“Namamu ada di daftar eksekusi,” suara berat Carter menggema di saluran komunikasi.
Aiden membeku, matanya terpaku pada layar yang menampilkan foto dirinya dengan tulisan besar: TARGET: TERMINATE.
“Ini lelucon, kan?” Aiden berbisik, tapi tangannya sudah menggenggam pistol di pinggangnya.
“Bukan, Aiden. Mereka tahu segalanya. Operasi ini… ini dirancang untuk menghabisimu.”
“Siapa dalangnya?” Aiden bertanya, napasnya berat.
Carter terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Seseorang yang kau percaya. Lebih baik kau lari sekarang.”
Aiden mendengar suara langkah mendekat dari lorong. Ia segera mematikan komunikasi, melangkah mundur ke bayangan, dan mengarahkan pistolnya ke pintu.
Siapa pengkhianat itu, dan apa yang akan Aiden lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Pertemuan yang Tidak Terduga
“Hari ini kita harus keluar,” ucap Aksara sambil menatap Aliyah yang sedang membereskan peralatan di dapur kecil mereka.
Aliyah menoleh, ragu-ragu. “Kamu yakin? Tempat ini memang aman, tapi kita nggak tahu apa ada orang yang mengenalmu di luar sana.”
Aksara tersenyum tipis. “Sudah tiga bulan, wajahku sudah berbeda, identitas kita pun baru. Kita nggak bisa terus-terusan terkurung di sini. Lagipula, stok bahan makanan kita hampir habis.”
Setelah berunding sejenak, akhirnya mereka memutuskan untuk keluar. Aliyah mengenakan hijab serta masker, sementara Aksara memakai topi dan jaket tebal agar tak mudah dikenali. Mereka berjalan melewati gang-gang kecil menuju pasar terdekat.
Di pasar, suasana ramai seperti biasa. Penjual sayuran menawarkan dagangannya dengan suara lantang, sementara pembeli berdesakan memilih barang. Aksara dan Aliyah bergerak dengan hati-hati, memastikan tak ada yang memperhatikan mereka.
“Aku ambil sayuran, kamu ambil beras di sebelah sana,” kata Aliyah pelan.
Aksara mengangguk dan segera menuju kios yang menjual beras. Saat itulah ia melihat seorang lelaki tua yang tampak kesulitan membawa beberapa karung kecil berisi barang dagangan. Lelaki itu terhuyung-huyung, hampir saja terjatuh jika Aksara tidak segera menahannya.
“Pak, hati-hati,” ujar Aksara sambil memegang bahu lelaki tua itu.
“Oh, terima kasih, Nak. Barang-barang ini berat sekali,” ucap lelaki tua itu dengan suara bergetar.
Aksara melirik barang bawaan lelaki itu. Ada beberapa karung kecil berisi kentang dan wortel, tampaknya hasil panen dari ladang kecilnya. “Biar saya bantu, Pak. Bawa ke mana?”
Aliyah yang baru saja selesai membeli sayuran mendekat. “Ada apa?” tanyanya.
“Bapak ini kesusahan membawa barang. Aku bantu sebentar,” jawab Aksara.
“Terima kasih, kalian baik sekali. Rumah saya nggak jauh dari sini, hanya di ujung jalan sana,” kata lelaki itu sambil menunjuk sebuah gang kecil di sisi pasar.
Tanpa banyak bicara, Aksara dan Aliyah membantu membawa barang-barang lelaki tua itu. Sesampainya di sebuah rumah kecil yang sederhana, lelaki itu mempersilakan mereka masuk.
“Masuklah, biar saya buatkan teh. Kalian sudah sangat membantu saya.”
Aliyah menatap Aksara ragu, tapi Aksara mengangguk pelan. “Sebentar saja,” bisiknya.
“Terima kasih, Pak,” ujar Aliyah.
Mereka duduk di ruang tamu sederhana yang hanya diisi beberapa kursi kayu tua. Tak lama, lelaki tua itu kembali dengan dua cangkir teh hangat.
“Silakan diminum. Saya nggak punya apa-apa selain teh ini,” ucapnya dengan senyum ramah.
Aliyah tersenyum. “Terima kasih, Pak. Kami senang bisa membantu.”
“Apakah Bapak tinggal sendirian diaini, Pak?” Penasaran Aksara.
“Ya, semuanya sudah kembali pada Sang Pencipta. Termasuk pasangan hidupku,” lemes menjawab Bapak itu.
“Maaf, Pak. Kami tidak bermaksud-” terpotong Aliyah.
“Tidak apa, Nak. Memang hidup tidak pernah tahu kapan hidup ini berakhir atau masih harus berjuang. Berharap bisa menjalani ini tanpa ada masalah yang besar,” tersenyum menjawab bapaknya.
Setelah berbincang sebentar, mereka berpamitan untuk pulang. Namun, sebelum mereka melangkah keluar, lelaki tua itu berkata sesuatu yang membuat Aksara terdiam sejenak.
“Kalian dari luar kota, ya? Saya belum pernah melihat kalian di sini sebelumnya.”
Aksara tersenyum tipis, mencoba tetap tenang. “Iya, Pak. Kami baru pindah ke sini. Butuh tempat yang lebih tenang.”
Lelaki tua itu mengangguk. “Tempat ini memang sepi, cocok untuk beristirahat. Tapi hati-hati, banyak orang asing berkeliaran akhir-akhir ini.”
“Orang asing?” tanya Aliyah, mencoba terlihat penasaran tanpa menunjukkan rasa khawatir.
“Iya. Katanya ada sekelompok orang yang mencari seseorang. Saya nggak tahu siapa, tapi mereka sering bertanya-tanya pada penduduk sini. Jadi, kalian harus hati-hati.”
Setelah mengucapkan terima kasih, Aksara dan Aliyah segera pergi dari rumah itu. Langkah mereka terasa semakin berat.
“Apa mereka mencari kita?” bisik Aliyah saat mereka berjalan cepat menuju tempat persembunyian mereka.
“Aku nggak tahu. Tapi kita harus lebih waspada. Kalau mereka terus mencari, bisa jadi kita ditemukan.”
Setelah sampai di rumah, Aksara segera membuka laptopnya dan mulai memantau pergerakan sinyal di sekitar wilayah itu. Namun, tidak ada tanda-tanda mencurigakan. Meski begitu, ia tak bisa mengabaikan peringatan lelaki tua tadi.
“Malam ini kita harus berjaga,” ucap Aksara tegas. “Aku nggak mau ambil risiko.”
Aliyah mengangguk, menyadari bahwa kondisi mereka semakin genting. Namun, di balik semua kecemasan itu, ia merasa lega karena ada Aksara di sisinya, seseorang yang tahu apa yang harus dilakukan di saat-saat sulit seperti ini.
***
Malam semakin larut, tapi pikiran Aksara masih berkecamuk. Ia tahu bahwa orang-orang yang mencari dirinya tak akan berhenti sampai mereka menemukannya. Namun, ia juga tahu bahwa ia bukanlah seseorang yang mudah menyerah. Dengan semua informasi yang telah ia kumpulkan, kini ia memiliki satu tujuan pasti: mencari tahu siapa sebenarnya dalang di balik semua ini dan menghabisinya sebelum mereka berhasil menemukan dirinya.
“Kita mulai besok pagi. Mereka bisa mencari, tapi kita harus lebih cepat bertindak,” gumam Aksara, memantapkan tekadNya.
Namun, saat hendak menutup laptopnya, pikirannya kembali ke lelaki tua yang mereka bantu tadi siang. Ada sesuatu yang janggal. Barang-barang yang dibawa lelaki itu tampak sedikit, tapi entah mengapa terasa tidak asing. Ada beberapa benda yang terlihat biasa di mata Aliyah, namun bagi Aksara, benda itu mengingatkan pada masa lalunya—masa di mana ia masih menjadi Aiden, agen khusus.
“Aliyah, kamu ingat barang-barang yang dibawa Pak Tua tadi?” tanya Aksara tiba-tiba.
Aliyah mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Hanya karung kecil berisi kentang dan wortel, kan? Kenapa?”
“Bukan itu.” Aksara menatap tajam ke arah Aliyah. “Ada benda kecil berbentuk kotak yang diselipkan di antara karung-karung itu. Aku yakin aku pernah melihatnya di markas dulu.”
Aliyah terdiam, mulai merasakan kegelisahan Aksara. “Maksudmu… Pak Tua tadi mungkin bukan orang biasa?”
Aksara mengangguk pelan. “Aku harus mencari tahu lebih lanjut. Besok pagi, kita akan pergi lagi ke pasar. Aku ingin memastikan siapa dia sebenarnya.”
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Kini, bukan hanya ancaman dari organisasi yang mengganggu pikiran Aksara, tetapi juga lelaki tua yang tampaknya bukan sekadar pedagang biasa. Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi benaknya.
“Siapa dia sebenarnya? Dan apa hubungannya dengan semua ini?” gumam Aksara sebelum akhirnya memejamkan mata, bersiap menghadapi hari yang penuh teka-teki esok hari.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.