
Duh, seru euy! 🥳
2025-01-06
1