“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ ~ Bab 26
Selamat membaca ❤️
......................
“Apa yang kau temukan?” Zulham bertanya seraya memperhatikan sang istri.
“Tak ada, Bang. Lebih baik kita pulang saja! Takutnya nanti Dhien ataupun Emak, tiba-tiba pulang.” Indri mengancing sepenuhnya resleting jaket hadiah dari membeli motor, plastik kecil tadi dia masukkan kedalam baju.
Zulham pun menurut, bergegas mereka melompat jendela, dan menutupnya seperti semula, walaupun tidak terkunci.
Suasana pagi hari yang memang sepi, dikarenakan hari anak sekolah dan waktunya bagi warga pergi ke ladang, memudahkan aksi Zulham dan Indri.
***
Sementara di kota kabupaten, Dhien masih melihat-lihat beberapa unit motor second.
“Yang ini saja Kak, ada keranjangnya! Bisa untuk menampung buah curian kita, tak payah cari plastik lagi, tinggal taruh, lalu langsung melarikan diri!”
Meutia mencoba duduk di jok motor Astrea warna merah putih yang bagian depan ada keranjangnya.
Dhien pun mengangguk setuju. “Kebetulan sekarang musim buah-buahan, kemarin ada ku tengok pohon mangga golek berbuah lebat di halaman rumah Pak lurah, bisalah malam hari kita menyamar jadi Kalong!”
“Tak nya kau malu Dhien? Cakap hendak mencuri di depan salah satu pemilik rumah?” Dzikri menunjuk dirinya sendiri.
Dhien menoleh ke samping menatap pemuda berkaos abu-abu dan mengenakan topi hitam. “Karna ada kau disini, makanya aku ucap macam tadi. Supaya bila nanti ketahuan pak Lurah atau istrinya, tinggal bilang saja kalau sebelumnya sudah izin dengan mu!”
“Dasar wanita … entahlah! Bingung aku nak cakap apa, kau tu terkadang waras, tapi lebih banyak sedengnya (kurang/gila).” Dzikri bersedekap tangan.
Agam dan Mala yang duduk di kursi tunggu, hanya menggeleng saja. Lelah perjalan jauh, membuat mereka lebih banyak diam daripada terlibat perdebatan yang sudah tahu siapa pemenangnya.
“Kau haus tak, Nur?” tanyanya tanpa melihat Amala.
“Sedikit, Bang. Tapi, masih dapat ditahan,” jawabnya seraya memperhatikan Dhien.
“Saya ke depan sebentar, mau minuman dingin atau air mineral?”
“Terserah Abang saja!”
Agam tersenyum samar, lalu dirinya keluar dari bangunan ruko.
“Aku mau yang ini saja, bisa tolong uruskan, Dzi?” pintanya lembut.
Sebelum menjawab, terlebih dahulu pemuda tampan dengan wajah khas pria lokal itu membuang muka, menyembunyikan rona hangat pada pipi.
‘Sudah lama sekali aku tak mendengar mu, memanggil Dzi, Dhien.’
“Betul itu yang kau mau? Bila masih ragu, masih ada waktu untuk melihat-lihat terlebih dahulu!”
“Tak lah, ini saja sudah bagus. Yang penting mesin dan rangkanya tahan banting! Takutnya bila nanti di pinjam si Meutia, bakalan terjun bebas ke sungai atau jurang dibuatnya, jadi paling utama tu, kekuatannya!” Dhien melirik sinis sosok yang asik meletuskan permen karet.
“Kak Dhien, terlalu berlebihan! Baru juga sekali ku buat melompat, sudah dicap macam penjahat ulung awak ni!” Meutia mendekat.
“Sekali pala kau, Meutia! Apa kabar tempo lalu, karena keusilan mu menculik anak Angsa, kita jadi dikejar induknya! Paling gila saat kau menerjang banjir, bukan cuma si Samson yang tenggelam, kita pun ikutan berenang di air campur lumpur! Masih banyak lainnya lagi, tak cukup satu buku untuk menulis kelakuan ajaib mu, Tia!”
“Cukup! Kalian bisa tak sebentar saja, jangan berdebat?!”
“TAK!”
“Astagfirullah!” bukan cuma si Dzikri yang beristighfar, mbak SPG dan lainnya juga ikutan mengelus dada.
Dzikri pun bergegas mengurus pembelian motor, agar segera bisa pergi.
“Pantas saja dari tadi kau diam, Mala! Ternyata asik mengunyah dirimu!” Dhien duduk di sebelah Amala yang sedang makan kue pancong dan minum es teh dibungkus plastik ada sedotannya.
Kue Pancong.
“Daripada adu mulut dengan kalian, mending ku makan, perut kenyang, otak pun segar! Bukannya naik pitam dan kelaparan!” balas Mala.
“Bang Agam kemana, Kak?” Meutia mengambil satu buah kue.
“Ini, Nur!” Agam yang sedari tadi bolak-balik keluar masuk bangunan ruko, demi mencari jajanan kesukaan Amala, kini menenteng satu plastik lagi yang berisi kue Timphan khas Aceh.
Kue Timphan Labu kuning.
“Kalau sama Kak Mala saja, tanpa dipinta langsung gerak cepat! Coba bila dengan Tia, harus mengulang sampai berkali-kali baru Abang jalan!” Meutia menatap kesal abangnya.
“Makan, Tia! Biar punya banyak tenaga untuk berkicau lagi! Kadang Abang heran dengan mu, kepintaran berdebat, bergelut, berteriak-teriak macam orang kesurupan … sebetulnya menurun dari siapa? Jelas bukan dari Nyak, almarhum Ayah, apalagi Abang dan Wahyuni! Lantas dari mana datangnya?”
“Bisa jadi kau anak pungut, Tia!” celetuk Dhien.
“Jahatnya, minta disumpal kaos kaki mulut Kakak ni!” Meutia mencekik leher Dhien, berakhir mereka saling serang di atas lantai keras dan berujung tertawa terpingkal-pingkal.
“Maaf sebelumnya, Bang. Tapi, saya betulan penasaran. Mereka berdua sehat ‘kan?” tanya seorang wanita cantik, seraya memperhatikan Dhien dan Meutia.
“Sehat, cuma sedikit tak waras saja! Ibarat kata kurang se-ons lah,” jawab Dzikri asal.
Mbak SPG pun tersenyum sungkan, antara percaya dan tidak.
Selepas dari membeli motor, kelima sosok tadi memasuki pajak (pasar) besar kota kabupaten.
“Ayo kita keliling, Bang! Tia sudah siapkan ini!” Meutia mengeluarkan tas selempang terbuat dari karung beras bulog, yang muat berat 20 kg.
“Ayek pun muat masuk dalam karung mu tu, Tia! Mengapa tak sekalian kau bawa gerobak dorong, biar bisa memborong lebih banyak lagi!” sindir Dhien.
Meutia membeli makanan apa saja yang terlihat enak, dan sedap dipandang mata. Dhien dan Amala menjadi sungkan dikarenakan memang mereka berdua yang ekonominya bisa dibilang paling bawah, sehingga enggan kala ditawari sesuatu.
Namun, si bungsu Siddiq sangat pengertian, dia tidak belanja untuk dirinya sendiri, juga memborong dan membagikannya kepada kedua sahabatnya.
Dzikri juga tidak sungkan-sungkan mengeluarkan uangnya, yang memang membawa nominal fantastis.
Ini momen langka bagi mereka semua, bisa pergi bersama tanpa ada ikatan halal pernikahan. Meskipun tidak saling berdekatan apalagi bersentuhan.
.
.
“Winda, sini lah!” Indri memanggil sepupunya Zulham.
“Apa ada, Kak? Kalau tak penting nanti saja! Aku hendak pergi jalan dengan Suci!”
“Kau tu kan calon perawat, pasti tahulah sedikit tentang manfaat ni!” Indri membuka plastik yang tadi dia bawa dari rumah Dhien.
Winda memperhatikan buah dan daun, keningnya mengernyit masih tidak paham maksud Indri. “Ini buah dan daun kecubung, ‘kan?”
“Iya. Setahuku bisa buat orang mabuk, tapi selebihnya tak tahu!” balas Indri.
“Lantas kalau sudah tahu manfaatnya mengapa Kakak bertanya lagi? Lagipula untuk apa menyimpan barang hampir busuk?”
“Ini aku ambil dari rumah si Wanita Pembawa Sial, tu!”
Mata Winda terbelalak, berbagai pertanyaan memenuhi benaknya.
‘Kecubung, Dhien, Fikar menikah, sehari langsung cerai, sepertinya saling berkaitan.’
“Ayo ikut aku ke rumah Suci, Kak!” Winda jadi lebih bersemangat, mengengkol motornya, lalu pergi ke rumah temannya yang masih satu kampung.
Tidak berselang lama, motor Winda sudah terparkir di halaman rumah Ramlah, bergegas mereka turun.
“Loo, kok Kak Indri ikut?” tanya Suci yang memang menunggu di teras rumah.
“Bang Fikar ada dirumah tak, Ci?”
“Ada. Dibelakang dia, sedang melatih Ayam jago, mengapa kau tanya tentangnya, Win?”
“Tak usah banyak tanya, ayo ikut aku saja!” Bertiga mereka ke belakang rumah.
“Ada apa kalian terburu-buru macam orang dikejar hantu?” Fikar bertanya sambil mengelus kepala Ayam jago.
“Apa Bang Fikar, betulan sudah bersetubuh dengan, Dhien?” tanya Winda tanpa basa-basi, lalu memperlihatkan apa yang dia bawa tadi.
“Apa betul kalau kecubung bisa membuat seseorang seperti berhalusinasi, macam lupa diri, dan tak mengenali apapun, Win ...?"
.
.
Bersambung.
semangat Thor..