"Aku dimana?"
Dia Azalea. Ntah bagaimana bisa ia terbagun di tubuh gadis asing. Dan yang lebih tidak masuk akal Adalah bagaimana bisa ia berada di dunia novel? Sebuah novel yang baru saja ia baca.
Tokoh-tokoh yang menyebalkan, perebutan hak waris dan tahta, penuh kontraversi. Itulah yang dihadapai Azalea. Belum lagi tokoh yang dimasukinya adalah seorang gadis yang dikenal antagonis oleh keluarganya.
"Kesialan macam apa ini?!"
Mampukah Azalea melangsungkan kehidupannya? Terlebih ia terjebak pernikahan kontrak dengan seorang tokoh yang namanya jarang disebut di dalam novel. Dimana ternyata tokoh itu adalah uncle sang protagonis pria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon queen_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OMB! (11)
Selamat membaca
*****
Auris terbangun dari tidurnya. Ia langsung merubah posisinya menjadi duduk dan membenarkan pakaiannya yang sedikit berantakan. Tertidur hampir seharian membuat tubuhnya terasa sangat bugar.
Tidur? Iya, itulah yang ia lakukan saat Aldrick membawanya ke kamar. Pria itu membaringkannya di kasur dan memeluknya hingga tertidur.
Auris bangkit sambil menenteng sepatu dan tasnya. Saat ia keluar kamar, terlihat Aldrick yang masih sibuk dengan berkas-berkas miliknya. Auris membanting tubuhnya di sofa membuat Aldrick menoleh ke arahnya.
"Sudah bangun?"
Auris mengangguk, "Aku lapar mas,"
Aldrick terkekeh, "Baiklah, kita pulang sekarang. Kita makan malam di luar." Aldrick bangkit dan mengambil jasnya kemudian menghampiri Auris. Ia mengulurkan tangannya dan diterima baik oleh Auris.
"Dimana Grace?" tanya Auris.
"Sudah pulang."
"Sendiri?"
Aldrick menggeleng, "Di jemput supir."
Auris mengangguk. Keduanya berjalan berdampingan membuat beberapa karyawan yang ada di sana berbisik-berbisik. Ah, mengenai karyawan yang menyerang Auris di hari pertamanya bekerja, Aldrick langsung memberikan peringatan pada mereka. Sejak itu tidak ada lagi yang berani menganggu Auris.
Sesampainya di luar, Aldrick langsung membukakan pintu utnuk Auris. Setelah itu barulah ia masuk. Mobil mereka pun melaju meninggalkan AL group.
*****
Caramel duduk di salah satu sofa. Meneguk segelas wine yang berada di tangannya. Dengan santai melihat orang-orang berjoget-joget bahkan berciuman di depannya. "Cih!" Caramel melirik ke sana ke mari tanpa minat.
Senyum lebar terukir di wajahnya ketika seorang pria tampan menghampirinya. "Maaf menunggu lama Car, Aku ada urusan sedikit."
"Tidak masalah Bi, aku juga baru datang."
"Bagaimana kabar Auris?"
Wajah Caramel langsung berubah masam mendengarnya. "Kenapa selalu Auris?!" Caramel tetap berusaha mempertahankan senyum terbaiknya. Padahal ia hampir saja meledak ketika mendengar nama Auris disebut.
"Dia baik," singkat Caramel. "Pertunangannya dengan Reynold di batalkan."
Bian tersenyum lebar, "Benarkah?"
Caramel mengangguk malas. "Auris membatalkan pertunangannya karena dia sudah tidak mencintai Reynold."
Ekspresi berbinar sangat terlihat di wajah Bian. Hal itu membuat Caramel semakin kesal. "Itu artinya, aku bisa mendekatinya kan?"
"May be. Dia sudah berubah Bi. Dia bukan Auris yang kau kenal."
Wajah Bian berubah serius. "Maksudnya?"
"Ya, dia berubah." Caramel menyodorkan segelas wine yang langsung diterima oleh Bian.
Keduanya saling berbincang satu sama lain mengenai masa-masa mereka kuliah dulu. Lebih tepatnya Bian yang lebih banyak cerita apalagi tentang Auris. Dan ntah berapa kali Bian sudah meneguk wine setiap kali Caramel menuangkan wine ke gelasnya.
Cukup lama mereka berbincang, Caramel tersenyum mendapati Bian yang mulai mabuk. Pemuda itu mulai meracau tak jelas dengan menyebut-nyebut nama Auris.
Caramel menatap datar ke arah Bian, lalu menatap dua orang pria berbadan besar yang tidak jauh dari mereka, "Bawa dia."
Dua pria itu mengangguk. Mereka mendekati Caramel dan membawa Bian yang semakin mabuk. Caramel mengikuti mereka dari belakang sambil tersenyum tipis.
*****
Aldrick mengantarkan Auris sampai di depan pintu. Keduanya saling bertatapan sejenak kemudian tertawa kecil.
"Terimaksih bos," kata Auris tersenyum.
Aldrick mengangguk sambil tersenyum manis. "Masuklah,"
Auris menurut. Tapi sebelum itu, ia mendekat ke hadapan Aldrick dan mengikis jarak mereka. "Selamat malam bos," bisik Auris lirih kemudian berbalik meninggalkan Aldrick yang menatapnya intens.
Auris masuk ke dalam sambil bersenandung kecil. Ternyata semua orang tengah berkumpul kecuali Caramel. Auris peduli? Oh tentu tidak. Untuk apa ia peduli? Mereka saja tidak memedulikannya.
"Auris,"
Auris pun berhenti dan menoleh ke arah sumber suara. Zanna, menatapnya sambil tersenyum tipis. Ia menyilangkan tangannya di dada sambil menatap Zanna penuh tanya.
"Mama cuma mau bilang, jangan terlalu dekat dengan Aldrick. Umur kalian beda jauh nak. Apa kata orang nanti?"
Seketika Auris berdecak. Hanya untuk ini Zanna memanggilnya? Benar-benar tidak berguna dan buang-buang waktu.
"Benar Auris. Carilah yang seumuran denganmu," tambah Sofia tersenyum. "Tante pikir dia bawa pengaruh buruk untuk mu, bahkan kamu sampai pulang malam seperti ini."
"Namanya juga murahan," cibir Darren sinis.
"Berapa dia membayarmu? Pasti sangat mahal kan?" imbuh Zendra lagi.
"Jauhi Aldrick," giliran Alex yang berbicara.
Auris menghela napas pelan. "Sudah? Kalian sudah selesai bicara? Sekarang giliranku yang berbicara."
Auris menatap Zanna, "Sejak kapan mama mengaturku? Sejak kapan mama peduli tentangku?" Auris tersenyum kecil lalu menatap Sofia, "Tante, dia tidak membawa pengaruh buruk kok. Dan pulang malam? Ini masih dibatas wajar, lagipula aku di antar pulang dan itu bos ku sendiri. Sementara putri mu? Kemana dia pergi sendirian malam-malam begini? Rumah Naina? Sayangnya saat makan malam tadi aku bertemu dengan Naina dan dia seorang diri tanpa adanya Caramel."
"Lebih baik kalian pedulikan saja anak perempuan kesayangan kalian yang lemah lembut itu. Tidak usah mengatur apapun yang ku lakukan. Dan untuk kedua kakak ku, terima kasih atas sikap kalian selama ini. Jika ada kehidupan selanjutnya, aku berharap tidak menjadi adik kalian lagi."
Setelah Mengucapkan itu, Auris melenggang pergi dari sana. Ia langsung memeluk bi Asih yang saat ini memegang minuman untuk diantarkan ke hadapan keluarganya. Hal itu tentu sengaja dilakukan Auris agar membuat Zanna cemburu pada Bi asih. "Setidaknya mama harus merasakan bagaimana rasanya tidak di anggap bukan?"
Katakan saja dia durhaka pada ibunya. Tapi ini bukan lagi masalah durhaka, jika Auris tidak melawan maka sudah pasti ia akan menderita sampai akhir dan Auris tidak mau. Sebisa mungkin ia harus membuat mereka merasakan apa yang ia rasakan.
Setelah memeluk bi Asih, Auris langsung naik ke kamarnya tanpa menoleh ke belakang. Ia membanting tubuhnya di atas kasur. Melemparkan tasnya ke sembarang arah. Menatap langit-langit kamar, mengingat bagaimana kehidupannya selama di novel.
"Alurnya berubah, itu berarti aku bisa melakukan semuanya sesuai kehendakku." Auris sadar jika Alurnya telah berubah sejak kejadian sop tumpah. Hanya ada beberapa alur yang memang tetap berjalan, tapi jika menyangkut ia, Caramel, dan Reynold Alurnya pasti berubah.
"Pilihannya hanya satu, melawan atau menderita sampai akhir."
*****
Terima kasih sudah membaca