"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Endless Conversation
Malam sudah larut, tetapi apartemen sederhana di pinggir kota London itu masih terang benderang oleh lampu ruang tamu. Elea duduk di sofa, mengenakan piyama satin biru lembut yang terlihat kontras dengan kulitnya yang cerah. Rambutnya yang biasanya terikat rapi di kantor dibiarkan tergerai, menciptakan kesan santai namun tetap anggun.
Di meja kopi di depannya, secangkir teh hangat mengeluarkan uap tipis. Elea memandang cangkir itu dengan tatapan kosong, menggigit bibir bawahnya, sambil sesekali melirik ke arah Adrian yang duduk di kursi sebelah.
Adrian, pria berusia 35 tahun dengan rambut hitam yang mulai memudar di sisi-sisinya, mengenakan kaus abu-abu sederhana dan celana pendek. Ia tidak mengalihkan pandangannya dari layar ponsel di tangannya. Jemarinya terus mengetik cepat, ekspresinya serius, sepenuhnya tenggelam dalam percakapan bisnis yang tampaknya sangat penting.
"Adrian," panggil Elea dengan lembut, mencoba menarik perhatian suaminya.
"Hm?" gumam Adrian tanpa menoleh, matanya tetap terpaku pada layar.
Elea menarik napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Sudah larut. Kau tidak lelah? Mungkin kita bisa duduk bersama, bicara sedikit? Aku membuat teh kesukaanmu."
Adrian mengangguk tanpa benar-benar mendengar, tangannya tetap sibuk. "Nanti, sayang. Aku harus menyelesaikan ini dulu. Klien di Hong Kong butuh proposal revisi secepatnya."
Elea mengepalkan tangannya di pangkuannya, berusaha menahan rasa kecewa yang perlahan menjalar di hatinya. Ia tahu betapa pentingnya pekerjaan Adrian, tetapi malam-malam seperti ini sudah terlalu sering terjadi.
"Setiap malam selalu nanti," bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Adrian akhirnya menoleh sekilas, seperti baru menyadari nada dalam suara Elea. "Apa yang kau katakan?"
Elea tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan luka di balik ekspresinya. "Tidak, tidak ada apa-apa. Lanjutkan saja pekerjaanmu."
Namun, di dalam hatinya, perasaan kesepian itu semakin kuat. Elea mencintai Adrian—ia tahu itu. Tetapi cinta yang ia berikan terasa seperti menghantam tembok kosong, tanpa balasan, tanpa perhatian.
***
Apartemen mereka memiliki desain minimalis dengan dinding berwarna netral dan furnitur yang sederhana. Sofa abu-abu yang empuk, meja kopi kayu kecil, dan lampu lantai dengan cahaya hangat memberikan kesan nyaman. Namun, tidak ada sentuhan pribadi yang membuat ruangan itu terasa hidup.
Suara hujan gerimis di luar menambah suasana melankolis. Elea sering menyukai hujan—suara tetesannya biasanya memberikan ketenangan. Tetapi malam itu, hujan hanya membuat kesunyian di dalam apartemen terasa lebih menyakitkan.
***
Elea mencoba sekali lagi. "Adrian, apa kau masih ingat kapan terakhir kali kita makan malam bersama? Hanya kita berdua, tanpa gangguan pekerjaan atau telepon?"
Adrian mendesah pelan, meletakkan ponselnya sebentar di meja. "Elea, aku tahu kau ingin perhatian, tapi kau juga tahu pekerjaan ini penting. Ini untuk kita, untuk masa depan kita."
Elea menatapnya, mencoba mencari sesuatu di mata suaminya—sedikit pengertian, mungkin? Tetapi yang ia temukan hanyalah kelelahan dan ketidaksabaran.
"Aku tahu itu penting," jawab Elea dengan suara bergetar. "Tapi apa kau tidak mengerti? Aku tidak butuh masa depan yang sempurna. Aku hanya butuh suamiku ada di sini bersamaku, sekarang."
Adrian mengusap wajahnya, terlihat kesal. "Elea, aku sudah berusaha. Apa lagi yang kau inginkan? Aku bekerja keras setiap hari untuk memastikan kita hidup nyaman. Kenapa itu tidak cukup bagimu?"
Elea merasa matanya mulai panas, tetapi ia menolak untuk menangis. Ia tahu tangisannya hanya akan membuat Adrian semakin menjauh. "Aku ingin kau melihatku, Adrian. Hanya itu. Lihat aku. Dengarkan aku. Apa itu terlalu sulit?"
Adrian menggelengkan kepala, mengambil kembali ponselnya, dan berdiri. "Aku harus menyelesaikan ini. Kita bicara nanti."
"Tidak! Aku ingin kita bicara, sekarang." Elea menghela napas, berat, hampir tak terdengar.
Namun Adrian, dengan naluri tajamnya, berhenti sejenak dan menatapnya.
“Ada apa lagi, Elea?” suara Adrian terdengar datar, seperti sudah lelah sebelum mendengar jawabannya.
Elea mendongak, matanya yang berkaca-kaca mencoba mencari sisa kehangatan dalam sorot mata suaminya. “Adrian, apa kau tahu seberapa sering aku merasa seperti... aku sendirian di sini?”
Adrian mengangkat alisnya. “Sendirian? Elea, aku ada di sini. Aku selalu di sini, bukan? Apa lagi yang kau mau?” Nada suaranya naik sedikit, seolah ingin menangkis tuduhan yang belum sepenuhnya keluar.
Elea menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. Namun, malam ini dia tidak ingin mundur. “Kau ada di sini, Adrian. Secara fisik, ya. Tapi kau tahu apa yang kurasakan? Kau seperti ada di dimensi lain—dimensi pekerjaanmu, klienmu, ambisimu.”
Adrian mendekat, meletakkan ponselnya di meja dengan gerakan pelan namun tegas. “Aku bekerja keras untuk kita, Elea. Untuk hidup yang kau—yang kita—impikan. Rumah, keamanan, kenyamanan. Itu semua bukan hal yang bisa datang dengan sendirinya.”
"Lalu apa gunanya semua itu kalau aku merasa seperti tamu di rumahku sendiri?” Suara Elea bergetar, dan air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir perlahan di pipinya. “Aku tidak ingin rumah besar atau uang lebih banyak. Aku ingin kamu, Adrian. Bukan sebagai penyedia, tapi sebagai suami.”
Adrian melangkah mundur, matanya membulat. “Aku tidak percaya kau mengatakannya. Elea, aku melakukan segalanya untuk memastikan kita memiliki kehidupan yang lebih baik."
"Itu karena kau tidak mendengarkan!” sergah Elea, kali ini suaranya naik. Matanya yang biasanya lembut kini menatap tajam ke arah Adrian. “Kau tidak pernah mendengarkan. Selalu ada alasan—pekerjaan, klien, tenggat waktu. Apakah kau pernah berpikir bagaimana rasanya menjadi aku?”
Adrian membuka mulutnya, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar.
Elea berdiri, melangkah ke jendela yang menghadap ke jalanan basah oleh hujan. Tangannya menyentuh kaca dingin, matanya menerawang ke luar. “Aku hanya ingin suamiku kembali. Bukan orang asing yang berbagi tempat tidur denganku, tapi tidak pernah benar-benar ada.”
"Aku tahu. Aku tahu, Elea,” jawab Adrian dengan nada penuh penyesalan. “Tapi tidak ada gunanya membicarkan ini sekarang. Kita bahas lagi lain kali."
Elea tidak menjawab. Ia hanya menatap punggung Adrian yang menjauh ke kamar tidur, meninggalkan dirinya sendirian di ruang tamu.
***
Setelah Adrian masuk ke kamar, Elea menatap teh di meja yang kini sudah mulai dingin. Ia menggenggam cangkir itu, berharap hangatnya bisa mengusir dingin di hatinya. Namun, rasa sepi itu tetap ada, tidak tergantikan.
Sebuah notifikasi di ponselnya berbunyi. Elea meraih ponselnya dengan malas, berpikir itu hanya pesan dari grup kantor. Namun, ketika ia membukanya, sebuah pesan dari Darren muncul di layar:
"Elea, aku baru saja memikirkan sesuatu. Kenapa kau terlihat begitu tegang hari ini? Jangan bilang kau marah karena aku terlalu tampan untuk menjadi asistenmu?"
Pesan itu membuat Elea tersenyum kecil tanpa sadar. Untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa bahwa seseorang benar-benar memperhatikannya, meskipun dengan cara yang tidak terduga.
***