"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu?
Gue keluar dari gedung perusahaan, mengeringkan leher gue pakai tangan sambil jalan ke arah mobil di parkiran.
"Pak Batari!"
Gue refleks nengok. Ada seorang bapak tua berambut abu-abu dengan baju yang agak kusut.
"Ya?"
"Maaf banget gangguin bapak begini. Saya tahu bapak pasti capek dan pengen buru-buru pulang."
"Maaf, tapi... bapak siapa?"
Dia buru-buru ngeluarin kartu identitasnya. "Nama saya Pualam. Saya kerja di bagian kebersihan… eh, mantan petugas kebersihan."
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Saya tahu bapak orang sibuk dan urusan begini pasti bukan ranah bapak, tapi hari ini saya dipecat." Saat itu juga, gue baru sadar matanya merah dan bengkak. "Saya punya empat anak yang harus saya nafkahi. Saya udah kerja di perusahaan ini seumur hidup saya. Mungkin saya lancang, tapi… bisa bantu saya, Pak?"
"Alasan bapak dipecat apa?"
Dia nunduk, kayak malu. "Saya udah tua. Mungkin saya gak sekuat dulu, tapi saya selalu jaga kebersihan, Pak Batari. Saya janji…"
Gue maju selangkah lebih dekat ke dia. "Udah berapa lama bapak kerja di sini?"
"15 tahun, Pak."
"Saya boleh panggil bapak, Pualam?
Dia angguk pelan.
"Selama ini bapak kerja di posisi apa aja?
"Cuma jadi petugas kebersihan, Pak. Saya gak pernah lulus sekolah, jadi…"
"Ikut saya, Pualam."
Gue jalan balik ke gedung, dan dia ngikutin dari belakang.
Sesampainya di kantor, gue suruh dia duduk di depan meja gue. Dia duduk dengan kepala nunduk, tangannya saling menggenggam di pangkuan.
Gak lama, Hilna, kepala HRD, masuk ke ruangan. Beruntung dia masih lembur, jadi gue bisa langsung manggil. Dia masuk dengan senyum lebar, tapi begitu lihat Pualam di sana, ekspresinya langsung berubah.
"Selamat sore."
Pualam buru-buru berdiri. "Selamat sore, Bu."
Gue duduk tegak. "Hilna, Pualam bilang dia dipecat tanpa alasan yang jelas. Gak ada pesangon, gak ada kompensasi dan gak dapat apa-apa."
Hilna gelisah, nyembunyiin tangannya di belakang punggung. "Pualam mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya."
"Dia gak ngerjain pekerjaannya?"
"Bukan begitu… Dia kerja, tapi lebih lambat dari standar waktu yang udah ditentukan."
"Oke, jadi lo sadar dia udah kerja di sini 15 tahun, punya empat anak yang harus dia nafkahi?"
"Iya, Pak, saya tahu."
"Dan lo pikir ini cara yang pantas buat kasih ‘terima kasih’ atas loyalitasnya selama itu?"
"Pak, mungkin kita bisa omongin ini secara pribadi…"
Hilna melirik Pualam, kayak berharap dia bisa disingkirin dari ruangan ini.
"Enggak. Pualam berhak ada di sini. Dia udah lebih lama kerja di perusahaan ini daripada lo. Dan cuma karena dia makin tua, lo pikir kita bisa buang dia gitu aja, kayak barang bekas?"
"Pak, saya gak ada niat begitu. Saya cuma berusaha… ningkatin kualitas kerja tim kebersihan."
Pualam tiba-tiba buka suara. "Pak, saya gak mau bikin masalah."
"Gak, Pualam, santai aja. Justru gue harus makasih karena lo udah kasih tahu sesuatu yang gue gak sadar."
Gue balikin pandangan ke Hilna yang sekarang jelas kelihatan panik. "Hilna, siapa kepala tim kebersihan?"
"Pak Eddie."
"Udah berapa lama dia kerja di sini?"
"Setahun."
Gue ketawa tipis. "Jadi lo mau bilang, Pualam yang udah 15 tahun kerja di sini bahkan gak dipertimbangkan buat naik jabatan jadi kepala tim kebersihan? Padahal kalau dia naik, beban kerja fisiknya lebih ringan dan dia pasti bisa ngelakuin pekerjaannya dengan baik. Dia punya pengalaman. Gue rasa gak ada yang lebih mengerti perusahaan ini dibanding dia. Tapi dia malah dipecat gitu aja?"
"Pak, Pualam bahkan gak lulus sekolah."
"Terus kenapa? Dia punya 15 tahun pengalaman. Lo pikir ada yang lebih ngerti kerjaan ini selain dia?"
"Ini keputusan yang udah dipertimbangkan dari banyak faktor, Pak."
"Oh ya? Gue gak lihat ‘faktor-faktor’ itu. Yang gue lihat cuma karyawan setia yang gak dikasih kesempatan buat naik jabatan, malah didepak."
Gue ambil dua map yang tadi gue minta, "lihat nih. Catatan kerja Pak Eddie penuh sama laporan pelanggaran dan keluhan, padahal dia baru kerja setahun. Sementara catatan kerja Pualam bersih, selama 15 tahun! Gak ada satu pun laporan buruk. Sekarang coba jelasin ke gue, bagaimana caranya lo malah milih promosiin orang yang bahkan gak layak?"
"Pak Eddie masih muda."
Gue nyengir sinis. "Hati-hati sama omongan lo. Kedengarannya ini udah masuk diskriminasi umur."
Hilna langsung kelihatan panik. "Gak, Pak! Saya gak maksud begitu, saya…"
"Gue kasih tahu bagaimana kita bakal beresin ini, karena ini udah hari Jumat, dan gue yakin semua orang udah pengen pulang." Gue mulai jalan muterin meja, siap buat ngambil keputusan. Gue berdiri di depan meja kerja dan menghadapi Pualam. "Atas nama perusahaan, gue minta maaf, Pualam."
Mata Pualam langsung berkaca-kaca. "Pak nggak perlu—"
Gue taruh tangan gue di bahunya. "Kesetiaan dan dedikasi lo nggak bakal gue anggep sepele. Gue mau lo jadi kepala tim kebersihan. Lo bisa mengatasinnya?"
Dia buru-buru ngelap air matanya, kelihatan agak malu. "Iya, Pak. Bisa."
"Bagus."
Gue nengok ke Hilna, dia pasti udah tahu maksud gue. Dia langsung nundukin kepala.
"Maaf, Pualam. Gue nggak ada maksud buat ngerendahin atau ngelewatin batas."
"Tenang aja," jawab Pualam santai. "Ibu cuma berusaha ngelakuin kerjaan ibu."
Begitu Pualam pergi dan gue tinggal berdua sama Hilna, nada suara gue berubah dingin.
"Ini yang terakhir kalinya, Hilna. Jangan sampe posisi tinggi bikin lo lupa sama kerja keras orang-orang yang ada di bawah lo."
"Iya, Pak," jawabnya pelan.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Udah lama banget sejak terakhir kali gue pulang ke rumah matahari masih nongol di langit. Makanya, gue agak kaget pas lihat ruang tamu nggak kosong dan gelap kayak biasanya. Justru sekarang ruangan itu kelihatan hidup.
Ellaine sama Asta duduk di sofa gede, nonton TV bareng. Ellaine ketawa ngakak gara-gara sesuatu yang Asta bilang, terus dia jahil melempari popcorn ke cowok itu.
Gue genggam gagang pintu lebih kenceng dari yang seharusnya.
Gila, Ellaine kelihatan nyaman banget sama dia.
Gue pengen jalan ke arah mereka dan ambil jarak sejauh mungkin di antara mereka. Kata-kata Elnaro terus terngiang di kepala gue.
Jangan sampai...
Gue sengaja nutup pintu dengan keras, bikin mereka berdua noleh.
Senyum di wajah Ellaine langsung lenyap. Dia berdehem pelan, terus pura-pura fokus ke film di TV. Asta juga gitu, tapi dia menyodorkan bisikan kecil ke Ellaine yang bikin cewek itu ketawa lagi.
Bisik-bisik sekarang?
Norak banget.
"Ellaine, bisa bikinin gue makanan?" tanya gue, sengaja pakai nada datar.
Asta langsung nengok.
"Kita lagi nonton, jangan jadi perusak suasana, deh."
Ellaine mandangin gue, tatapannya sedingin es.
"Makanan tuan sudah ada di meja. Bisa angetin di microwave sendiri. Atau tuan nggak tahu cara makenya?"
Asta nutup mulutnya biar nggak ketawa.
Gue maju selangkah lebih dekat ke sofa.
"Gue pengen salad buah. Yang fresh, baru dipotong."
Asta mendengus. "Jangan nyusahin, Antari. Udah lah, biarin dia—"
"Gue nggak ngomong sama lo," potong gue, tajam.
Ellaine bangkit dari sofa. "Udah, Asta. Pause dulu, gue balik bentar lagi."
Asta memperhatikan gue dengan tatapan nggak suka, tapi gue cuek. Gue ngikutin Ellaine ke dapur.
Gue sadar gue lagi jadi brengsek sekarang, tapi melihat mereka bareng-bareng bikin perut gue panas.
Bagaimana kalau selama tiga bulan ini ada yang lebih dari sekedar ngobrol di antara mereka?
Dada gue sesek pas bayangin Ellaine di pelukan Asta, ciuman mereka, atau yang lebih parah… jangan, Antari, jangan pikirin itu.
Ellaine motong buah dengan cekatan. Gue keingat pagi itu, pas kita baru aja melewati malam penuh gairah, pas gue godain dia sambil dia motong buah di dapur.
Gue ada di belakangnya, napas gue nyentuh lehernya.
Ellaine cuma pakai dress santai, polos, panjangnya cuma sampai lutut. Kayak baju tidur, sebenarnya. Rambut merahnya tergerai berantakan di samping wajahnya, udah lumayan panjang, hampir nyentuh pinggang.
Gue kangen lo.
Gue mau bilang itu, tapi kata-katanya nyangkut di tenggorokan.
Ellaine selesai motong buah, menyodorkan piring ke gue, terus langsung cuci tangan dan pergi dari dapur tanpa sekalipun melihat gue.
Balik ke mode es batu lagi, ya?
Oke, sip.
Gue keluar ke ruang tamu bawa piring buah, tapi ternyata Ellaine dan Asta udah ada temennya. Anan sama Zielle duduk di depan mereka. Begitu Zielle lihat gue, dia langsung senyum lebar.
"Oh, hai, Antari!"
"Hai," jawab gue santai.
Zielle jalan ke arah gue, sementara Anan cuma diam di tempatnya.
"Gue emang nyari lo," katanya sambil menyodorkan undangan. "Ini buat ulang tahun gue. Mungkin lo nggak tertarik, tapi bakal seru kalau lo dateng."
Cewek ini punya aura yang beda. Energinya nyebar, gampang bikin orang kebawa suasana. Anan yang jauh lebih tinggi dari dia aja kalah bersinar dibanding Zielle.
"Uh, gue usahain, deh. Makasih undangannya."
Dia langsung kasih jempol ke gue. "Seru, nih!"
Anan mandangin gue dengan tatapan waspada, tapi pas Zielle balik ke arahnya, ekspresinya langsung berubah total. Dari dingin jadi penuh kekaguman.
Siapa sangka, cewek sekecil Zielle bisa jinakin player kelas kakap kayak adik gue?
Anan ngangkat tangan.
"Kita ke ruang game dulu, ada pertandingan Mario Kart yang harus diselesain."
Ellaine ngangkat alis. Dia sama Asta saling lirik.
"Oh, pertandingan?" kata Ellaine, nada suaranya penuh sindiran.
Zielle langsung merah padam.
"Eh, ya lah, gue harap kita ketemu di ulang tahun gue!" Zielle bilang sambil ngeloyor pergi bareng Anan ke lorong menuju ruang game.
Ellaine sama Asta saling lirik, senyum mereka penuh arti, kayak ada sesuatu yang mereka sembunyikan.
Itu bikin gue kesel.
Mereka bisa komunikasi cuma lewat tatapan?
Gila, gue harus berhenti ngerasa kayak gini. Rasa ini makin lama makin menggerogoti gue dari dalam.
Gue mutusin pergi ke kamar sebelum mulut gue ngeluarin sesuatu yang bakal gue sesalin nanti. Soalnya kalau udah dekat Ellaine, gue selalu aja bikin kesalahan.
Setelah mandi, gue turun buat ambil air. Tapi jujur, itu cuma alasan. Sebenarnya gue mau lihat apakah mereka masih ada di sofa. Gue udah kebayang kemungkinan apa aja yang bisa terjadi di antara mereka.
Tapi ruang tamu kosong.
Gue hampir lega, hampir aja, sampai tiba-tiba mereka berdua keluar dari dapur. Pakai baju rapi, rambut basah, mereka baru mandi.
Mereka mau pergi?
Perut gue langsung kenceng lagi, kayak diremes sama tangan tak kasat mata. Rasa ini nyebelin banget.
Ellaine pakai rok pendek sama kemeja berpotongan rendah. Jaketnya ditaruh di lengannya. Asta juga kelihatan siap buat keluar. Mereka cuma kasih senyum tipis ke gue pas lewat di samping gue.
Gue kepal tangan di sisi tubuh gue. Gue berusaha nahan diri, tapi nggak bisa. "Mau ke mana?"
Mereka nggak berhenti. Nggak ada yang nengok ke arah gue.
"Ke luar aja," jawab Asta santai.
Mereka sering keluar bareng?
Mereka udah sering jalan bareng sementara gue sibuk tenggelam di kerjaan biar nggak kepikiran Ellaine?
"Gitu doang? 'Ke luar aja' tuh bukan nama tempat," gue ketawa tipis, tapi jelas terdengar pahit.
Akhirnya Asta berhenti dan nengok ke gue. "Bukan urusan lo, Antari."
"Sejak kapan lo ngerasa bisa ngomong kayak gitu ke kakak lo sendiri?"
"Sejak kakak gue lebih milih ngebelain orang lain daripada keluarganya sendiri," jawab Asta tajam. Gue tahu dia masih dendam gara-gara gue lebih dukung keputusan bokap buat nggak biayain Anan jadi dokter.
Gue maju selangkah, tapi Ellaine langsung berdiri di antara kita.
"Asta, lo duluan aja, gue nyusul. Gue mau ngomong sama kakak lo sebentar."
Asta kelihatan nggak setuju, tapi Ellaine kasih dia tatapan mengerti. Setelah beberapa detik, dia akhirnya keluar dari rumah.
Sekarang Ellaine ada di depan gue, dan semua amarah gue tiba-tiba melemah.
"Gue cuma mau ngelurusin ini karena gue nggak mau lo sama Asta berantem," katanya, suaranya tenang tapi tegas. "Nggak ada apa-apa antara gue sama dia. Kita cuma temenan, itu aja. Malah, kita mau makan bareng cewek yang lagi dia dekatin sekarang."
Dia menyodorkan alasan itu ke muka gue, seakan nyuruh gue berhenti nyari alasan buat misahin mereka.
Gue nggak tahu kenapa gue malah senyum. Mungkin karena gue suka dia kasih gue penjelasan. Itu bikin gue ngerasa ada harapan.
Tapi gue harusnya udah belajar. Ellaine selalu bisa bikin gue salah paham.
"Jangan senyum," katanya sambil geleng-geleng kepala. "Gue nggak kasih lo penjelasan. Gue cuma nggak mau ada drama yang nggak perlu. Gue nggak bakal jalan sama Asta, gue nggak sebodoh itu. Tapi, Antari..." Dia melangkah lebih dekat, matanya mengunci pandangan gue. "Cuma karena gue nggak jalan sama Asta, bukan berarti gue nggak bisa jalan sama orang lain. Dan kalau itu terjadi, lo nggak punya hak buat ikut campur."
Dada gue langsung berasa sesek.
"Lo lagi dekat sama seseorang?" tanya gue, mencoba nyari kepastian.
Dia mengangkat bahu santai. "Mungkin. Tapi itu bukan urusan lo."
"Itu urusan gue."
Dia menyodorkan tangan ke dada gue, dorongan kecil tapi bikin gue mundur selangkah.
"Oh ya? Kenapa? atau mungkin kita harus tanya tunangan lo dulu, bagaimana perasaan dia soal ini?"
Gue gigit rahang, rasa bersalah nyelip di antara semua emosi gue. "Ellaine, ini nggak sesimpel itu."
"Buat gue ini sederhana, Antari. Lo udah tunangan. Berhenti ikut campur dalam hidup gue, sesimpel itu."
Tapi gue nggak bisa. Dan gue nggak mau.
Ngebayangin Ellaine jalan sama orang lain, ketawa buat orang lain, jatuh cinta sama orang lain, itu semua nyakitin gue dengan cara yang nggak bisa gue jelasin.
Gue maju selangkah, tapi Ellaine juga mundur. Dia tetap jaga jarak. "Sampai ketemu, Antari."
Dia pergi, ninggalin gue di sana, sendirian.
Ini yang selalu terjadi di antara kita. Gue cuma bisa memperhatikan punggungnya menjauh. Lagi dan lagi.
Suatu hari nanti, dia nggak bakal pergi sendirian. Bakal ada seseorang di sampingnya.
Gue tahu itu.
Dan gue juga tahu kalau gue nggak bakal sanggup nerima kenyataan itu.
Gue harus ngelakuin sesuatu kalau gue nggak mau kehilangan dia.
Lucu.
Di perusahaan, gue bisa ambil keputusan dengan mudah.
Tapi di hidup gue sendiri?
Gue pengecut.
Dan itu bikin gue jijik sama diri gue sendiri.
btw yg ngerasain perawannya ella natius kah 🤔🤔
senang nih antari bakal ada ellaine di kantornya 🥰 thanks elnaro
kayaknya bener,antari bukan batari,tapi emang karna jadi seorang batari lah antari jadi pengecut
akhirnya jadi tau asal luka di tangan antari dan memar di wajah asta
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔