Menunggu selama empat tahun lebih tanpa kepastian, Anya bahkan menolak setiap pinangan yang datang hanya untuk menjaga hati seseorang yang belum tentu ditakdirkan untuknya. Ia tetap setia menunggu, hingga sebuah peristiwa membuat hidupnya dan seluruh impiannya hancur.
Sang lelaki yang ditunggu pun tak bisa memenuhi janji untuk melamarnya dikarenakan tak mendapat restu dari keluarga. Di tengah hidup yang semakin kacau dan gosip panas yang terus mengalir dari mulut para tetangga, Anya tetap masih berusaha bertahan hingga ia bisa tahu akan seperti apa akhir dari kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Dua Pilihan
"Anya, lo mending nginap di rumah gue aja deh untuk malam ini," ucap Windi menyarankan.
"Jangan deh, Win. Mending aku pulang aja, aku enggak izin sama ibu, tadi aku cuma bilang mau keluar sebentar. Karena aku ngelihat Sasha diam-diam lompat dari jendela kamarnya."
Lagi-lagi Windi dibuat bingung sama sikap Anya. "Anya, sumpah deh. Gue beneran enggak habis pikir sama lo, sampe segitunya lo khawatir sama adik lo itu. Padahal ni ya, dia sama sekali enggak pernah ngehargai pengorbanan lo sedikit pun. Lo perhatian ke dia, jagain dia, bahkan itu lebih dari apa yang orangtua kalian berikan. Namun, apa balasan Sasha sama lo? Dia malah nganggep lo itu menjadi pengganggu dalam hidupnya dia." Panjang lebar Windi bicara hanya untuk membuat Anya bisa berpikir lebih jernih lagi.
"Lalu, aku harus gimana? Aku berhenti peduli gitu sama dia? Ngebiarin dia melakukan apa pun semaunya gitu?"
Crit!"
Windi menginjak rem tiba-tiba, ia menghentikan laju mobilnya begitu mendengar pertanyaan Anya.
"Astaghfirullah, Win! Bikin jantungan aja kamu," kesal Anya sambil mengelus dadanya.
"Sorry, udah bikin lo nyaris jantungan. Pertanyaan lo tadi bikin gue pengen jitak lo tau enggak?"
"Lah, emang pertanyaan aku tadi salah ya?"
"Ya bukan gitu, pertanyaan lo barusan udah benar banget! Dan lo emang harus berhenti peduli sama dia, biar dia ngerasa ada yang kurang, saat lo udah enggak peduliin dia seperti dulu. Nah, di situ nanti lo bakal tahu kenapa dia benci sama lo," ucap Windi memberi saran yang tentunya langsung disetujui oleh Anya.
***
"Pulang sama siapa kamu?"
Ternyata pak Faisal belum tidur, lelaki itu masih duduk ngopi di teras depan.
"Sama Windi, Yah."
Pak Faisal melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam milik Windi yang masih berdiri di depan rumahnya. Beliau tidak mengatakan apa pun lagi, Anya tidak perlu dicurigai, karena dia jelas berbeda dengan Sasha.
Anya langsung masuk ke dalam, namun dia kembali menoleh saat teringat sesuatu hal. Sudah lama dia tidak melihat ayahnya sholat, bertahun-tahun telah berlalu, tapi ayahnya tetap masih seperti dulu.
Sudah banyak cobaan yang mereka lewati, berupa teguran dan itu tidak mampu mengetuk pintu hati sang ayah.
"Ayah udah sholat isya belum?" tanya gadis itu pada sosok sang ayah yang sedang menikmati kesendiriannya, ditemani dengan secangkir kopi hitam dan keripik singkong buatan ibu.
"Belum," jawab ayahnya datar.
"Ayo kita sholat berjamaah, Yah!" ajak Anya. Mungkin ayahnya tergerak hati untuk melakukannya, tapi ternyata tidak.
Ajakan Anya mendapat respon tidak baik dari sang ayah.
"Kalau mau sholat, ya sholat aja sendiri! Enggak usah ngajak-ngajak!"
"Kok ayah ngomongnya gitu, sholat itu kan wajib, Yah!"
"Emang sholat itu bisa menjamin kamu masuk surga? Enggak usah sok alim kamu, Anya."
Membeliak sepasang bola mata Anya, ketika mendengar omongan ayahnya yang tidak seharusnya berkata seperti itu.
"Ay_"
Baru saja Anya mau ngomong, ibunya malah memotong dengan menyuruhnya masuk.
"Jangan diteruskan! Sebaiknya kamu masuk ke dalam, ada yang mau ibu omongin sama ayah kamu," kata bu Aila.
Anya terdiam membisu, tidak hanya Ayah, tapi ibunya juga sama. Rasanya wajar kalau para warga kurang suka dengan keluarga mereka, ibunya jarang berkomunikasi dengan tetangga sekitar. Tidak pernah menghadiri acara pengajian yang diadakan setiap malam senin dan malam sabtu. Tidak pernah juga ikut berkumpul saat ada rapat para ibu-ibu kampung, ibunya sibuk kerja. Sedangkan ayahnya sibuk mengurusi perkebunan, dan adiknya dibiarkan bertindak sesuka hati.
"Ibu, Anya rindu keluarga kita akrab seperti dulu, waktu Anya masih kecil," lirih Anya seraya meninggalkan ayah dan ibunya yang masih di teras.
Entah apa yang hendak dibahas mereka malam-malam begini.
****
Di atas meja kerjanya, pak Burhan mendapatkan beberapa lembar foto Anya yang sedang berkelahi dengan Arya.
Beliau hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan sang istri. Terus saja mencari tahu letak kekurangan Anya, supaya istrinya bisa membujuk Rizki dengan mudah untuk menikahi Syifa.
"Mama ngikutin dia tiap hari?" tanya pak Burhan, beliau menampakkan rasa tak suka dengan apa yang dilakukan istrinya.
"Enggak juga, itu kebetulan tadi mama ngelihat dia pergi mengikuti Sasha ke tempat gym, malam-malam lagi, ya wajar dong mama ikutin," jawab bu Mila beralasan.
"Ma, Mama udah kelewatan. Setiap orang punya privasi, Ma. Papa juga enggak membenarkan apa yang Mama lakukan ini, kalau Anya tahu Mama ngikutin dia diam-diam, dan ikut mengambil foto dan juga videonya, dia pasti akan marah sama Mama!"
"Terserah Papa mau ngedukung mama atau enggak, yang pasti mama enggak akan ngebiarin Rizki nikah sama Anya! Mama enggak mau keturunan mama jadi seperti keluarga Anya!"
Rizki yang saat itu sudah berada di depan pintu ruang kerja papanya, langsung terdiam dan kembali mengurungkan niat untuk bertemu dengan papanya, begitu ia mendengar omongan sang mama tentang Anya.
Pintu ruang kerja yang tidak tertutup rapat, membuat pak Burhan dapat melihat putranya saat memutar arah dan hendak pergi.
"Rizki, kamu mau pergi ke mana lagi? Papa tahu kamu di luar, ada apa? Ada yang mau kamu bicarakan sama papa?" tanya pak Burhan.
Cuma sama papanya Rizki bisa bercerita leluasa, mengutarakan seluruh isi hatinya dengan tenang dan nyaman. Meski keluarga Anya tidak sebaik yang mereka pikirkan, namun papanya tidak pernah menjelek-jelekkan perempuan yang dicintainya itu.
Bu Mila memutar badannya, ketika suaminya mengatakan bahwa Rizki berada di luar saat itu. "Baguslah, karena kamu ada di sini sekarang artinya mama enggak perlu repot-repot manggil kamu untuk ngasih ini sama kamu." Beliau mengambil semua lembar foto itu dan memberikannya pada Rizki.
"Ma, Mama cuma melihat dia dari luar. Mama enggak kenal baik dengan Anya, Mama enggak tahu gimana baiknya pribadi Anya," tukas Rizki. Bukan membela Anya, tapi dia cuma mengatakan sejujurnya, kebenaran yang dia ketahui jauh hari saat baru pertama kali mengenal Anya sebagai adik kelasnya.
Rizki meletakkan kembali foto-foto itu ke atas meja tanpa sedikit pun melihatnya.
"Rizki, mama ngelakuin ini semua juga buat kamu sayang! Ini semua demi kebaikan kamu, mama ingin yang terbaik untuk anak mama."
Bu Mila terus saja mencoba membuat anaknya mengerti dengan semua yang dilakukannya untuk kebaikan sang anak. Namun, itu semua tak bisa membuat Rizki mengubah pandangan terhadap Anya, tak bisa menghilangkan rasa cinta itu untuk Anya.
"Dengan cara menyuruh aku menjauhi Anya dan menikahi Syifa, begitu kan?" sambung Rizki.
"Ya, karena Syifa adalah gadis yang baik. Dia berasal dari keluarga baik-baik dan terhormat, enggak seperti Anya. Papa juga setuju kamu nikah sama Syifa." Bu Mila tetap saja ngotot untuk menikahkan mereka berdua.
"Aku cuma mau minta restu dari mama sama papa untuk menikah dengan Anya, sesulit itukah memenuhi permintaan Rizki, Ma, Pa?" tanya Rizki dengan mata berkaca-kaca.
Sejauh obrolan mereka, pak Burhan tidak berkomentar sedikit pun. Beliau hanya diam dan tidak tahu harus berada di pihak mana, jadi untuk saat ini lebih baik diam. Namun, dari hatinya yang paling dalam, beliau sebenarnya setuju dengan keinginan istrinya. Lebih baik Rizki menikah dengan Syifa, tentu hidupnya akan tenang.
Anya terlalu banyak problem dalam keluarga, tidak hanya itu, pandangan warga sekitar terhadap keluarganya juga pasti tidak baik, dan kalau mereka berdua menikah, Rizki pasti akan mendapat cibiran dan banyak kritikan dari tetangga.
Belum tentu juga putra mereka bisa melewati itu semua dengan sabar dan ikhlas.
"Andai keluarga Anya tidak memiliki masa lalu kelam itu, mungkin mama tidak akan berlaku seperti ini, Nak. Mama pasti akan setuju dengan pernikahan kalian," ucap bu Mila, "kamu pasti tau kan tentang kakak lelakinya yang pernah menghamili pacarnya itu, dan mereka menjadi bahan gunjingan para warga. Tino, kakaknya Anya pergi dari rumah karena tidak mau bertanggung jawab, dan sampai sekarang tidak ada yang tahu di mana keberadaannya. Lalu, sejarah itu kembali diulang oleh adik Anya, Sasha. Dia hamil di luar nikah dengan pacarnya, dan mama yakin kalau masalah ini lambat laun juga akan diketahui oleh warga di sekitarnya. Kedua orangtuanya sibuk kerja sampai-sampai tidak sempat bersosialisasi dengan tetangganya, ayahnya bahkan tidak pernah pergi ke masjid, entah mereka sholat atau enggak, kita juga enggak tahu," pungkas bu Mila, beliau menarik napas panjang mengakhiri ceritanya.
Satu per satu aib dalam keluarga Anya dibeberkan wanita itu.
Bukan membuat Rizki jadi ragu untuk melanjutkan hubungannya, tapi yang ada dia malah tidak suka akan apa yang dilakukan mamanya.
"Sedetail itu Mama mencari dan mengumpulkan aib orang lain hanya untuk menilai berapa rendahnya mereka, hingga Anya tidak pantas untuk dicintai? Ma, siapa kita berhak menilai orang tidak baik, Mama cuma dengar cerita itu dari para warga, Mama tidak tahu bagaimana sebenarnya mereka." Rizki marah dan ke luar dari ruang kerja papanya begitu saja.
Dengan cepat dia menuruni tangga, ia tidak peduli saat mamanya mengejar dari belakang dan terus memanggilnya.
"Rizki, tolong dengerin mama, Nak! Mama enggak bermaksud seperti itu!" teriak bu Mila.
"Aku harus ketemu sama Anya, Ma!" ucap Rizki tanpa menoleh ke belakang.
"Rizki, ma_ Aaaa..."
Bu Mila tidak sempat menyelesaikan ucapannya, beliau terpeleset di tangga saat berusaha mengejar anaknya, alhasil tubuhnya berguling di tangga itu hingga sepenuhnya jatuh dan berhenti di lantai bawah.
Rizki membalikkan badannya ketika menyadari kalau hal buruk telah terjadi pada sang mama.
Deg!
"Mama!" panggilnya dengan begitu histeris. Darah segar mengalir dari kepalanya yang terbentur cukup keras mengenai ujung tangga.
Lantai marmer itu penuh dengan cairan merah kental. Rizki benar-benar merasa bersalah, berulang kali ia memanggil mamanya supaya bangun.
"Ma, bangun, Ma!" teriaknya pilu.