Yaya_ gadis ceria dengan sejuta rahasia.
Ia selalu mengejar Gavin di sekolah,
tapi Gavin sangat dingin padanya.
Semua orang di sekolah mengenalnya sebagai gadis tidak tahu malu yang terus mengemis-ngemis cinta pada Gavin. Namun mereka tidak tahu kalau sebenarnya itu hanya topengnya untuk menutupi segala kepahitan dalam hidupnya.
Ketika dokter Laska memvonisnya kanker otak, semuanya memburuk.
Apakah Yaya akan terus bertahan hidup dengan semua masalah yang ia hadapi?
Bagaimana kalau Gavin ternyata
menyukainya juga tapi terlambat mengatakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Yaya mengamati tanaman-tanaman yang tumbuh subur di sekelilingnya. Sekarang ia sedang duduk di taman sekolah.
Ternyata SMA Garuda Jaya ini memiliki sebuah taman mini yang indah. Gadis itu tersenyum pahit. Seandainya hidupnya seindah taman yang dipenuhi oleh bunga-bunga dan tanaman berwarna ini. Sayang sekali kenyataannya tidak begitu.
"Lo ikutan lomba juga?"
suara itu membuat Yaya menoleh kebelakang. Ia cukup kaget melihat kakak kelasnya sih Sava Sava itu telah berdiri dibelakangnya. Memang ada beberapa murid dari sekolah mereka yang dia lihat mewakili sekolah ikutan lomba juga, tapi ia sama sekali tidak memperhatikan kalau kakak kelasnya yang satu ini ada. Tiba-tiba udah nongol aja.
"Kak Sava kok di sini?" tanyanya.
Savaro berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya.
"Gue tanding basket." jawab cowok itu menunjuk seragam basket dibadannya. Yaya mengangguk paham. Pandangannya kembali lurus kedepan, raut wajahnya berubah tidak bersemangat. Masih kepikiran kata-kata Gavin tadi.
Savaro memperhatikannya lama. Ia langsung sadar kalau Yaya berbeda hari ini. Gadis itu tampak sedih.
"Kenapa?" tanyanya lembut.
Yaya memiringkan wajahnya, menatap cowok itu sekilas lalu menggeleng pelan menunjukkan senyum terpaksanya. Melihat diamnya gadis itu lantas membuat Savaro menangkup kedua pipinya dan membuat gadis itu menghadapnya lagi.
"Hei, gue pernah ngomong kan gue siap kalau lo butuh teman curhat?" gumamnya pelan. Cara bicaranya berubah lembut. Ia lebih senang melihat Yaya yang ceria dibanding tidak bersemangat seperti sekarang ini.
Yaya menatap cowok itu, berpikir sebentar kemudian menghembuskan nafas berat. Sepertinya dia memang membutuhkan seorang teman bicara.
"Aku sedih." ucapnya tak bergairah. Alis Savaro terangkat tetap setia mendengar gadis itu. Dalam keadaan begini, lebih baik baginya untuk menjadi pendengar saja.
"Nggak ada satu pun dari orang-orang yang aku sayang peduli sama aku."
ada rasa kecewa di nada bicara gadis itu. Ia menaikkan wajahnya menatap langit.
"Menurut kak Sava aku gadis yang nyebelin nggak?" tanyanya kemudian tanpa memandang Savaro. Ia tidak ingin menangis. Karena dirinya harus menjadi kuat dan tegar. Kalau ia tidak kuat, siapa yang akan melindunginya? Sekarang yang dia tahu hanya dirinya sendirilah yang bisa melindunginya.
Savaro tertegun sebentar, kemudian tertawa pelan menatap gadis itu. Ia ikut menatap ke langit. Sepertinya dia mulai sadar kalau dibalik keceriaan seorang gadis seperti Yaya ini tersimpan sebuah luka. Ia tidak tahu luka seperti apa itu dan dia tidak ingin bertanya. Dia mau Yaya sendiri yang cerita saat gadis itu siap, Savaro tidak mau memaksa. Yang pasti, lelaki itu siap menjadi sandaran gadis yang sepertinya mulai menjadi seseorang yang penting baginya itu.
Kali ini Savaro merangkul bahu Yaya dan melemparkan senyuman lebar yang ia sendiri bahkan tidak percaya dengan apa yang barusan dia lakukan. Di sebelahnya, Yaya malah menatapnya aneh. Benarkah cowok disebelahnya ini adalah cowok menyeramkan yang ia takuti beberapa waktu lalu. Sungguh di luar dugaan
"Kenapa natap aku kayak gitu?"
tuhkan benar. Kak kelasnya ini aneh. Batin Yaya. Bicaranya juga jadi lembut begitu. Tapi dia malah senang. Dirinya jadi merasa nyaman berada disamping kakak kelasnya tersebut. Yaya tersenyum ke cowok itu dan tanpa sadar menyandarkan kepalanya dibahu kekar milik sih kapten basket. Ia tahu sekarang ini ia membutuhkan sandaran. Bukan karena dirinya telah menemukan sosok lelaki baru sebagai pengganti Gavin. Gavin tidak akan pernah terganti dalam hatinya. Sedang Savaro adalah sosok yang dia anggap sebagai seorang kakak.
Mereka tidak sadar Gavin sedang menatap mereka dari balik tembok. Tangan pria itu terkepal kuat. Ia marah. Ia tidak tahu ia marah karena apa. Sejujurnya tadi ia merasa bersalah karena sudah berkata kasar ke Yaya. Dirinya tidak berhenti khawatir ketika gadis itu tidak balik-balik ke aula. Ia pikir sudah melukai hati Yaya.
Seusai lomba Gavin bertekad untuk mencari gadis itu dan dia sudah mencarinya hampir di seluruh area sekolah. Tapi apa? Ia malah mendapati gadis yang tadi ia khawatirkan, yang mengejar-ngejarnya di sekolah tiap hari, yang katanya cinta mati padanya itu sedang bermesra-mesraan dengan kapten basket sekolah mereka.
Siapa lagi kalau bukan Savaro. Ia kenal pria itu dari belakang. Sialan. Hampir saja dia tertipu dengan semua sikap manis gadis itu padanya.
***
Cukup lama Yaya dan Savaro duduk berdua di taman itu. Yaya melirik jam dan melototkan matanya menatap Savaro.
"Ya ampun kak Sava, aku harus balik ke aula sekarang. Lombanya Gavin sama yang lain pasti udah kelar!" ujarnya cepat-cepat berdiri dari bangku itu dan pergi meninggalkan Savaro. Savaro malah tersenyum melihat tingkah panik gadis itu yang menurutnya lucu.
Yaya berlari seperti di kejar-kejar hantu. Ia sudah sangat telat. Aduh gimana kalau lombanya sudah selesai, Gavin dan yang lain belum pulang kan? Tidak mungkin kan mereka tega meninggalkan dia sendirian di sekolah ini.
BUUKKK!
Bunyi suara keras membuat semua siswa-siswi di sekitar situ melihat ke arah seseorang yang terjatuh.
Yaya kaget bukan main saat merasa dirinya tiba-tiba melayang dan jatuh tertelungkup di lantai. Orang-orang yang berada di situ bukannya menolong malah tertawa.
Gila. Dasar gila. Memangnya dia jatuh itu lucu? Kenapa mereka malah tertawa bukannya membantu? Yaya menggeleng-geleng tidak percaya. Jaman sekarang memang sudah beda banget sama jaman dulu. Banyak orang suka senang liat yang lain menderita.
Bukannya Yaya maksa minta di tolongin. Tapi keadaannya memang membuat dirinya tidak bisa berdiri sendiri. Ia mengutuk kebodohannya yang berlari seperti orang gila tadi.
Namun sesaat kemudian, tiba-tiba ia merasa tubuhnya terangkat. Seseorang mengangkatnya.