Wanita kuat dengan segala deritanya tapi dibalik itu semua ada pria yang selalu menemani dan mendukung di balik nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syizha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
langkah baru
“...tempat itu menyimpan lebih dari sekadar data atau teknologi,” lanjut Axel dengan suara berat. “Sentinel adalah pusat dari semua keputusan besar yang dibuat Lucas Ravindra dan orang-orang di balik proyek Aurora. Jika kau benar-benar ingin menemukannya, kau harus siap menghadapi mereka—semuanya.”
Akselia menatap Axel, matanya menyala penuh tekad. “Aku sudah siap. Apa pun itu, aku tidak akan berhenti sampai aku mendapatkan kebenarannya.”
Nathaniel menyela, suaranya lembut tetapi penuh kekhawatiran. “Kita tidak tahu apa yang akan kita temui di sana. Dan mereka pasti sudah menyiapkan sesuatu untuk melindungi rahasia itu.”
Axel mengangguk. “Itu benar. Sentinel bukan hanya fasilitas, tapi benteng. Jika kau ingin masuk, kau harus menemukan seseorang yang tahu cara membuka pintunya—seseorang di dalam lingkaran mereka.”
Akselia menggertakkan giginya. “Berarti kita harus mencari orang itu. Apakah kau tahu siapa yang bisa membantu kita, Axel?”
Axel tampak ragu, tetapi akhirnya ia berkata, “Ada satu orang. Dulu, dia adalah kepala keamanan proyek Aurora sebelum dia menghilang. Namanya Reina Arshaka. Jika dia masih hidup, dia mungkin satu-satunya orang yang tahu bagaimana cara masuk ke Sentinel.”
“Di mana kita bisa menemukannya?” tanya Nathaniel.
Axel menghela napas panjang. “Terakhir kali aku mendengar tentang Reina, dia menyembunyikan diri di pinggiran kota tua di utara. Dia memutus semua hubungan dengan dunia luar. Tapi jika kita bisa menemukannya, dia mungkin akan membantu.”
Akselia mengangguk. “Kalau begitu, kita ke sana. Tidak ada waktu untuk menunggu.”
Mereka masuk ke mobil Nathaniel dan segera melaju menuju kota tua yang dimaksud Axel. Perjalanan itu berlangsung dalam keheningan yang tegang, hanya suara mesin mobil dan deru angin malam yang menemani mereka.
Namun, di tengah jalan, Axel tiba-tiba menegakkan tubuhnya, matanya tajam mengamati cermin spion. “Kita diikuti,” katanya singkat.
Nathaniel melirik spion, melihat lampu kendaraan lain di kejauhan. “Apa kau yakin? Itu bisa saja mobil biasa.”
Axel menggeleng. “Mobil itu sudah ada sejak kita meninggalkan gudang. Mereka terlalu jauh untuk menyerang sekarang, tapi mereka memastikan kita tidak pergi terlalu jauh.”
“Jadi apa yang kita lakukan?” tanya Akselia.
Axel menarik napas panjang. “Kita harus membuat mereka kehilangan jejak.”
Nathaniel menginjak pedal gas, mempercepat laju mobil. Jalanan yang sempit dan berkelok-kelok menjadi tantangan tersendiri, tetapi Nathaniel mengendalikan kemudi dengan percaya diri. Akselia merasakan jantungnya berdetak kencang ketika suara ban dari mobil di belakang mereka semakin keras, menandakan bahwa mereka semakin dekat.
“Kita butuh tempat untuk bersembunyi,” kata Axel. “Kota tua masih terlalu jauh.”
Nathaniel melirik ke arah hutan yang membentang di sisi jalan. “Ada jalur kecil di sana. Aku pernah lewat situ sebelumnya. Kita bisa mencoba mengalihkan mereka ke sana.”
Tanpa menunggu persetujuan, Nathaniel membelokkan mobil ke jalur kecil itu, meninggalkan jalan utama. Lampu depan mobil menerangi jalan setapak yang dikelilingi pohon-pohon tinggi, membuat suasana semakin mencekam.
Mobil yang mengejar mereka berhenti sejenak di pintu masuk jalur itu, tetapi akhirnya mengikuti.
“Brengsek,” desis Axel. “Mereka tidak akan menyerah.”
Nathaniel terus melaju, tetapi jalur yang sempit dan berbatu mulai memperlambat laju mobil mereka. Ketika mereka mencapai persimpangan kecil, Axel memberi isyarat. “Belok ke kiri. Ada tempat yang bisa kita gunakan untuk bersembunyi.”
Nathaniel mengikuti arahan Axel dan mematikan lampu mobil mereka setelah berbelok. Mereka berhenti di balik semak belukar yang lebat, membiarkan keheningan malam menyelimuti mereka.
Mobil yang mengejar mereka melaju melewati persimpangan tanpa menyadari bahwa mereka sudah berbelok.
Mereka menunggu beberapa menit dalam keheningan, memastikan bahwa pengejaran itu benar-benar hilang. Setelah yakin, Nathaniel menyalakan kembali mesin mobil dan melanjutkan perjalanan dengan hati-hati.
“Ini baru permulaan,” kata Axel pelan, memecah keheningan. “Mereka tahu kau serius, Akselia. Dan mereka akan melakukan apa saja untuk menghentikanmu.”
Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di kota tua yang disebut Axel. Kota itu hampir tidak tampak seperti kota lagi. Bangunan-bangunan yang rusak, jalanan yang dipenuhi ilalang, dan suasana sunyi membuat tempat itu terasa seperti dunia lain.
Axel memimpin mereka menuju sebuah rumah kecil di pinggir kota. Rumah itu terlihat usang, dengan dinding kayu yang sudah mulai lapuk.
“Reina tinggal di sini?” tanya Nathaniel, ragu.
Axel mengangguk. “Dia selalu memilih tempat yang tidak mencolok. Kita harus hati-hati, dia mungkin tidak akan menyambut kita dengan ramah.”
Mereka mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Axel mencoba lagi, kali ini lebih keras.
“Siapa di sana?” Suara seorang wanita terdengar dari balik pintu. Suaranya tegas, tetapi ada nada kewaspadaan yang jelas.
“Reina, ini aku. Axel,” jawab Axel.
Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah seorang wanita paruh baya dengan rambut panjang yang sudah mulai beruban. Matanya menyipit tajam, menilai mereka satu per satu.
“Axel,” katanya akhirnya. “Apa yang kau lakukan di sini? Dan siapa mereka?”
Axel menjelaskan singkat tentang situasi mereka, menyebut nama Akselia dan alasan mereka mencari Reina. Wanita itu mendengarkan dengan serius, tetapi wajahnya tetap waspada.
“Jika kalian mencari Sentinel, kalian bermain dengan api,” kata Reina akhirnya. “Lucas dan orang-orangnya tidak akan membiarkan kalian mendekati tempat itu, apalagi masuk.”
“Aku tidak peduli,” kata Akselia, menatap Reina dengan penuh tekad. “Ayahku meninggal karena rahasia ini, dan aku tidak akan berhenti sampai aku tahu kebenarannya.”
Reina terdiam, menatap Akselia dengan tatapan yang sulit diartikan. Akhirnya, dia menghela napas panjang.
“Baiklah,” katanya pelan. “Aku akan membantu kalian. Tapi ingat, begitu kita memulai ini, tidak ada jalan kembali.”
Malam itu, di dalam rumah Reina, mereka mulai merencanakan langkah berikutnya. Reina membuka peta tua yang menunjukkan lokasi Sentinel—sebuah fasilitas yang tersembunyi jauh di dalam hutan pegunungan.
“Tapi Sentinel bukan hanya tentang menemukan lokasi,” jelas Reina. “Ada sistem keamanan yang sangat canggih. Hanya seseorang dengan akses biometrik khusus yang bisa membukanya. Dan itu berarti kita harus mendapatkan data dari salah satu petinggi Aurora.”
Axel mengangguk. “Lucas Ravindra.”
Suasana menjadi tegang. Nama itu membawa beban besar bagi Akselia, tetapi dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan lain.
“Lucas adalah kuncinya,” kata Reina. “Jika kita bisa memancingnya keluar, kita bisa mendapatkan akses yang kita butuhkan. Tapi itu tidak akan mudah.”
Akselia mengepalkan tangannya. “Apa pun risikonya, aku akan melakukannya. Lucas Ravindra akan membayar untuk semua yang telah dia lakukan.”
Dengan rencana baru di tangan mereka, Akselia tahu bahwa pertarungan sebenarnya baru saja dimulai. Dan kali ini, dia tidak akan mundur.