Wanita, seorang insan yang diciptakan dari tulang rusuk adamnya. Bisakah seorang wanita hidup tanpa pemilik rusuknya? Bisakah seorang wanita memilih untuk berdiri sendiri tanpa melengkapi pemilik rusuknya? Ini adalah cerita yang mengisahkan tentang seorang wanita yang memperjuangkan kariernya dan kehidupan cintanya. Ashfa Zaina Azmi, yang biasa dipanggil Azmi meniti kariernya dari seorang tukang fotokopi hingga ia bisa berdiri sejajar dengan laki-laki yang dikaguminya. Bagaimana perjalanannya untuk sampai ke titik itu? Dan bagaimana kehidupan cintanya? Note: Halo semuanya.. ini adalah karya keenam author. Setiap cerita yang author tulis berasal dari banyaknya cerita yang author kemas menjadi satu novel. Jika ada kesamaan nama, setting dan latar belakang, semuanya murni kebetulan. Semoga pembaca semuanya menyukainya.. Terimakasih atas dukungannya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Keputusan
Malam minggu, Azmi dikejutkan dengan kedatangan tamu bakda maghrib. Azmi yang melupakan chatingannya dengan Priyo tidak menyangka laki-laki itu menepati perkataannya. Priyo datang sendiri dan berbicara dengan kedua orang tua Azmi.
“Maksud kedatangan saya adalah untuk melamar anak Bapak dan Ibu.”
“Tapi kenapa saya melihat anak saya terkejut melihat kedatangan Anda.”
“Ya, karena memang saya ingin serius tanpa melakukan hal yang dilarang oleh agama.”
“Saya akui keberanian kamu. Tetapi untuk jawaban, semuanya saya serahkan kepada Azmi karena dia yang akan menjalaninya.”
“Bolehkah saya bicara berdua dengan Azmi?”
“Boleh, Silahkan bicara di teras!”
Priyo menganggukkan kepalanya, lalu keluar diikuti Azmi. Keduanya duduk teras dengan canggung.
“Mas serius?” Tanya Azmi konyol.
Kalau tidak serius, untuk apa Priyo datang sesuai dengan yang dijanjikan?
“Jelas aku serius.”
“Apa yang membuatmu memilihku? Kamu tidak bahkan tidak mengenalku.”
“Aku sudah memperhatikanmu sejak lama dan aku mantap memilihmu.”
“Apa yang membuatmu mantap?”
“Kamu tidak seperti perempuan lain yang mencari perhatian laki-laki, kamu menjaga pandanganmu, dan kamu tidak peduli dengan laki-laki yang menggodamu.”
“Itu tidak bisa menjadi ukuran kamu mengenalku.”
“Kita bisa mengenal saat sudah menikah. Aku tidak mau berhubungan tanpa dasar pernikahan, karena itu diharamkan.” Azmi terdiam.
“Tunggu sini dulu, Mas.” Priyo menggangguk.
Azmi menemui kedua orang tuanya yang masih menunggu di ruang tamu. Ia mengutarakan apa yang dibicarakannya dengan Priyo.
“Ayah menyerahkan keputusan ditanganmu, Nak. Tetapi jika boleh jujur, Ayah suka dengan laki-laki yang gentleman sepertinya. Tidak mudah mencari laki-laki yang berkomitmen seperti itu.”
“Ibu ikut kamu saja.”
“Bagaimana jika Azmi menerimanya?”
“Itu bagus, tetapi jangan karena terpaksa.”
“Kalau menolak?”
“Menolak juga tidak masalah kalau memang kamu ragu.”
Azmi berpikir kembali. Antara menerima dan menolak ia ragu memilih yang mana. Ia awam dengan lawan jenis. Satu-satunya laki-laki yang dekat dengannya adalah Kenzie yang akhirnya mengkhianatinya. Teman-temannya yang laki-laki juga tidak pernah mengungkapkan penilaian mereka tentang perempuan karena bagi mereka pacaran ya pacaran, putus ya cari lagi. Tetapi perkataan sang ayah yang mengatakan kalau jarang ada laki-laki seperti Priyo, Azmi mempertimbangkannya.
“Apakah mengenal setelah menikah lebih baik daripada pacaran?” Batin Azmi.
Azmi berdiri dan keluar menemui Priyo. Ia memintanya untuk masuk. Setelah Priyo masuk, Azmi mengatakan keputusannya. Ia menerima lamaran Priyo.
Kedua orang tuanya dan Priyo mengucapkan hamdalah bersamaan. Bukan Ayah Azmi tidak ingin mencari tahu lebih lanjut tentang Priyo, beliau masihlah orang Jawa yang menganggap jika menolak lamaran maka akan membuat sang anak kehilangan kesempatan suatu hari nanti. Sedangkan sang ibu hanya mengikuti keputusan suaminya.
Percakapan dilanjutkan memilih hari untuk melangsungkan pernikahan dan jujuran yang akan diberikan Priyo untuk Azmi. Priyo juga mengutarakan jika setelah menikah akan membawa Azmi tinggal bersamanya di rumahnya. Kedua orang tua Azmi tidak keberatan karena memang sudah selayaknya seorang istri mengikuti suaminya.
Mereka sepakat akan melangsungkan pernikahan saat cuti nanti. Priyo akan mengajukan cuti dihari yang sama dengan Azmi. Setelah semua pembahasan selesai, Priyo berpamitan pulang.
“Kamu yakin, Nak?” Tanya Ibu Azmi yang saat ini menemui Azmi dikamarnya.
“Masih belum pasti yakin, Bu. Tetapi Azmi akan meyakinkan diri dan berusaha menjadi istri yang baik.”
“Ibu akan mendukungmu, Nak.”
Azmi tak bisa tidur malam ini. Ia masih memikirkan apakah keputusannya menerima lamaran Priyo sudah benar atau salah. Ia tak tahu harus bagaimana. Entah pukul berapa, Azmi akhirnya terlelap dan bangun kesiangan di pagi hari. Beruntung dirinya sedang ada tamu bulanan, jadi tidak tertinggal sholat subuh.
“Kakak begadang?”
“Tidak juga.”
“Lalu kenapa kesiangan?”
“Tidak bisa tidur.”
“Apa Kakak ragu?”
“Menurutmu?”
“Pernikahan tiba-tiba apa tidak terlalu buru-buru? Setidaknya berkenalan dulu. Kakak juga belum tahu keluarganya seperti apa.”
“Dia sebatang kara.”
“Benarkah? Terus apakah Kakak tahu sifatnya?”
“Aku juga tidak tahu, ada bagusnya mengenal setelah menikah.”
“Terserah Kakak saja!”
“Kamu mendukung tidak?”
“Mendukung saja. Yang penting itu yang terbaik untukmu.”
“Terima kasih adikku..” Azmi mencubit kedua pipi Egi.
Egi kesal ketika sang Kakak mencubit pipinya. Ia yang memiliki perawakan pendek terlihat cubby, membuat orang-orang suka mencubit pipinya. Tetapi semakin adiknya kesal, Azmi justru semakin menggoda adiknya.
Selesai mengerjai sang adik, Azmi pergi ke tukang jahit untuk mengambil jahitan yang akan ia gunakan untuk pernikahan Selfi hari Senin nanti. Bahan yang diberikan Selfi adalah brukat dan satin silk. Azmi meminta dibuatkan gamis polos dan brukat dibuat long outer. Tetapi karena keterbatasan kain, tukang jahit mengakalinya dengan membuat gamis sedikit pres bodi dengan serut disebelah kanan.
Azmi mencobanya dan merasa pas di tubuhnya. Ia membayar biaya jahit dan membawa pulang pakaiannya. Sampai dirumah, Azmi mencuci pakaian dan mengeringkannya. Setelah itu menghabiskan waktu dengan membersihkan kamarnya yang sudah seminggu tidak ia bersihkan karena setiap pulang bekerja ia tidak ada tenaga untuk membersihkannya.
Ting! Ting! Ting!
Azmi membuka pesan masuk di ponselnya. Beberapa pesan dari teman-temannya ia balas segera. Kemudian ada pesan di grup Warehouse yang sednag ribut dengan pembicaraan kesalahan fuel truck saat mengisi unit di lapangan dan beberapa nomor baru.
+628522xxxxx: Assalamu’alaikum.. Azmi, aku mengirimkan hantaran yang akan aku bawa. Jika ada yang kurang atau ada batang yang kamu inginkan bisa mengatakannya.
+628522xxxxx: (Foto)
Azmi: Wa’alaikumsalam.. Itu sudah cukup, Mas.
+628522xxxxx: Makeup yang biasa kamu pakai apa?
Azmi: Aku biasa pakai dari MK, Mas.
+628522xxxxx: Apa saja?
Azmi: (Foto)
+628522xxxxx: (Jempol)
Melihat pesannya dengan Priyo, Azmi masih merasa tidak percaya jika mereka akan menikah. Ia berharap pernikahannya bisa berjalan lancar dan langgeng nantinya. Azmi menyimpan nomor Priyo di ponselnya. Setelah itu ia melanjutkan mengganti seprai dan merendamnya.
“Mau dibuat seperti apa pernikahannya nanti?” Tanya Ayah Azmi saat mereka selesai makan malam.
“Azmi ikut pengaturan Ayah dan Ibu.”
“Bagaimana kalau sederhana saja?”
“Tidak bisa, Ayah! Pasti nanti banyak dari teman-teman Ayah yang protes kalau mereka tidak diundang.” Kata Ibu Azmi.
“Ibu benar, tetapi bagaimana cara kita menyiapkan pernikahan dalam waktu satu bulan?”
“Untuk makanan, dekor, MUA dan hiburan, Ibu ada kenalan. Tenda bisa memakai punya paguyuban dan untuk panitia, kita bisa mengundang orang-orang yang Ayah pilih untuk pembentukan panitia minggu depan.”
“Kalau Ibu bilang seperti itu, Ayah ikut.” Azmi juga mengangguk.
“Untuk uang jujuran, sudah dikirim apa belum?”
“Belum, Yah.” jawab Azmi.
“Kita pakai yang ada dulu.” Ibu Azmi mengangguk.
“Azmi bagian souvenir dan kartu undangan ya?” Azmi menganggukkan kepalanya.
Ia bisa memesannya via online, jadi tak masalah karena tanggal sudah ditetapkan.