Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?
Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Pagi itu, udara di sekolah terasa tegang, seolah memikul tekanan yang tidak terlihat. Nadia berjalan dengan langkah yang mantap, diantar ibunya, Dewi, yang terlihat khawatir dan cemas. Wajah Dewi dipenuhi kekhawatiran yang mendalam, tetapi Nadia hanya mengangguk ketika ibunya melepasnya di gerbang sekolah. Dewi meliriknya sejenak, seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa putrinya akan baik-baik saja, sebelum akhirnya mengendarai motor tua itu pulang, meninggalkan Nadia yang berjalan memasuki sekolah dengan perasaan campur aduk.
Di kelas, Nadia merasa suasana berbeda dari biasanya. Ia memperhatikan bahwa banyak siswa yang berbicara dengan suara bisik-bisik, dan kelas terasa sepi tanpa kehadiran guru. Suasana di luar kelas tampak normal, guru-guru di kelas lain masuk dan keluar, tetapi di kelasnya, suasana sunyi hanya diisi oleh suara obrolan para siswa yang bergumam dengan nada cemas. Ia mulai merasakan ada sesuatu yang salah, perasaan tidak nyaman yang mulai menyesakkan dada.
“Kenapa guru-guru kita jarang masuk?” Nadia bertanya pada Imel, yang duduk di belakangnya, mencoba mengalihkan perhatian dari kegelisahan yang mulai mendera, suara Nadia yang mencoba terdengar santai, meski gemetar.
Imel hanya tersenyum sinis, tanpa menjawab, ekspresinya seakan menyimpan rahasia. Namun, di sisi lain ruangan, Cici sedang duduk dengan tatapan tajam, seolah mengawasi setiap gerakan Nadia. Mata Cici menyala, penuh kebencian yang tak terlukiskan. Nadia merasakan betapa ada ketegangan di udara, dan akhirnya, ia tahu apa yang harus dilakukan.
Dengan hati yang berdebar dan tekad yang mulai terbangun, Nadia berdiri dan berjalan menuju meja Cici, menatapnya dengan tajam. Suasana kelas yang semula ramai dengan bisikan kini menjadi hening, semua mata tertuju pada mereka, penasaran dan cemas dengan apa yang akan terjadi.
“Kenapa guru kita tidak ada lagi yang pernah masuk untuk mengajar kita?” Nadia bertanya dengan suara yang berani, matanya menatap langsung ke mata Cici yang penuh sinisme.
Cici hanya tersenyum jahat, lalu bangkit dari kursinya dengan gerakan angkuh. Wajahnya mendekat ke arah Nadia, suaranya dingin dan penuh ancaman, membuat sekeliling terasa semakin sempit. “Saya sudah mengatakan, guru-guru sudah saya atur agar tidak pernah datang ke kelas ini. Terutama Bu Desi, guru bahasa Indonesia dan BK di sekolah ini,” ujar Cici dengan nada yang penuh kebencian, seolah menikmati kemenangan yang sudah direncanakan.
Nadia terkejut mendengar kata-kata itu. Ia merasa jantungnya berdetak semakin cepat, seolah hendak melonjak keluar dari dada. “Apa maksudmu? Kenapa Bu Desi tidak mengajar di sini lagi?” tanyanya, berusaha menahan marah yang mulai membuncah.
Cici mendengus, wajahnya penuh kepuasan yang mengerikan. “Ibu Desi sudah dipindahkan ke sekolah lain. Dia tidak mau diatur oleh saya, dan dia selalu menentang setiap langkah saya. Kalau dia tidak mau tunduk, ya, dia harus pergi. Itu hukum di sini,” kata Cici, seperti memberi penjelasan yang menghakimi, tidak peduli akan dampaknya pada orang lain.
Kata-kata Cici seperti pisau yang menembus dada Nadia. Ia tidak bisa percaya bahwa guru yang begitu ia hormati, yang selalu membimbingnya dan mengajarkan banyak hal berharga, telah diusir hanya karena menolak tunduk pada keinginan Cici. Ada rasa marah yang membuncah dalam dirinya, tetapi juga ada rasa takut yang menyelinap, menyadarkan dirinya bahwa Cici bukan sekadar teman sekelas yang biasa. Cici memiliki kekuasaan dan pengaruh yang tak terbayangkan, dan sekarang, ia sadar sepenuhnya betapa besar ancaman yang dihadapi.
“Cici, kamu sudah melewati batas,” kata Nadia, suaranya tetap tegas meski gemetar. Ada getaran kecil dalam suaranya, tapi kilatan marah di matanya menegaskan keberaniannya. “Kekuatanmu tidak bisa menghapus kebenaran.”
Cici tertawa sinis, seolah menghina ketegasan Nadia, suaranya bergema di seluruh ruang kelas. “Kebenaran? Kebenaran apa yang kamu maksud, Nadia? Kau hanya gadis kecil yang berani melawan karena merasa punya prinsip. Tapi di dunia ini, siapa yang benar tidak selalu menang. Ingatlah itu.”
Nadia menatap Cici, mengetahui bahwa hari-hari di depan akan jauh lebih sulit dari yang ia kira. Tapi di matanya, ada kilatan tekad yang membara, seolah mencoba menyatukan semua keberanian yang ada di dalam dirinya. Ia tidak akan membiarkan ketidakadilan merajalela, apalagi jika itu menyakiti orang-orang yang tidak bersalah. Dengan keberanian yang terbarukan, Nadia tahu bahwa ia harus melawan, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semua yang diperjuangkan oleh orang-orang yang tak bisa melawan ketidakadilan ini.
Kelas itu kembali riuh setelah pertemuan itu, tetapi ada suasana baru yang melayang di udara. ketegangan antara Nadia dan Cici semakin menjadi ancaman nyata yang akan mempengaruhi semua yang ada di sekolah itu, menciptakan jurang perpisahan yang semakin dalam di antara mereka.
Cici melangkah kedepan Nadia " jangan pernah memulai penyesalan yang membuat mu akan semakin terluka nad" ujar Cici. " Aku tidak akan terluka ci, tapi kamu yang akan terluka . Cici menampar dia dengan sangat kuat. " Ini adalah peringatan terakhir ku, jika kau benar - benar melangkah lebih jauh, maka lukamu tidak akan sembuh -sembuh bagiku.
Nadia khawatir dan penasaran apa yang akan di lakukan Cici kepadanya.
Lonceng berbunyi siswa -siswi kembali pulang, ibu Dewi datang menjemput Nadia, lantaran sudah tau mengenai asal usul Cici. "Yok sayang, naik" ucap Dewi . "Iya Bu" balas Nadia.
Sampai dirumah, Nadia semakin penasaran apa yang akan di lakukan oleh Cici selanjutnya. "Apa sebenarnya yang kau rencanakan Cici" ujar Nadia di hati kecilnya.
semangat