Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Persengkongkolan yang Terkuak
Malam itu, di kamar kecil yang disediakan Bayu sebagai tempat persembunyian, Raka duduk termenung. Bungkusan berisi dokumen-dokumen penting tergeletak di meja di depannya, seolah menjadi beban yang lebih berat daripada apa pun yang pernah ia tanggung. Ia tahu, keputusan untuk melawan sistem korup ini bukan hanya membahayakan dirinya, tetapi juga Nadia, Pak Hasan, dan bahkan Bayu.
“Raka, lo yakin mau terus jalan?” tanya Nadia pelan, yang duduk di sofa kecil di sudut ruangan.
Raka menatap Nadia dengan sorot mata penuh tekad. “Gue nggak punya pilihan, Nad. Kalau kita berhenti sekarang, semuanya percuma. Mereka akan tetap menang.”
Nadia menghela napas panjang, lalu berkata, “Gue ngerti. Tapi setelah kejadian tadi, gue makin takut mereka akan nyerang langsung. Kita harus lebih hati-hati.”
Bayu, yang baru masuk ke ruangan setelah menerima telepon, menyela, “Kita sudah nggak punya banyak waktu. Orang-orang itu sekarang tahu kalau Raka punya sesuatu yang mereka inginkan. Dan berdasarkan informasi yang gue dapat tadi, mereka mulai menggerakkan pihak keamanan bayangan mereka. Bisa jadi kita cuma punya beberapa hari sebelum mereka menyerang lagi.”
“Lalu apa langkah kita selanjutnya, Bayu?” tanya Raka dengan nada tegas.
Bayu duduk di kursi dekat meja dan memandang Raka serius. “Kita harus membawa bukti ini ke KPK sesegera mungkin. Gue udah kontak salah satu rekan gue di sana, namanya Pak Arief. Dia salah satu penyidik senior yang bisa dipercaya. Tapi masalahnya, kita harus sampai ke sana tanpa menarik perhatian.”
**Rencana Pelarian**
Mereka mulai merancang rencana untuk mengamankan perjalanan ke KPK. Bayu menyarankan agar mereka tidak menggunakan kendaraan pribadi atau transportasi umum yang biasa mereka pakai. Semua hal harus dirancang sedemikian rupa agar jejak mereka tidak mudah diikuti.
“Kita harus berangkat pagi-pagi buta, sebelum mereka bisa mengantisipasi,” ujar Bayu.
“Kita pakai jalur mana? Kalau naik mobil, pasti lebih gampang dilacak,” kata Nadia.
Bayu berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita pakai motor. Lebih cepat dan fleksibel. Gue akan minta teman gue buat ngasih motor cadangan. Dari sini, kita akan berpencar menuju titik pertemuan sebelum akhirnya bareng-bareng ke kantor KPK.”
Mereka sepakat dengan rencana itu. Namun, Raka tahu bahwa tidak ada yang bisa menjamin keselamatan mereka. Jalan ke depan tetap penuh risiko.
**Gangguan di Tengah Persiapan**
Ketika mereka sedang mempersiapkan segala sesuatunya, telepon Bayu tiba-tiba berdering. Wajahnya berubah tegang saat mendengar suara dari seberang.
“Bayu, lo harus waspada. Gue dengar ada pergerakan mencurigakan di sekitar kawasan tempat lo sekarang,” kata suara itu, yang berasal dari seorang informan kepercayaannya.
“Seberapa dekat mereka?” tanya Bayu dengan nada mendesak.
“Gue nggak yakin, tapi mereka pasti nggak jauh. Gue saranin lo segera pindah sebelum terlambat.”
Bayu menutup telepon dan langsung memberi tahu Raka dan Nadia. “Kita nggak bisa tinggal di sini lebih lama. Mereka mungkin sudah tahu lokasi ini. Kita harus pindah sekarang.”
Mereka segera mengemasi barang-barang penting, terutama dokumen yang akan dibawa ke KPK. Dengan cepat, mereka meninggalkan ruangan kecil itu dan menuju ke sebuah rumah aman lain yang sudah dipersiapkan Bayu sebelumnya.
**Jalan yang Semakin Menyempit**
Dalam perjalanan menuju rumah aman, Raka merasa bahwa setiap detik terasa seperti bom waktu. Matanya terus mengamati jalanan, memastikan bahwa tidak ada kendaraan yang mencurigakan mengikuti mereka. Namun, di sebuah persimpangan jalan, ia menyadari bahwa sebuah mobil hitam dengan kaca gelap telah mengikuti mereka sejak tadi.
“Bayu, itu mobil di belakang kayaknya ngikutin kita,” bisik Raka dengan nada khawatir.
Bayu melirik kaca spion dan mengangguk. “Gue juga sadar. Kita harus ganti jalur.”
Bayu memutar setir dengan cepat, membawa mobil mereka memasuki gang kecil yang sempit. Mobil hitam itu mencoba mengikuti, tetapi terhalang oleh beberapa kendaraan lain yang melintas.
“Kita berhasil lolos untuk sementara. Tapi mereka pasti akan terus mencari,” kata Bayu.
Setelah berputar-putar di jalanan Jakarta yang padat, mereka akhirnya tiba di lokasi aman berikutnya. Sebuah rumah kecil di kawasan yang cukup terpencil, jauh dari pusat kota.
**Peringatan dari Masa Lalu**
Di rumah kecil itu, Pak Hasan bergabung dengan mereka. Ia membawa informasi tambahan yang semakin menguatkan ancaman yang sedang mereka hadapi.
“Raka, gue tahu ini nggak akan gampang. Tapi kamu harus tahu satu hal. Orang-orang ini bukan cuma korup, mereka juga nggak ragu buat menghilangkan siapa pun yang dianggap ancaman,” kata Pak Hasan dengan nada serius.
“Apa Bapak pernah menghadapi situasi seperti ini sebelumnya?” tanya Raka.
Pak Hasan mengangguk. “Iya. Dulu, ada seorang rekan saya yang mencoba membongkar kasus serupa. Tapi sebelum dia sempat menyerahkan bukti, dia ‘menghilang.’ Sampai sekarang, nggak ada yang tahu di mana dia.”
Mendengar cerita itu, Nadia terlihat ketakutan. Namun, Raka semakin mantap. Baginya, cerita-cerita seperti inilah yang menjadi alasan ia tidak boleh berhenti.
“Kali ini kita harus berhasil, Pak. Kita nggak boleh kalah lagi,” kata Raka dengan penuh keyakinan.
Malam semakin larut, tetapi tidak ada yang bisa tidur di rumah aman itu. Pikiran mereka dipenuhi oleh ketegangan dan rencana yang harus dieksekusi keesokan harinya. Di balik semua ancaman yang mengintai, Raka tetap memegang teguh satu keyakinan: kebenaran harus terungkap, apa pun risikonya.
“Jakarta memang keras,” gumamnya dalam hati, menatap langit yang gelap di luar jendela. “Tapi kali ini, gue nggak akan kalah.”
Raka duduk di sudut ruangan, berusaha menenangkan pikirannya. Tapi suasana sepi di rumah aman malah membuat bayang-bayang ancaman semakin nyata. Ia memutar ulang semua langkah yang telah diambil, mencoba mencari celah apa pun yang mungkin menjadi kesalahan.
"Bayu, lo yakin jalur ke KPK besok aman?" tanya Raka akhirnya, memecah keheningan.
Bayu, yang sibuk memeriksa peta rute di ponselnya, mengangguk. "Sebisa mungkin gue pastikan nggak ada yang bisa ngikutin kita. Tapi kita harus siap kalau rencana berubah. Orang-orang ini bisa lebih licin dari yang kita kira."
Pak Hasan menimpali, “Masalahnya bukan cuma licin, tapi mereka juga punya orang di mana-mana. Kadang lo nggak tahu siapa yang teman atau musuh.”
Raka mengangguk pelan, lalu melihat ke arah Nadia. Perempuan itu terlihat lelah, matanya menatap kosong ke lantai.
"Nad, lo nggak apa-apa?" tanya Raka lembut.
Nadia mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis, meskipun sorot matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Gue nggak apa-apa, Rak. Cuma... gue nggak pernah nyangka kita bakal sampai di titik ini. Rasanya kayak mimpi buruk yang nggak ada habisnya."
Raka berdiri dan mendekat ke arahnya. "Lo kuat, Nad. Kita semua kuat. Gue janji, kita bakal keluar dari ini dengan selamat."
Nadia mengangguk, meski hatinya masih penuh keraguan. Tapi ia tahu, mundur sekarang hanya akan membuat semuanya sia-sia.
**Ancaman di Balik Gelap**
Di luar rumah, malam semakin sunyi. Tapi kesunyian itu tidak membawa rasa damai. Di kejauhan, suara deru motor terdengar samar, mendekati kawasan tempat mereka bersembunyi.
Bayu, yang selalu waspada, segera bangkit dari tempat duduknya. "Ada yang nggak beres," katanya sambil melirik ke jendela kecil di ruang tamu.
Raka ikut mendekat, berusaha mendengar lebih jelas. Deru motor itu semakin keras, disusul oleh suara pintu pagar yang didorong dengan kasar.
“Cepat, matikan lampu!” perintah Bayu dengan nada tegas.
Semua orang langsung bergerak. Dalam kegelapan, mereka berjongkok di sudut ruangan, berusaha tidak mengeluarkan suara. Raka bisa merasakan jantungnya berdebar kencang, sementara keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
Suara langkah kaki terdengar semakin mendekat. Beberapa orang mulai mengetuk pintu dengan keras.
“Kita tahu kalian di dalam! Buka pintunya, atau kita dobrak!” suara seorang pria terdengar lantang dari luar.
Bayu memberi isyarat agar semua tetap diam. Ia meraih teleponnya dan mulai mengetik pesan singkat ke seorang kenalannya untuk meminta bantuan.
Namun, sebelum Bayu sempat mengirim pesan itu, terdengar suara benda berat menghantam pintu. Para pria itu mulai mendobrak masuk.
**Keputusan Berani**
Dalam situasi genting itu, Raka mengambil keputusan cepat. Ia meraih dokumen-dokumen penting yang ada di atas meja, lalu memberi isyarat pada Nadia dan Pak Hasan.
"Kita harus keluar sekarang," bisiknya.
Bayu menggeleng. "Mereka pasti ada di semua sisi. Lo nggak bisa kabur begitu aja."
"Tapi kita juga nggak bisa nunggu di sini. Kalau mereka dapat dokumen ini, semuanya selesai," jawab Raka dengan tegas.
Bayu terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Oke. Gue akan coba alihin perhatian mereka. Kalian keluar lewat pintu belakang."
Tanpa membuang waktu, Bayu membuka pintu depan sedikit, lalu melemparkan sebuah kaleng kosong ke arah para pria itu. Suara bising itu membuat mereka teralihkan untuk sesaat, memberi waktu bagi Raka, Nadia, dan Pak Hasan untuk melarikan diri lewat pintu belakang.
Dengan langkah cepat, mereka berlari ke arah gang gelap di belakang rumah. Raka menggenggam erat dokumen-dokumen itu, sementara Nadia dan Pak Hasan mencoba mengikuti langkahnya.
Di belakang mereka, suara teriakan para pria itu terdengar semakin jauh, tetapi rasa takut masih membayangi. Mereka tahu bahwa ini baru permulaan, dan ancaman berikutnya bisa datang kapan saja.
Ketika mereka akhirnya tiba di sebuah tempat aman yang baru, Raka duduk terengah-engah di trotoar, menatap dokumen yang masih ia pegang erat.
“Semua ini... terlalu gila,” gumam Nadia pelan, suaranya hampir tenggelam dalam suara kendaraan yang melintas di jalan dekat mereka.
“Tapi kita nggak boleh berhenti, Nad. Kalau kita berhenti sekarang, mereka menang. Dan gue nggak akan biarin itu terjadi,” jawab Raka dengan suara mantap.
Bab ini ditutup dengan ketegangan yang masih terasa, tetapi juga tekad yang semakin kuat dari Raka untuk melanjutkan perjuangan. Ancaman terus mengintai, tetapi ia tahu, tidak ada jalan lain selain terus maju.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)