Sang penjaga portal antar dunia yang dipilih oleh kekuatan sihir dari alam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon faruq balatif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Datangnya Kegelapan
Suara ketukan dari seorang penjaga terdengar di pintu kamar. Vaneca yang sedang berada di sisi Araya membiarkannya kembali beristirahat sebelum ia beranjak keluar menemui penjaga.
“Mereka menunggu Anda di ruang rapat,” ucap penjaga itu dengan nada serius.
Vaneca mengangguk tanpa bicara, berjalan menyusuri lorong menuju ruang rapat. Di dalam ruangan, beberapa orang sudah berkumpul, termasuk Evlin yang duduk di ujung meja besar dengan raut wajah serius. Percakapan gemuruh terhenti saat Vaneca masuk, dan semua mata tertuju padanya.
Evlin memulai dengan langsung ke intinya, “Ada informasi baru dari para Roh,” katanya. “Serangan besar akan terjadi. Makhluk kegelapan dalam jumlah sangat besar sedang menuju tempat kita.”
Semua orang di dalam ruangan terdiam mendengar kabar itu. Vaneca, yang sudah menduga akan ada pertempuran besar, tetap tenang meski kabar ini lebih buruk dari perkiraannya. Ia telah menyiapkan dirinya dan para penjaga untuk menghadapi pertempuran, tetapi jumlah musuh yang besar jelas akan menjadi masalah besar.
“Jumlah mereka jauh melebihi kita,” lanjut Evlin. “Dan kita tidak bisa menggunakan sihir murni kita untuk melawan mereka di dimensi pertengahan ini. Ini akan menjadi perang yang sangat berat.”
Kata-kata Evlin menggema di benak mereka semua. Namun bukan hanya jumlah musuh yang mengkhawatirkan; ada satu hal lagi yang telah lama mengusik pikiran Evlin, terutama sejak pertemuannya dengan Araya.
“Ada satu hal yang ingin kusampaikan tentang Araya,” kata Evlin, dengan raut wajah semakin serius. “Aku merasa dia… berbeda. Dia sama dengan para Roh.”
Vaneca mengernyit, tidak mengerti. “Apa maksudmu?” tanyanya penasaran.
Evlin melanjutkan, “Para Roh bisa merasakan energi yang mendekat karena mereka hanya jiwa-jiwa tanpa raga, sensitif terhadap perubahan di sekitar mereka. Namun, Araya juga bisa merasakan kehadiran mereka dengan cara yang sama, seolah-olah dia juga hanya jiwa tanpa raga.”
Dom, yang sejak tadi mendengarkan, merasa bingung. “Aku tidak mengerti maksudmu. Bagaimana mungkin dia bisa berada di sini tanpa tubuhnya?”
Evlin mencoba menjelaskan lebih sederhana. “Aku telah mempelajarinya, dan aku menyimpulkan bahwa Araya yang kita lihat hanyalah jiwanya. Tubuhnya tidak berada di sini. Dia juga tidak bisa melakukan sihir pembuka portal yang kita butuhkan untuk melarikan diri dari dimensi ini. Sangat berbahaya baginya berada di sini. Satu-satunya cara adalah membawanya kembali ke dunia nyata, berharap dari sana dia bisa membuka portal dan kembali ke sini.”
Vaneca mengingat perbincangannya dengan Araya sebelumnya, di mana Araya tampak bingung bagaimana dia bisa sampai ke tempat ini. Semuanya mulai masuk akal. “Apa yang kau lakukan, Nak, hingga jiwamu bisa terjebak di sini?” pikir Vaneca dalam hati. Mungkin Araya tidak menyadari apa yang sebenarnya telah ia lakukan hingga terlempar ke dimensi ini.
Salah satu tetua di ruangan itu, yang terlihat khawatir, tiba-tiba angkat bicara. “Apakah mungkin dia sudah mati?” tanyanya dengan nada takut.
“Tidak,” jawab Evlin cepat. “Para Roh mengatakan bahwa dia tidak memancarkan aura kematian. Justru, seolah-olah jiwanya sudah terbiasa berkeliaran di luar jasadnya. Tapi aku juga masih bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Araya.”
Seorang tetua lainnya mengangguk pelan, mencoba memahami situasi ini. “Mungkin itu adalah kekuatan tersembunyi yang dimiliki oleh sang penjaga portal baru. Sejak ribuan tahun lalu, semua yang terpilih memiliki kekuatan unik yang berbeda satu sama lain.”
Penjelasan itu masuk akal dalam konteks apa yang terjadi pada Araya. Namun, masalahnya tetap ada, Araya tidak tahu cara menggunakan sihir. Dan dengan serangan besar yang semakin dekat, waktu untuk mengajarinya pun sangat terbatas.
Tetua lainnya mulai resah. “Kalau begitu, kita harus memikirkan cara untuk memulangkannya dengan selamat. Jika dia mati di sini, jiwanya mungkin tidak bisa kembali lagi ke jasadnya di dunia nyata.”
Rencana segera dirancang. Para tetua memutuskan untuk meminta bantuan Evlin agar berkomunikasi dengan para Roh. Hanya Evlin yang mampu berbicara dengan mereka, berkat pengetahuannya tentang sihir Roh yang ia pelajari semasa mudanya. Dialah yang selama ini menjadi jembatan komunikasi antara mereka dan para Roh itu.
Evlin pun menjelaskan, “Para Roh suci yang bersama kita tidak bisa melakukan banyak hal untuk membantu. Hanya Roh jahat yang bisa menggunakan sihir Roh, dan itu pun hanya ketika malam tiba. Para Roh jahat itu sudah menawarkan bantuan sejak awal, tetapi mereka meminta sebuah syarat yang sudah kusepakati.”
“Syarat apa?” tanya Vaneca.
“Mereka ingin aku tetap tinggal di sini jika portal dibuka, untuk melakukan ritual tarian bagi mereka,” kata Evlin sambil menunduk.
Dom langsung berdiri, marah. “Kau memutuskan hal sebesar itu tanpa berdiskusi dengan kami? Jika kita berhasil, kita semua harus kembali ke dunia nyata!”
Evlin tetap tenang meskipun Dom mengangkat suaranya. “Aku sudah tua, Dom. Aku tidak punya keluarga lagi di dunia luar. Mungkin inilah takdirku, mungkin inilah alasan mengapa aku tertarik pada sihir dunia Roh sejak awal.”
Semua orang terdiam. Tidak ada yang berani membantah keputusan Evlin, meskipun mereka tahu bahwa itu adalah pengorbanan besar. Mereka semua merasa terhanyut dalam keheningan, sadar bahwa pertempuran ini bukan hanya tentang melawan makhluk kegelapan, tetapi juga tentang perpisahan yang akan datang.
Di luar, malam semakin larut, dan suara angin yang berdesir terdengar seperti bisikan-bisikan makhluk gelap yang mendekat. Para prajurit telah bersiap di pos mereka, mengikuti instruksi Vaneca.
Langkah kaki Evlin yang membawa Araya di lorong membuat Araya bertanya padanya, “Apakah kita akan bersembunyi?” tanyanya sambil memegang tangan Evlin.
Evlin yang berpura-pura tidak tahu mencoba bertanya kembali kepada Araya, “Kenapa kau berpikir begitu?”
“Aku merasakan kehadiran mereka semakin dekat, tetapi aku tidak bisa merasakannya dengan jelas.” Jawab Araya dengan nada yang cukup santai.
“Ya, mereka akan menyerang kita lagi,” sambung Evlin sambil mempercepat langkahnya menuju altar tempat ritual yang akan ia laksanakan.
Di tempat lain, “Ini dia...” gumam Dom ketika suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Tanah mulai bergetar di bawah kaki mereka. Makhluk-makhluk kegelapan itu semakin dekat.
“Semua di posisi!” teriak Vaneca, memimpin prajurit-prajuritnya bersiap. Mereka semua tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan.
Evlin sudah memulai ritualnya bersama para Roh. Dia menyuruh Araya untuk duduk di sebuah lingkaran yang telah ia siapkan. Araya yang merasa bingung hanya bisa diam dan mengikuti perintah dari Evlin. Hanya ada mereka berdua dan empat orang penjaga yang mengawasi dari kejauhan. Di tengah tarian dan nyanyian kuno, Evlin merasakan energi para Roh semakin kuat; perlahan Roh-roh mulai bermunculan satu per satu di ruangan tersebut seperti asap hitam yang perlahan menggumpal.
Dan di hadapan Vaneca serta para prajurit, bayangan-bayangan gelap juga mulai muncul dari balik kabut. Makhluk-makhluk kegelapan itu datang, jumlahnya jauh lebih banyak dari yang bisa mereka bayangkan. Semua orang yang melihat itu merasakan jantung mereka berdegup semakin cepat, seolah tak siap dengan kenyataan yang ada di hadapan mereka.
“Pertempuran telah dimulai,” gumam Vaneca. “Dan kita akan berjuang hingga akhir.”