Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?
Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Pagi itu, kelas terasa tegang. Nadia duduk di bangkunya, mencoba menenangkan diri setelah kejadian-kejadian yang semakin memperburuk hari-harinya. Namun, Cici dan kedua sahabatnya, Imel dan Dina, datang menghampirinya dengan langkah penuh ancaman.
"Masih berani duduk di sini, Nadia?" kata Cici, suaranya penuh ejekan, membuat para siswa lain menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tanpa memberi kesempatan bagi Nadia untuk menjawab, Imel menarik tangan Nadia dengan kasar, membuatnya terjatuh di lantai dengan suara keras. Tangannya menyentuh permukaan keramik yang dingin, membuatnya meringis kesakitan. Cici memandang Nadia dengan senyum licik, menikmati rasa dominasi yang ia rasakan.
"Ini yang pantas untukmu, Nadia," kata Cici, menekankan setiap kata seolah itu sebuah hukuman.
Dina, yang berdiri di dekat Cici, tertawa sinis sambil melirik ke arah para siswa yang hanya bisa menatap tanpa ekspresi. Mereka seakan terperangkap dalam kebisuan, tidak berani mengganggu situasi itu. Di mata mereka, kejadian ini bukan sesuatu yang layak diperjuangkan.
Imel, dengan tangan yang masih memegang pergelangan tangan Nadia, mulai menyeretnya di sepanjang lantai kelas, membuatnya terhuyung-huyung. Setiap seretan itu meninggalkan jejak luka di telapak tangannya, namun Nadia tidak bisa mengeluh. Ia hanya bisa menahan rasa sakit dan air mata yang mulai mengalir di pipinya.
"Berani-beraninya kamu menentang kita, Nadia," lanjut Cici dengan nada meremehkan, langkahnya mengikuti di belakang Imel dan Dina. "Sekarang kamu tahu, siapa yang benar-benar menguasai tempat ini."
Suara langkah sepatu mereka yang bergema di kelas membuat suasana semakin mencekam. Siswa-siswa lain hanya duduk di kursi mereka, beberapa bahkan menundukkan kepala. Tidak ada yang berani melawan, tidak ada yang berani berbicara. Mereka hanya menjadi saksi bisu dari kekejaman yang terjadi di depan mata mereka.
Nadia, yang kini terbaring di lantai dengan tubuh lemas, menatap Cici dengan mata penuh air mata dan kebencian. Meskipun tubuhnya terasa lelah, hatinya tetap bertekad. Di dalam dirinya, ada satu semangat yang tak akan padam. Ia tahu, satu hari nanti, kekuatan kebenaran akan mengalahkan semua keangkuhan yang ada di dunia ini.
Setelah diperlakukan seperti itu di kelas, Nadia merasa tubuhnya hampir tidak mampu bergerak. Imel dan Dina, dengan senyum penuh ejekan, terus menyeretnya keluar dari kelas, menyusuri lorong sekolah yang sepi. Para siswa yang melihat hanya bisa memandang, beberapa dengan rasa takut, yang lain hanya diam tanpa ekspresi.
Nadia mencoba memprotes, tetapi Imel menutup mulutnya dengan tangan kasar. "Diam, kamu. Kalau tidak, lebih buruk yang akan kamu rasakan," bisik Imel dengan nada ancaman, sedangkan Dina tertawa terbahak-bahak, seolah ini adalah hiburan bagi mereka.
Mereka tiba di depan pintu kamar mandi, tempat yang sudah tidak asing lagi bagi Nadia. Ini adalah tempat di mana banyak kali ia diperlakukan buruk oleh Cici dan anak buahnya. Dengan sekali dorong, Imel membuka pintu dan mendorong Nadia masuk ke dalam kamar mandi yang gelap dan kotor itu. Suara pintu yang menutup keras membuat Nadia terkejut, seakan menambah kesan suram di tempat itu.
"Selamat tinggal, si lemah," kata Dina sambil tertawa, melihat Nadia yang terbaring lemas di lantai. Imel berdiri di dekat pintu, menatap Nadia dengan penuh penghinaan, sementara Dina mulai mengguncang pintu, membuat suara gemeretak metal yang menggemakan di dalam ruangan.
Nadia menatap lantai dingin dengan mata penuh air mata. Tubuhnya terasa sakit, tangannya terluka akibat seretan di kelas, dan kini ia terjebak di tempat yang sama di mana ia pernah merasa tak berdaya sebelumnya. Namun, di balik rasa sakit dan ketakutan, ada sesuatu yang berusaha bangkit di dalam dirinya sebuah rasa yang lebih besar dari rasa sakit itu sendiri. Rasa ingin melawan, meskipun ia tahu itu tidak akan mudah.
"Ayo, kita pergi," kata Imel kepada Dina, lalu mereka berdua meninggalkan kamar mandi, meninggalkan Nadia sendirian dalam kesunyian yang menyesakkan. Suara tawa mereka terdengar memudar di luar, seolah mengukir kenangan buruk yang tak bisa dilupakan.
Nadia hanya bisa merapikan baju dan rambutnya , seperti biasa cermin dan wastafel menjadi saksi bisu luka yang di alami Nadia.
semangat