Seorang Ceo muda karismatik, Stevano Dean Anggara patah hati karena pujaan hatinya sewaktu SMA menikah dengan pria lain.
Kesedihan yang mendalam membuatnya menjadi sosok yang mudah marah dan sering melampiaskan kekesalan pada sekretaris pribadinya yang baru, Yuna.
Yuna menggantikan kakaknya untuk menjadi sekretaris Vano karena kakaknya yang terluka.
Berbagai macam perlakuan tidak menyenangkan dari bos nya di tambah kata-**** ***** sering Yuna dapatkan dari Vano.
Selain itu situasi yang membuat dirinya harus menikah dengan Vano menjadi mimpi terburuk nya.
Akankah Vano dan Yuna bisa menerima pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Setelah selesai dengan baju Vano mengantar sekretaris nya pulang ke apartemen gadis itu. "Terima kasih Tuan, sudah repot mengantar saya." Balas Yuna dengan nada malasnya. "Ini tidak gratis ya, pokoknya besok kau harus cantik agar tidak membuatku malu."
"Memangnya saya jelek?"
"Bercermin lah Yuna! Kau itu masih muda tapi gayamu seperti ibu dua anak! badanmu juga sudah mirip orang hamil, diet Yuna!" Yuna melotot, berani sekali anak kecil itu mengomentari berat badannya.
"Apa!"
Tin, tin.
"Stevano Anggara!" Teriak Yuna menggelegar tentunya setelah Tuan muda nya pergi dari apartemen miliknya.
"Dasar pria pemarah! tidak sabaran! angkuh!"
"Dia pikir dia sempurna! cih di banding kin so hyun juga ga ada apa-apa nya tuh orang! ih kesel!"
Yuna berdiri melepas sanggulnya membiarkan rambutnya terurai, gadis itu berdiri di depan cermin yang menampilkan seluruh tubuhnya. "Ternyata aku memang sangat kuno." Yuna memang selalu sopan dalam berpakaian selama ini mengingat kedua kakaknya yang begitu posesif padanya. "Pantas saja tidak ada lelaki yang mau denganku, apa aku memang terlalu kulot selama ini?" Sebenarnya bukan tidak ada pria yang mendekatinya, namun selama ini Yuna hanya belum siap menikah sampai sekarang tak terasa umurnya sudah 29 tahun, sebentar lagi ia akan memasuki kepala tiga, semua teman-temannya bahkan sudah punya anak. "Ya Tuhan, jodohku nyangkut dimana sih?"
***
"Na... kakak boleh masuk?:
Tok! tok! tok!
"Riana ..."
Tidak ada jawaban sama sekali, Vano sudah lelah mengetuk pintu kamar adik perempuannya namun tidak juga di bukakan pintu.
"Kalian kenapa sih nak?"
"Ada salah paham ma ..."
"Kenapa?"
"Bukan apa-apa ma, Vano masuk kamar dulu."
"Iya Nak, jangan mandi air dingin ya.. pakau air hangat saja."
"Iya ma."
Riana sudah memikirkan seharian ini, ia tidak akan menyerah, Vano miliknya kakaknya harus bersama dengannya selamanya. Ia punya rencana sendiri untuk mewujudkan semua impiannya.
"Maaf kak, tapi aku nggak rela ada yang memiliki kakak, kakak punya ku." gumam Riana posesif lalu tersenyum dingin. Rasa cinta sudah menghilangkan akal sejatinya
Setelah Juwita tersingkir dengan sendirinya harusnya Vano memilihnya, iya kan?
Bruk,
Vano membanting tubuhnya ke ranjang, sebenarnya sudah lama ia menduga ini akan terjadi, Riana baper dengan semua perhatian yang ia berikan. Sungguh tidak ada niat sama sekali membuat gadis itu patah hati.
"Semoga saja kamu mengerti Na, cinta nggak bisa di paksakan."
***
Esoknya,
Riana diam saja sambil makan makananya seharusnya tadi Vano sudah mengajak gadis itu mengobrol namun di acuhkan terus.
"Na, udah dong marahnya." Wita yang melihat itu merasa gemas sendiri.
"Pada kenapa sih? Riana diemin kakak?"
"Kakak ngeselin ma."
"Tuh Vano, katanya kamu ngeselin." Vano menggaruk tengkuknya, jangan sampai ibunya tau kalau Riana jatuh cinta kepadanya, bisa-bisanya ibunya menyuruhnya menikahi gadis itu.
Wira turun dan bergabung untuk sarapan, rumahnya terasa sepi karena Stevani dan kedua cucu nya yang pergi ke Bandung jadi bridesmaid katanya.
"Sepi banget nggak ada Sheril dan Axel."
"Baru beberapa hari mas."
"Iya sih, aduh papa kangen berat. Kita susulin aja yuk."
"Kamu mau datang ke acara nikahan anak Pak Robi mas?"
"Males lah sayang, aku kesana kan cuma mau lihat anak sama cucu kita, enak aja!" Wita menggeleng, Wira suaminya memang sulit sekali jika sudah tidak menyukai seseorang.
"Vano ... nikahan mantan kamu itu kapan sih? lama banget perasaan."
Mood Vano hancur sudah, susah payah ia menata hati ayahnya malah membahasnya pagi ini, di meja makan pula.
"Nanti malam resepsi pa, niatnya nanti malam Vano nggak pulang sekalian langsung kesana."
"Oh nanti suruh adikmu pulang ya, jangan kelamaan di sana. Papa kangen sama cucu papa."
"Papa kenapa sih?"
"Malas aja Nak, inget yang dulu. Ayah Juwita sombong nya. Papa jadi kesel kan."
Wira mengeratkan genggamannya pada sendok, ada masalah yang tidak ia ceritakan pada keluarganya soal ayah nya Juwita.
"Hah! Papa jadi nggak selera makan." Wira bangkit dari duduk nya melangkah menaiki tangga menuju kamar. Vano bingung, menurutnya ayahnya sangat berlebihan.
"Papa kenapa sih mah?" tanya Vano pada Wita.
"Mama juga gak tau sayang. Kamu tau sendiri kan papa kamu suka nyimpen masalahnya sendiri." Vano menghela nafas berat, mungkin karena inilah alasan ia tidak berjodoh dengan Juwita.
"Makan Nak, kenapa melamun?"
"Vano juga gak selera ma. Vano ke kantor yah." Vano bangkit dari duduknya. Ia mengusap rambut Riana lalu melangkah pergi.
"Nak."
"Riana juga sudah selesai Ma." Riana bangkit dari duduk nya masuk ke dalam kamar.
Wita menghela nafas panjang lagi, sekarang tinggal ia seorang diri di meja makan.
Wita melangkah menyusul suaminya sambil membawa sepiring makanan, tadi suaminya cuma makan sedikit. "Mas ..." Ia lihat suaminya sedang berdiri di samping jendela kamar. "Kenapa sih?"
"Aku emosi sayang."
"Kenapa? sini duduk, aku suapin makan ya."
"Jangan marah-marah, semua kan sudah berlalu."
"Kamu gak tau betapa orang itu mempermalukan aku sayang." Ujar Wira sambil mengepalkan tangan. "Kan Mas nggak cerita, mana bisa aku tahu isi hati mas."
"A lagi."
"Kenapa pakai kacang-kacangan sih sayang. aku sudah sembuh." protes Wira yang selalu saja sama sampai Wita bosan mendengarnya . "Ya emang kenapa sih?"
"Aku nggak suka!"
"Heh mas nggak boleh bilang begitu di depan makanan." Tegur Wita pada suaminya yang selalu pilih-pilih makanan.
***
Vano melangkah memasuki gedung kantornya yang masih sangat sepi karena ia berangkat lebih awal. Ia melihat Yuna yang tengah makan.
"Dasar jorok! itu ada nasi di bibirmu!" Yuna diam saja kenapa sih Tuan pemarah itu harus berangkat sepagi iki merusak mood nya saja.
"Heh Yuna! pesankan aku sarapan!"
"Tuan nggak liat saya lagi sarapan juga? kenapa nggak sarapan di rumah aja sih! Biasanya juga jam segini Tuan belum berangkat." omel Yuna sambil tetap makan, persetan dengan Vano. Ia butuh tenaga untuk menghadapi pria itu seharian.
"Suka-suka sayang dong! cepat! saya lapar!"
Tahan tangan Yuna sekarang, siapapun. Karna gadis itu melempar kotak makanan nya pada wajah songong Vano yang sudah merusak pagi ini.
"Cepat! saya lapar!."
"Huh iya Tuan. iya!" Yuna menutup kotak makan nya dengan enggan lalu keluar mencari restoran terdekat demi sarapan untuk Tuan pemarah itu.
Yuna berkeliling mencari restaurant biasa ia memesan makanan untuk Vano namun memang belum ada yang buka, pada akhirnya ia memilih membelikan pria itu bubur ayam di pinggir jalan saja, itupun ia sudah dapat antrean yang begitu panjang.
"Sial! Arggghh... kapan ini berakhir Tuhan!" Yuna merengek kali ini sambil menatap langit, seumur hidupnya baru kali ini ia menghadapi orang menyebalkan macam Stevano Anggara, dulu ia pikir pemuda bau kencur itu sosok dingin tak tersentuh, coll seperti Tuan muda, Tuan muda di otaknya, nyatanya orang itu sangat bermulut pedas dan cerewet! sudah mirip perempuan saja.
"Woy pak! ngantri dong!" Yuna tidak terima ada yang nyerobot antrean nya.
"Saya buru-buru neng maaf, istri saya lagi ngidam. Tolong neng." Yuna ingin sekali mengumpat namun setelah ia lakukan malah mengangguk dan tersenyum. Bukan! harus nya ia berteriak! bukan malah mengangguk.
Yuna kembali ke kantor dengan satu porsi bubur ayam dan juga es teh 2500 yang sedang viral saat ini, biar tau rasa orang itu. Salah sendiri merecoki pagi indahnya.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk."
"Nih Tuan! sarapannya!'
"Hm, taruh saja di situ. Pergi sana!" Vano sedang fokus dengan laptop tak sekalipun memandang Yuna yang sudah susah payah membelikannya sarapan.
Yuna kembali ke meja nya dengan langkah yang di hentak-hentakan, sungguh ia tidak tahan lagi! ia mau keluar dari sini! "Tuhan kapan kak Alden sembuh!" teriaknya di ruangan nya, sambil menyalakan laptop, Yuna berdoa semoga Vano sakit flu setelah ia belikan es teh jalanan itu. "Rasain kau Tuan."
Vano menutup laptop nya, ia melangkah menuju meja ruang tamu, melihat sarapan apa yang sekretarisnya belikan. "Bubur? wah lama aku tak makan bubur." Vano memakannya dengan lahap.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...