Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.
Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.
bagaimana kelanjutannya?
silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.
mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you
selamat membaca
see you 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
waktu kerja Elina telah usai, hari mulai sore. ia duduk sebentar untuk meluruskan sedikit pinggangnya yang terasa kaku. entah kemana perginya Luna, beberapa kali Elina menelpon namun handphone sahabatnya itu tidak bisa terhubung.
tidak biasanya seperti itu.
Elina merasa sangat canggung ketika bosnya Ryan mulai mendekatinya. Pipinya memerah, dan dia berusaha menghindari tatapan Ryan. Dia merasa tidak pantas menerima perhatian lebih dari bosnya, apalagi Ryan yang sangat tampan dan juga perhatian padanya akhir akhir ini. Perasaannya campur aduk antara rasa senang dan rasa takut.
"pak Ryan," Elina memulai, suaranya hampir berbisik, ketika Ryan duduk berdekatan dengannya.
"aku... aku tidak enak badan." Dia mencoba tersenyum, tapi hasilnya terlihat dipaksakan dan kikuk.
"Mungkin aku harus pulang lebih awal."kata Elina lagi. beberapa teman sedang memperhatikannya, dan ia merasa sedikit canggung.
Ryan mengerutkan kening, khawatir. "Apa kau sakit, Elina? Wajahmu pucat sekali."
"A aku... hanya sedikit pusing," jawab Elina, gugup. Dia menggigit bibirnya, merasa sangat malu. Dia tidak bisa menjelaskan sebenarnya bahwa dia merasa tidak pantas mendapatkan perhatian dari bosnya.apalagi akhir akhir ini Ryan telah banyak membantunya dalam hal apapun, kedekatannya membuatnya sangat tidak nyaman.
Ryan tampak mengerti, meskipun mungkin tidak sepenuhnya.
"Baiklah, Elina. Pulanglah dan istirahat. Jangan paksakan diri." Dia tampak sedikit kecewa, tetapi tetap bersikap pengertian.
Elina buru-buru berpamitan, merasa lega sekaligus sedih. Dia merasa telah melukai perasaan Ryan, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara lain untuk menjelaskan perasaannya yang rumit dan memalukan. Dia berharap Ryan bisa mengerti bahwa bukan niatnya untuk menolaknya, tetapi dia hanya merasa tidak pantas dan sangat malu dengan situasi ini.
Sejak pertama kali Elina bekerja di restorannya, Ryan sudah merasakan ketertarikan yang kuat padanya. Bukan hanya karena kecantikan Elina, tetapi juga karena sikapnya yang ramah, pekerja keras, dan penuh dedikasi. Dia memperhatikan bagaimana Elina selalu tersenyum, bahkan ketika sedang menghadapi situasi yang sulit. Keuletannya dalam bekerja dan kebaikan hatinya membuat Ryan semakin kagum.
Perasaan itu awalnya hanya sekadar kekaguman, tetapi lama-kelamaan tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam. Ia seringkali menemukan dirinya memperhatikan Elina secara diam-diam, memperhatikan setiap gerakan dan ekspresi wajahnya. Dia menikmati setiap kesempatan untuk berinteraksi dengan Elina, meskipun hanya sebatas percakapan singkat tentang pekerjaan.
Namun, Ryan juga sadar akan perbedaan status mereka. Dia adalah pemilik restoran, sementara Elina hanyalah seorang karyawan. Dia khawatir bahwa perasaannya akan membuat Elina merasa tidak nyaman, bahkan mungkin membuatnya takut. maka nya itu, dia selalu menahan perasaannya, hanya berani mengungkapkan kekagumannya melalui sikap yang penuh perhatian dan hormat.
Keengganan Elina untuk menerima perhatiannya yang lebih dari sekadar profesional semakin memperkuat keraguan Ryan. Dia merasa telah salah menilai situasi, dan kini dia hanya bisa menyimpan perasaannya dalam-dalam, menyesali keberaniannya yang terlambat dan kehati-hatiannya yang berlebihan. Dia menyadari bahwa mungkin kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya telah hilang.
tapi ia akan mencoba mungkin saja keraguan nya itu hanya perasaan nya saja.
.
.
.
flashback
Suasana restoran agak sepi. Ryan menghampiri Luna yang sedang membersihkan meja, raut wajahnya tampak gelisah.
"Luna, bisakah kita bicara sebentar?" tanya Ryan, suaranya sedikit ragu.
Luna meletakkan kain lapnya,
" Ada apa pak? ada yang bisa ku bantu? "
Ryan menghela napas,
"Begini, aku... aku ingin mengungkapkan perasaanku pada Elina. Tapi aku bingung harus bagaimana." Ia menggaruk kepalanya, tampak frustasi.
Luna tersenyum simpul,
"Wah, ini serius nih. pak Ryan suka Elina?" jawab Luna. kecurigaannya beberapa hari ini terjawab kan sudah, dari perhatiannya dan cara bicaranya Luna sudah bisa menebaknya.
Ryan mengangguk.
"Ya. Aku sudah lama menyimpan perasaan ini, tapi aku takut untuk mengatakannya. Aku takut ditolak, atau takut merusak kepercayaannya"
Luna berpikir sejenak,
"Tenang saja, pak. Aku akan membantumu. Ceritakan lebih detail, bagaimana perasaan pak Ryan dan yang ingin pak Ryan sampaikan padanya."
Ryan menceritakan perasaannya pada Elina dengan detail, dari awal pertemuan hingga perasaan yang ia rasakan saat ini. Luna mendengarkan dengan seksama, sesekali memberikan masukan dan saran.
"Bagaimana kalau pak Ryan mengajaknya makan malam? Suasana yang romantis, itu bisa membantu," saran Luna.
Ryan tampak berpikir,
"Ide bagus! Tapi tempatnya di mana? Dan bagaimana jika ia menolak ajakanku?"
Luna tersenyum,
"Jangan terlalu khawatir. Yang penting pak Ryan jujur dan tulus dalam mengungkapkan perasaan itu. Pilih tempat yang nyaman dan romantis, dan persiapkan kata-kata yang tepat. Aku yakin Elina akan menghargai kejujuran pak Ryan"
Ryan merasa lebih tenang setelah berbicara dengan Luna. Ia merasa lebih percaya diri untuk mengungkapkan perasaannya pada Elina. Ia berterima kasih pada Luna atas bantuan dan dukungannya.
Flashback off
.
.
Keesokan harinya, Elina langsung menghampiri Luna begitu sampai di restoran. Ia sedikit khawatir karena Luna tidak masuk kerja kemarin.
"Lun, kenapa kemarin gak masuk kerja? Aku khawatir," tanya Elina, suaranya lembut.
"Maaf, Lin. Aku kemarin kurang enak badan. Sakit kepala dan mual." Luna tersenyum
Elina mengerutkan kening,
"Serius? Sakitnya parah gak? Harusnya kamu bilang dong, aku bisa bantu."
Luna menggeleng.
"gak papa kok, Lin. Sekarang sudah baikan. Hanya sedikit lelah saja." Ia berusaha menyembunyikan rasa sebenarnya.
Elina masih tampak khawatir.
"Lain kali kalau sakit, bilang ya. Jangan sampai kamu memaksakan diri."
Luna mengangguk.
"Iya, Lin. Terima kasih." Ia merasa bersyukur memiliki sahabat sebaik Elina. Meskipun ia tidak bisa menceritakan masalah sebenarnya, dukungan Elina sudah cukup untuk membuatnya merasa lebih baik.
Ryan menemukan Luna di pojok ruangan yang agak sepi di restoran. Ia menghampiri Luna dengan senyum ramah, namun ada sedikit kekhawatiran di matanya.
"Lun, kamu baik-baik saja? Kemarin kamu ijin tidak masuk kerja, kenapa? ," kata Ryan, suaranya lembut.
Luna tersenyum tipis.
"Aku hanya sedikit kurang enak badan,pak. Sakit kepala dan mual. Sekarang sudah baikan kok." Ia berusaha agar suaranya terdengar biasa saja. karena keramahan Ryan, semua para karyawan tidak merasa canggung lagi dengannya, termaksud Elina.
Ryan mengangguk.
"Syukurlah. Aku khawatir terjadi sesuatu." Ia sedikit lega mendengar penjelasan Luna. Kemudian, ia kembali pada tujuan utamanya.
"Nah, mengenai rencana kita kemarin..."
Luna mengangkat alisnya.
"Rencana apa?" Ia pura-pura lupa, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Ryan tersenyum.
"Rencana untuk mengungkapkan perasaanku pada Elina! Bagaimana menurutmu? Apakah aku harus melakukannya hari ini?" Ia tampak sedikit gugup, menunggu persetujuan Luna.
Luna berpikir sejenak.
"Hari ini mungkin terlalu cepat, pak. Bagaimana kalau pak Ryan perhatikan dulu situasi Elina? Apakah dia sedang dalam mood yang baik?" Ia memberikan saran yang lebih hati-hati, mencoba membantu Ryan tanpa harus terlalu mencampuri urusan perasaannya.
Ryan mengangguk setuju.
"Baiklah. Aku akan memperhatikan situasi dulu. Terima kasih, Luna. Kau selalu tahu cara yang tepat." Ia merasa beruntung dengan adanya Luna, setidaknya ia bisa sedikit membantu.
.
.
.
.
lanjut yah
See you 😍