Celia Carlisha Rory, seorang model sukses yang lelah dengan gemerlap dunia mode, memutuskan untuk mencari ketenangan di Bali. Di sana, ia bertemu dengan Adhitama Elvan Syahreza, seorang DJ dengan sikap dingin dan misterius yang baru saja pindah ke Bali. Pertemuan mereka di bandara menjadi awal dari serangkaian kebetulan yang terus mempertemukan mereka.
Celia yang ceria dan penuh rasa ingin tahu, berusaha mendekati Elvan yang cenderung pendiam dan tertutup. Di sisi lain, Elvan, yang tampaknya tidak terpengaruh oleh pesona Celia, justru merasa tertarik pada kesederhanaan dan kehangatan gadis itu.
Dengan latar keindahan alam Bali, cerita ini menggambarkan perjalanan dua hati yang berbeda menemukan titik temu di tengah ketenangan pulau dewata. Di balik perbedaan mereka, tumbuh benih-benih perasaan yang perlahan mengubah hidup keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yanahn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal yang hangat di Bali
Malam di Bali terasa tenang. Langit bertabur bintang, dan angin laut yang lembut menyelinap masuk melalui jendela besar di rumah Elvan. Rumah itu memang besar dan modern, tetapi kehangatan di dalamnya berasal dari sosok sederhana bernama Nenek Kinan. Nenek Kinan, neneknya Elvan, adalah satu-satunya keluarga dekat yang Elvan miliki.
Di ruang tengah, Nenek Kinan duduk di kursi rotan kesayangannya, dengan sebuah selimut tipis menutupi lututnya. Matanya yang lembut menatap Elvan yang baru saja masuk setelah mengantar Celia ke vila.
“Kamu pulang terlambat, Van,” ujar Nenek dengan suara tenang namun penuh perhatian.
Elvan tersenyum tipis sambil menggantung jaketnya di dekat pintu. “Iya, Nek. Tadi ada urusan sebentar.”
Nenek Kinan mengerutkan keningnya. “Urusan apa? Kamu biasanya tidak suka keluar lama-lama kalau bukan karena pekerjaan.”
Elvan terdiam sejenak, kemudian berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. “Cuma bantu seorang teman. Tidak penting, Nek.”
Namun, Nenek Kinan mengenal cucunya lebih baik daripada siapapun. Ia tersenyum tipis, penuh arti, sebelum berkata, “Temanmu itu perempuan, ya?”
Elvan yang sedang minum hampir tersedak. “Nenek kenapa bisa tahu?” tanyanya setengah kesal.
“Insting seorang nenek tidak pernah salah,” jawab Nenek Kinan dengan tawa ringan. “Jadi, siapa dia?”
Elvan menghela napas sambil duduk di sofa. “Namanya Celia. Aku bertemu dia di bandara. Dia cuma teman kok," jawab Elvan.
“Cuma teman, tapi kamu tidak bisa berhenti memikirkannya?” goda Nenek Kinan sambil tersenyum penuh arti.
Elvan hanya memutar bola matanya, lalu bangkit dari sofa. “Aku tidur dulu, Nek. Selamat malam.”
“Selamat malam, Van.”
Namun, setelah Elvan masuk ke kamarnya, Nenek Kinan tetap duduk di kursinya sambil tersenyum kecil. Ia merasa sesuatu yang baik sedang menanti cucunya.
Keesokan harinya, Celia menikmati sarapan di teras vila. Pemandangan sawah hijau yang terhampar luas di depannya membuat hati Celia terasa damai. Namun, pikirannya terus kembali kepada pria yang ia temui kemarin.
“Elvan...” gumamnya pelan sambil mengaduk teh hangat di cangkirnya.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Celia meraih ponsel itu dan melihat nama Lily tertera di layar. Lily adalah manajer dan teman baik Celia.
“Aduh, apa lagi sekarang?” Celia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan secara perlahan sebelum menjawab panggilan itu.
“Celia! Kamu ke mana? Klien sudah menunggu, dan jadwal pemotretan hari ini kacau karena kamu tiba-tiba menghilang!” suara Lily terdengar panik di seberang.
“Aku sedang liburan, dan aku butuh waktu sendiri,” jawab Celia tegas.
“Liburan? Kamu tidak bisa begitu saja meninggalkan semua pekerjaan, Celia! Kamu punya kontrak!”
Celia memejamkan mata, mencoba menahan emosinya. “Aku sudah lelah. Aku tidak tahu kapan akan kembali. Jadi, jangan ganggu aku dulu.”
Celia menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban. Sekarang, Celia hanya ingin menikmati hidupnya tanpa tekanan.
Sementara itu, di rumah Elvan, Nenek Kinan sedang menyiapkan sarapan di dapur ketika Elvan keluar dari kamarnya. Ia mengenakan kaus hitam polos dan celana pendek, penampilannya santai namun tetap memancarkan aura yang kuat.
“Elvan, hari ini kamu tidak ada jadwal di klub, kan?” tanya Nenek Kinan sambil meletakkan sepiring nasi goreng di meja.
“Tidak, Nek. Ada apa?” tanya Elvan setelah meneguk segelas air di tangannya.
“Temani Nenek ke pasar, ya? Ada beberapa bahan yang perlu dibeli.”
Elvan mengangguk. “Baik, Nek. Kita berangkat sekarang?”
“Setelah kamu selesai makan," jawab Nenek Kinan.
Pasar tradisional Bali pagi itu ramai seperti biasa. Nenek Kinan berjalan pelan, ditemani Elvan yang mendorong keranjang belanjaan mereka. Para pedagang menyapa Nenek Kinan dengan ramah, menunjukkan betapa ia dihormati di lingkungan tersebut.
Di salah satu kios bunga, Nenek Kinan berhenti untuk membeli bunga kamboja. Sementara itu, Elvan berdiri tidak jauh dari neneknya, memerhatikan sekeliling. Ia tidak menyangka akan melihat sosok yang sudah menghantui pikirannya sejak kemarin.
Celia sedang berdiri di depan kios buah, sambil memilah milih mangga. Ia mengenakan dress putih, tampak sederhana, tetapi tetap terlihat memukau. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, dan senyum manisnya memikat semua orang di sekitarnya.
“Celia?” gumam Elvan tanpa sadar.
Celia yang mendengar namanya dipanggil menoleh. Ketika matanya bertemu dengan mata Elvan, wajahnya langsung cerah. “Elvan! Apa kabar?”
Elvan berjalan mendekatinya, terlihat sedikit canggung. “Aku baik. Kamu ngapain di sini?”
“Aku sedang melihat-lihat,” jawab Celia sambil tertawa kecil.
Saat itu, Nenek Kinan mendekat dengan senyum lembut di wajahnya. “Van, siapa ini?” tanyanya sambil melirik Celia.
“Elvan, ini nenekmu?” Celia bertanya dengan nada antusias.
Elvan mengangguk. “Celia, ini Nenek Kinan. Nek, ini Celia. Aku bertemu dia kemarin di bandara.”
“Oh, jadi ini gadis yang menjadi temanmu,” ucap Nenek Kinan dengan nada menggoda. Ia tersenyum ramah kepada Celia. “Senang bertemu denganmu, Nak.”
Celia tersenyum hangat. “Saya juga senang bertemu dengan Nenek.”
“Celia sedang liburan di Bali,” tambah Elvan.
“Oh, bagus sekali. Bali memang tempat yang indah untuk beristirahat,” ucap Nenek Kinan.
Percakapan mereka berlanjut, dan Nenek Kinan langsung merasa nyaman dengan Celia. Ia bahkan mengundang Celia untuk mampir ke rumah mereka.
“Kamu harus datang, Nak. Rumah kami tidak jauh dari sini,” ajak Nenek Kinan.
Celia sedikit ragu, tetapi melihat senyum tulus Nenek Kinan, ia tidak bisa menolak. “Terima kasih, Nek. Saya akan mampir kapan-kapan."
Hari berikutnya, Celia benar-benar mengunjungi rumah Elvan. Ia membawa oleh-oleh kecil berupa kue tradisional Bali yang ia beli di pasar.
Nenek Kinan menyambutnya dengan hangat, sementara Elvan tetap dengan sikap datarnya. Namun, kali ini ia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya melihat Celia.
“Rumah nenek bagus sekali,” ucap Celia sambil mengamati sekeliling.
“Terima kasih, Nak. Rumah ini penuh kenangan,” jawab Nenek Kinan sambil menuangkan teh untuk tamunya.
Mereka duduk bersama di ruang tengah, berbicara tentang banyak hal. Celia merasa nyaman, seolah-olah ia sudah mengenal Nenek Kinan selama bertahun-tahun.
Elvan, yang biasanya tidak terlalu banyak bicara, mulai membuka diri. Ia menceritakan sedikit tentang hidupnya di Bali dan bagaimana ia merintis karier sebagai DJ.
Celia mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa semakin tertarik pada pria itu.
Hari-hari berlalu, dan hubungan Celia dengan Elvan serta Nenek Kinan semakin akrab. Celia sering mampir ke rumah mereka, membawa cerita baru dari petualangannya di Bali.
Nenek Kinan diam-diam berharap ada sesuatu yang lebih antara Celia dan Elvan. Ia melihat bagaimana mata cucunya bersinar setiap kali Celia datang, meskipun Elvan berusaha keras menyembunyikannya.
Namun, baik Celia maupun Elvan masih belum menyadari sepenuhnya apa yang sedang tumbuh di antara mereka.
Hingga suatu sore, saat Elvan dan Celia duduk di teras rumah bersama Nenek Kinan, Celia berkata, “Aku merasa beruntung bisa bertemu dengan nenek. Nenek membuat liburanku lebih bermakna.”
Elvan menoleh dan menatap Celia dengan tatapan lembut yang jarang ia tunjukkan.
“Kami juga senang kamu di sini," ucap Nenek. Nenek Kinan tersenyum penuh arti sambil menatap langit senja. Dalam hatinya, ia tahu bahwa pertemuan ini bukan kebetulan.